Thursday, March 20, 2008

Studi Kasus: Jerome Kerviel, Pembobol Rp 67 Triliun

Kompas
Jumat, 25 Januari 2008 | 11:31 WIB

PARIS,KAMIS - Meski Societe Generale (SocGen), belum mengungkapkan siapa pembobol 4,9 miliar euro (sekitar Rp 67 triliun) bank terbesar di Perancis itu, namun media sudah mengungkapkannya. Dia adalah Jerome Kerviel, pria Perancis berusia 31 tahun dan sudah bekerja di Societe Generale sejak tahun 2000.

Pihak Societe mengungkapkan adanya seorang pialang di Paris melakukan transaksi fiktif yang massive sehingga merugikan bank terbesar di Perancis itu sampai Rp 67 triliun. Kasus itu merupakan pembobolan terbesar dalam sejarah perbankan, atau empat kali lebih besar dibandingkan kasus Nick Leeson, pembobol bank Inggris, Barings. Akibat ulahnya tahun 1995 lalu yang merugikan Barings 860 juta pound, Leeson dipenjara 6,5 tahun. Seperti dikutip BBC, Leeson mengaku tidak terkejut dengan ulah Kerviel itu."Transaksi fiktif mungkin terjadi hampir tiap hari dalam pasar finansial," katanya.

Yang mengejutkan, lanjut Leeson, adalah jumlah kerugian yang ditimbulkan Kerviel yang mencapai Rp 67 triliun. "Yang mengejutkanku hanya nilainya. Saya tidak pernah menyangka kadar kerugiannya sebegitu besar," katanya.

Menurut media, Kierval bekerja di Bank Delta One di Paris. Meski pihak SocGen belum mengkonfirmasikan kebenarannya, bank tersebut menyebutkan pialang tersebut adalah orang Perancis, berumur 30an, bekerja sejak tahun 2000 serta mendapat bayaran dan bonus setidaknya 100.000 euro. "Dia bertanggung jawab akan masa depan pasar," sebutnya seorang executive bank.

Dikatakan, Chief Executive of the corporate and investment banking division, Pierre Mustier, si pembobol melakukannya seorang diri. Menurut pihak bank, pialang tersebut sudah mengakui perbuatannya dan telah dipecat. Demikian juga dengan managernya.

Akibat pembobolan itu, Societe harus mencari dana 5,5 miliar euro (sekitar Rp 75 triliun) untuk menutup kerugiannya. Namun disebutkan Societe tetap mendapat laba 600 juta-800 juta euro pada tahun 2007.

Sebagai salah satu bank terbesar di Perancis, Societe Generale didirikan tahun 1864, mempunyai 120 ribu karyawan di 77 negara, dengan 22,5 juta nasabah diseluruh dunia. Sampai Juni 2007, Societe mempunyai aset 467 miliar euro.

Sementara itu seperti dirilis Dow Jones, Menteri Keuangan Perancis meminta Presiden Bank Sentral Perancis meningkatkan pengawasan terhadap bank-bank, untuk menghindari terjadinya pembobolan bank seperti yang terjadi SocGen tersebut


Kompas,

Senin, 28 Januari 2008 | 05:06 WIB

PARIS,MINGGU - Jerome Kerviel, yang telah menghanguskan uang Rp 67 triliun di tempat kerjanya, Societe Generale, salah satu bank terbesar di Perancis, tanpa disadari telah menjadi pahlawan, menurut The Independent, Minggu (27/1), si manusia 5 miliar euro ini, secara tidak sengaja telah menyelamatkan dunia dari resesi. Namun meski demikian karena ulahnya yang merugikan SocGen, pria berusia 31 tahun ini ditahan oleh polisi di Paris dengan dikenai 3 tuduhan.

Kerviel menyatakan dirinya siap menjelaskan - bila dia dapat- bagaimana transaksi larut malamnya di bursa berjangka bisa menghilangkan 4,9 miliar euro (sekitar Rp 67 triliun) milik SocGen.

Chairman SocGen, Daniel Bouton, mengatakan, ulah Kerviel telah menjerumuskan pasar saham Eropa pada awal pekan lalu. Saham SocGen Senin (21/1) terutama di Jerman langsung jatuh, sehingga mendorong kepanikan di seluruh bursa. Yang pada akhirnya "memaksa" Federal Reserve (the Fed/bank sentral AS) untuk mengambil tindakan, the Fed Selasa (22/1)secara tidak terduga menurunkan sukubunga hingga 75 basis poin - terbesar dalam sejarah - hingga menjadi 3,5 persen untuk mencegah merembetnya kerontokan bursa Eropa, ke Wall Street yang sudah terpuruk dihantam badai kredit macet berbasis perumahan (subprime mortgage) sehingga bisa memicu resesi ke seluruh dunia.

Aksi Kerviel yang disertai reaksi the Fed, membuat beberapa ekonom AS mengelu-elukan Kierval sebagai sang penolong. "Merci, Jerome. Resesi hampir berlalu, terima kasih kepada Jerome Kerviel di Paris dan reaksi panik (the Fed) di Washington," kata seorang analis ekonomi berpengaruh Ed Yardeni, yang mantan kepala ekonom Deutsche Bank Securities.

