Sunday, June 29, 2008

Kapitalisme Global dan Kebangkitan Nasional

Yopie Hidayat,
Koran KONTAN, 10 Mei 2008


Ada sebuah berita pedih yang menimpa tetangga kita Filipina, awal pekan ini. Negeri yang pernah menjadi terkaya nomor dua di Asia ini gagal mengimpor 675.000 ton beras. Cuma ada satu peserta dari Vietnam yang mengikuti tender. Dan penawarannya sungguh gila-gilaan, sehingga Filipina tak kuat membelinya.

Filipina adalah korban yang sangat nyata dari kejamnya spekulasi pasar. Sekarang ini, para pengelola dana raksasa memang sedang kalap gara-gara krisis kredit perumahan di Amerika. Mereka menarik dana miliaran dolar dari instrumen pasar keuangan dan menabrak komoditas lain sebagai sasaran investasi dan juga spekulasi.

Walhasil, harga sebuah komoditas semakin tidak tergantung pada hukum permintaan dan penawaran. Hampir semua komoditas dari minyak bumi, kepompong ulat sutra, hingga beras sudah menjadi objek spekulasi dengan omzet triliunan dolar di seluruh dunia.

Inilah wajah kapitalisme global yang paling buruk. Doktrin yang mulai berakar sejak ratusan tahun lalu di Eropa ini memang mensakralkan dua hal pokok: perdagangan harus sebebas-bebasnya dan akumulasi modal alias kekayaan adalah tujuan utama.

Dan selama ratusan tahun itu, kapitalisme global sudah berhasil mengakumulasi modal yang tak terkira lagi nilainya. Di pasar modal saja, kapitalisasi pasar global sudah berkisar US$ 55 triliun. Ini belum termasuk duit yang berputar di pasar komoditas, pasar uang, maupun derivatif, yang nilainya bisa berlipat-lipat.

Jika satu komoditas atau instrumen sedang tidak menarik, pengelola duit triliunan dolar ini tentu tak segan memainkan komoditas lain. Mereka mana peduli soal moral bahwa akibat spekulasinya itu, misalnya, 92,6 juta penduduk Filipina bisa rusuh karena tak ada beras yang cukup di sana.

Minyak juga bisa menjadi contoh, betapa rakusnya kaum kapitalis itu. Indonesia ikut menderita karena harga minyak bumi melejit, sebagian besar penyebabnya juga karena spekulasi kapitalis. Pemerintah akhirnya harus menaikkan harga BBM. Akan ada 15 juta orang miskin baru karenanya.

Akankah ada akhir untuk kapitalisme global yang sedemikian kejam dan tak bermoral ini? Rasanya, belum dalam waktu dekat. Semua negara malah sudah dan harus menyesuaikan diri dalam aturan main kapitalisme kalau tak mau tergilas.

Makanya, lomba memupuk modal malah semakin seru. Makin banyak sovereign fund yang berdiri. Ini adalah dana investasi milik negara. Sekadar contoh, Uni Emirat Arab punya dana investasi US$ 875 miliar. Singapura, punya Government of Singapore Investment Corp. yang memutar US$ 330 miliar. China, yang resminya masih penganut komunisme, juga membikin sovereign fund yang saat ini berisi US$ 200 miliar.

Akumulasi modal inilah yang sekarang menggerakkan ekonomi dunia dan menggilas negara mana saja yang tak menyesuaikan diri. Seandainya seupil saja dari duit itu masuk sebagai investasi riil di negara-negara miskin, duh, betapa indahnya dunia karena penduduknya bisa makmur bersama.

Bagaimana nasib Indonesia? Negeri ini seharusnya punya potensi menjadi paling kaya karena sumber alamnya yang luar biasa. Sayangnya, salah urus selama 58 tahun sejak merdeka membuat kita tak sanggup mengakumulasi apa-apa. Kita baru sampai tahap bermimpi, betapa hebatnya gerakan Kebangkitan Nasional kita yang sudah 100 tahun umurnya.

No comments:

Rafael V. Mariano, chairperson of the Peasant Movement of the Philippines, 2000

Food has long been a political tool in US foreign policy. Twenty-five years ago USDA Secretary Earl Butz told the 1974 World Food Conference in Rome that food was a weapon, calling it 'one of the principal tools in our negotiating kit.' As far back as 1957 US Vice-President Hubert Humphrey told a US audience, "If you are looking for a way to get people to lean on you and to be dependent on you in terms of their cooperation with you, it seems to me that food dependence would be terrific."