Saturday, June 14, 2008

Kacaunya Tata Ekonomi Dunia

Kompas, Minggu, 15 Juni 2008 | 01:11 WIB

Krisis Tiga Dekade

Simon Saragih

”Hal yang terburuk adalah, jika semuanya berlanjut seperti yang sudah-sudah, situasi akan menjadi lebih buruk.” Demikian pernyataan Ketua Delegasi Kuba Jose Ramon Machado Ventura pada pertemuan pangan dunia yang diselenggarakan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) di Roma, 4 Juni lalu.

Selama tiga dekade, situasi memang lebih buruk. Ada 1,2 miliar penduduk dunia hidup di bawah garis kemiskinan. Selama tiga dekade terakhir krisis besar selalu bermunculan, dimulai dari krisis utang yang menyebabkan Amerika Latin mengalami dekade hilang pada dekade 1980-an. Krisis utang Amerika Latin justru makin memburuk karena resep Dana Moneter Internasional (IMF) ditambah lagi rezim diktator tak becus.

Hal itu dilanjutkan dengan krisis keuangan 1990-an di Asia, Turki, dan merembet ke Rusia. Lagi, peran IMF, Bank Dunia, dan konsensus Washington tak mampu melepas negara yang terjerat krisis keluar dari masalah.

Adalah perlawanan pada octopussy IMF, Bank Dunia, Wall Street, dan Gedung Putih yang membangkitkan negara seperti Venezuela, Rusia, Bolivia, dan dalam konteks lebih lunak, Thailand, Korea Selatan, serta Malaysia, yang tak mau menerima bulat-bulat resep berbasiskan Gedung Putih, yang dikenal melekat dengan ”Doktrin Wolfowitz”. Doktrin yang diprakarsai Paul Wolfowitz, mantan Dubes AS untuk Indonesia, memiliki visi dan misi AS untuk mengontrol berbagai negara.

Ventura secara langsung mengingatkan dunia yang diatur kekuatan AS, dengan penekanan pada pola pandangnya sendiri. Pola pandang ini telah menghasilkan tragedi dan kerusakan sistem global. Kekuatan Washington itu masih dilandasi pandangan Henry Kissinger, mantan Menlu AS.

Dalam kata-kata Henry Kissinger, ”Dengan mengontrol minyak, Anda akan mengontrol negara. Dengan mengontrol pangan, Anda akan mengontrol rakyat.” Kalimat Kissinger ini diingatkan kembali dalam tulisan Michel Chossudovsky berjudul ”Krisis Global: Pangan, Air, dan Bahan Bakar Energi. Tiga Kebutuhan Fundamental dalam Kehidupan sedang dalam Kehancuran”. Chossudovsky adalah profesor ekonomi dari University of Ottawa dan Direktur Centre for Research on Globalization, Kanada.

Kekuatan dan kontrol Washington atas dunia kini tidak lagi hanya berada di Gedung Putih, tetapi juga melebar ke Wall Street dan lembaga keuangan dunia seperti IMF, Bank Dunia, dan kini merambah ke PBB, di mana peran-perannya sebagai stabilisator ekonomi dan politik dunia makin sirna. Buahnya adalah rusaknya sebuah tatatan dunia di berbagai aspek.

Kombinasi kekuatan itu telah melahirkan krisis global jilid 3, yakni krisis pangan, minyak, bursa, dan ekonomi, yang merembet ke krisis politik di berbagai negara, ditandai dengan protes warga yang jengkel dengan kenaikan harga pangan dan minyak dengan segala dampaknya.

Menurut Chossudovsky, kemiskinan, kekacauan, dan ketidakstabilan politik di satu negara juga bisa muncul karena ketidakbecusan pemerintahan sebuah negara mengelola negaranya. Namun, kini ada kekuatan ekstra penambah kekacauan yang menghasilkan globalisasi kemiskinan dan kekacauan politik, yakni tatanan ekonomi dan politik dunia yang sedang hancur berantakan.