Ya, dengan reaksi the Fed yang menurunkan sukubunga demikian tajam, pasar finansial di seluruh dunia merespon baik. Bursa saham yang tadinya bergelimpangan ke level terendah (termasuk Bursa Efek Indonesia), mulai menunjukkan gairahnya kembali. Rata-rata pasar saham melakukan rebound (naik kembali), begitu the Fed menurunkan fedfund..

Namun di sisi lain, terdapat hal yang sangat menakutkan dari aksi "kepahlawanan" Kerviel ini, karena ternyata seorang pialang yunior dari mejanya di lantai 6 sebuah gedung sebelah barat Paris, dengan mudah - meski tidak sengaja -, telah menyetir seluruh perekonomian dunia!

Seorang anak muda berpendapatan 100 ribu euro setahun, yakin bahwa dirinya telah menemukan formula transaksi yang baru. Dia dapat melakukan transaksi yang di luar kewenangannya di pasar dengan nilai hampir 50 miliar euro, atau sekitar Rp 690 triliun, atau setara dengan PDB Kuba atau Slovenia, atau kalau dibelikan mobil seharga Rp 1 miliar bisa dapat 690 ribu mobil!!!

Selama tahun 2007 lalu, Kerviel telah melakukan transaksi tersembunyi secara besar-besaran saat sesi larut malam, terpisah dari pekerjaan sehari-harinya dan dia mendapatkan keuntungan besar yang ironisnya membuat dia sulit menjelaskan kepada bosnya darimana keuntungan yang besar tersebut.

Alih-alih dia mengambil uangnya dan melarikan diri, Kerviel malahan merencanakan agar "kalah" dalam perdagangan bulan ini. Namun celakanya, Kerviel kebablasan kalah, akibat pasar saham yang mulai melemah sejak 10 hari lalu, sehingga melayanglah uang 1,4 miliar euro milik SocGen.

SocGen akhirnya menyadari apa yang terjadi akhir pekan lalu. Bank terbesar kedua di Perancis sepertinya berusaha untuk lepas tangan atau tidak mengakui transaksi-transaksi yang dibuat Kerviel, yang justru membuat pasar Eropa pada Senin (22/1) dan Selasa (23/1) jungkir balik. Sehingga bankir saingannya, menyebut bahwa Kerviel "hanya" kehilangan 1,4 miliar euro, sedang sisanya diakibatkan oleh Dewan Direksi SocGen.

Wednesday, March 19, 2008

Studi kasus: Gonjang-ganjing di Amerika saat ini

Kompas, 29 Februari, 2008


516 Triliun Dollar AS Kekuatan Perusak


Paul B Farrel, analis pasar AS, di situs MarketWatch edisi 25 Februari memberi peringatan. Ada sekitar 516 triliun dollar AS dana-dana investasi, yang menjadi kekuatan perusak ekonomi. Persisnya ia menyebutnya sebagai toxic derivatives, transaksi di sektor keuangan yang menjadi fasilitas investasi untuk mengembangbiakkan dana-dana orang berpunya.

Dana-dana ini begitu besar, dibandingkan dengan total produk domestik bruto (PDB) dunia yang hanya 48 triliun dollar AS. Dana-dana ini tidak lagi semata-mata dikelola dalam jenis investasi berjangka panjang. Juga tak lagi dana-dana itu dikelola dengan mengindahkan kaidah-kaidah risiko investasi. Dana-dana ini memasuki pasar, yang memberi fasilitas investasi mirip perjudian. Misalnya, banyak bursa saham di dunia yang memasang taruhan soal naik turunnya indeks saham alias bukan lagi terbatas pada naik turunnya saham sebuah perusahaan.

Mereka terkadang bermain di composite index, indeks harga saham gabungan. Jangka waktu permainan bisa dalam hitungan detik, tak lagi menit.

Dana-dana yang dikelola para manajer dana investasi ini memasuki pasar yang dianggap bisa "dimainkan" untuk meraup untung besar dalam waktu cepat, lalu keluar dari pasar setelah untung. Investor-investor yang naif akan menjadi sasaran empuk.

Selama ini dana-dana tersebut bermain di kisaran saham, obligasi, dan valuta asing, seperti dollar AS dan mata uang kuat dunia lainnya. Mengapa dana-dana ini oleh Farrel disebut sebagai toxic derivatives? Berbagai kantor berita terkadang memberi julukan pada investor itu
sebagai bloodied investors. Alasannya, mereka bisa menaikkan atau menurunkan saham, yang menyebabkan kerugian besar bagi pihak lain, yang bahkan disebut sebagai kerugian berdarah-darah karena magnitude-nya begitu luar biasa.

Bahkan, investor itu yang disebut bloodied itu juga bisa mandi darah. Artinya, ia bisa rugi besar dan bangkrut, seperti dekade 1990-an, yang dialami Long Term Capital Management (AS). Jika masih bisa bergerak, bloodied investor ini makin mengamuk dan menggasak seperti banteng menyeruduk (raging bull), istilah yang dipakai Phil Flynn, analis dari perusahaan Alaron Trading (Chicago, AS), di situs Forbes.