Tetap terimbas

Sebagus apa pun pengelolaan negara dilakukan sebuah pemerintahan, negara ini tetap mengalami imbas dari roda globalisasi yang kacau dan kapitalistis. Asia, yang dikenal sebagai kawasan pertumbuhan global dengan manajemen ekonomi relatif lebih baik, tak luput dari masalah itu.

”Mood pada pertemuan tahun lalu ditandai dengan optimisme soal prospek pertumbuhan ekonomi di Asia. Namun, akibat kejadian terakhir ini, seperti kenaikan harga pangan dan BBM serta penurunan pertumbuhan ekonomi global, kawasan Asia sedang menghadapi sebuah realitas ekonomi dan politik baru,” kata Sushant Palakurthi Rao, Direktur Rekanan dan Wakil Kepala Asia World Economic Forum (WEF), menjelang penyelenggaraan WEF di Kuala Lumpur, 15-16 Juni.

”Pertemuan ini merupakan kesempatan bagi para pemimpin kawasan untuk tidak saja merespons ketidakpastian baru dalam jangka pendek, tetapi juga bagaimana beranjak ke depan menuju agenda bersama di Asia Timur untuk menghadapi tantangan global,” kata Rao.

Kekacauan atau krisis global terbaru itu adalah fakta dan bukan semata-mata pandangan emosional dari kelompok kiri. Chossudovsky memberi contoh komoditas pangan dan minyak yang penentuan harganya kini diatur di bursa New York dan Chicago.

Chossudovsky mengatakan, krisis harga tidak disebabkan kelangkaan pasokan atas berbagai komoditas, tetapi disebabkan kontrol harga di tangan segelintir korporasi atau pelaku.

Lebih ironis lagi, perilaku para pelaku itu tidak diatur dengan peraturan yang mengharuskan transparansi dan integritas, tetapi dengan peraturan rimba raya. Perilaku liar ini semakin menjadi-jadi karena para senator AS dari Partai Republik tidak mendukung keinginan rekan mereka, Partai Demokrat, untuk mengatur Wall Street (New York) dan bursa komoditas di Chicago.

Setelah skandal mega melibatkan kebangkrutan Enron pada tahun 2001, kini terus berlanjut krisis baru yang ditandai dengan kebangkrutan mega Bear Stearns, lembaga keuangan AS yang hancur karena aksi-aksi manipulatif, diikuti kebangkrutan Goldman Sachs dan Merrill Lynch.

Perilaku pasar tak tertata kini tidak lagi mengorbankan penduduk global, tetapi mengakibatkan gelombang kebangkrutan korporasi keuangan global, yang punya tali temali dengan kehancuran keuangan minimal 1 triliun dollar AS.

Hal ini membuat korporasi makin menggila, menggasak ke semua sektor dengan harapan bisa menutupi kerugian. Setelah kegagalan pada pengucuran kredit di sektor perumahan AS, kini spekulan kelas kakap dunia menggasak komoditas yang menjadi kebutuhan global.

Kini minyak, yang menjadi kebutuhan penting karena permintaan besar dari India, China, Brasil, dan Rusia, menjadi sasaran ajang spekulasi besar-besaran. Inilah semua penyebab kekacauan global terbaru, yang membuat Soros meminta agar atur, atur, dan aturlah para pelaku pasar. Presiden AS George W Bush tak hirau. Ia masih saja mengatakan bahwa ekonomi tak mengalami masalah.

Jadi, kita agar buka matalah. Ada kekuatan global yang destruktif. Jika RI masih saja dikelola secara serampangan dengan wabah korupsi dan manajemen pemerintahan kacau-balau, rasanya tak kunjung ada kebangkitan RI karena akan dihunjam kekacauan domestik dan juga roda globalisasi yang tak beretika.

No comments:

Rafael V. Mariano, chairperson of the Peasant Movement of the Philippines, 2000

Food has long been a political tool in US foreign policy. Twenty-five years ago USDA Secretary Earl Butz told the 1974 World Food Conference in Rome that food was a weapon, calling it 'one of the principal tools in our negotiating kit.' As far back as 1957 US Vice-President Hubert Humphrey told a US audience, "If you are looking for a way to get people to lean on you and to be dependent on you in terms of their cooperation with you, it seems to me that food dependence would be terrific."