Buktinya sudah banyak. Bank sekaliber UBS (Swiss) pun sudah berdarah-darah dengan kerugian sekitar 12 miliar dollar AS. Setidaknya sudah ada kerugian 100 miliar dollar AS yang dialami lembaga keuangan internasional.

Konsumen dikorbankan

Permainan belum berakhir dan gejolak belum akan berhenti. Kini taruhannya bukan lagi semata-mata para investor termakan investor. Atau istilahnya, fenomena yang akan terjadi ke depan bukan lagi para investor saling memakan.

Hideki Amikura, manajer valuta asing dari Nomura Trust and Banking, Tokyo, mengatakan, kini investor sedang jengkel dengan dollar AS, obligasi, dan harga-harga saham, yang menjadi mainan mereka.

Para investor kini memasuki komoditas, yang permainannya sudah disediakan pula di bursa, seperti bursa logam London (London), bursa komoditas Chicago, dan di belahan dunia lainnya.

Bukti sudah ada. Harga minyak dan gas terus meroket. Harga gandum sudah mencapai rekor, demikian pula kedelai atau tanaman biji-bijian. Demikian pula emas telah mencapai rekor baru.

"Komoditas juga kini jadi safe haven," kata Farrel. Investor ingin mengamankan investasinya dari kemerosotan dollar AS, kemerosotan harga saham dan obligasi dengan memburu komoditas.

Taruhannya adalah konsumen. "Harga gas yang naik telah merogoh kantong konsumen," demikian dikatakan harian New York Times edisi Kamis (28/2).

Konsumen di Indonesia pun sudah menjadi korban berupa kenaikan harga-harga pangan, termasuk harga tempe, yang terbuat dari kedelai.

Bagaimana menghentikan ini semua? Guru investor obligasi dunia asal AS, Bill Gross, mengatakan, ini semua akibat leluasanya para manajer dana investasi melakukan aktivitasnya. Regulasi pasar tak ada sehingga tak membatasi aksi-aksi mereka, yang terbukti sudah melahirkan gejolak besar.

Inilah juga yang disuarakan Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) di pengujung tahun 2007. Peringatan serupa juga sudah disampaikan The Bank for International Settlements (BIS) dan juga sudah diingatkan delegasi Jerman pada pertemuan G-7 di Tokyo awal tahun ini.

Namun, Gubernur Bank Sentral AS Ben Bernanke dan Menkeu AS Henry Paulson menganggap sepi semua itu. "Mereka pembohong," kata Farrel.

Bagaimana Indonesia? Jika tak menjaga ketahanan pangan, konsumen akan membayar harga mahal sebagaimana rakyat sudah terbebani dengan kenaikan harga BBM dan listrik yang byar pet. (MON)

http://www.kompas.co.id/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.02.29.0048145&channel=2&mn=157&idx=157

Friday, March 14, 2008

Pasar keuangan global


Pada tanggal 15 Agustus 1971 Presiden Nixon mengumumkan sebuah kebijakan yang mengubah dunia dan perekonomiannya untuk selama-lamanya. Pengumuman ini mengatakan bahwa Amerika Serikat (AS) tidak lagi mau menanggung mata uang dunia untuk membeli emas dengan dollar. Sejak hari yang bersejarah itu, apa yang disebut "Sistem Bretton Woods" tamat riwayatnya. Mata uang di dunia tidak lagi dikaitkan dengan dollar AS, dan dibiarkan mengambang (float) di pasar bebas, mengikuti hukum permintaan dan penawaran. Padahal Sistem Bretton Woods (yang disebut fixed exchange rate) ini telah membuat sistem keuangan dunia sejak akhir Perang Dunia II stabil selama lebih dari 25 tahun. Beberapa negara masih mencoba mencari alternatif Sistem Bretton Woods (misalnya Smithsonian Agreement), tetapi sia-sia. Pada 12 Februari 1973 Jepang memutuskan untuk mengambangkan mata uang yen mengambang terhadap dollar, pada 16 Maret 1973 European Community mengikuti jejak. Negara-negara lain menyusul mengambangkan mata uangnya terhadap dollar.

Di dunia bukannya belum pernah ada "money market" tetapi apa yang diakibatkan oleh pengumuman Nixon itu adalah bahwa pasar uang itu menjadi kegiatan yang berdiri sendiri, terlepas dari kegiatan perdagangan komoditas. "Foreign exchange market" dianggap sebagai sebuah instrumen dari banyak instrumen lain yang dipakai oleh investor, tetapi dalam waktu singkat sejak hari yang bersejarah itu pasar valuta asing itu menjadi makin lama makin besar. Misalnya, kegiatan jual-beli valuta asing setiap harinya pada tahun 1977 hanya sejumlah US$ 18.3 milyar, dalam waktu tiga tahun telah naik menjadi US$ 82,5 milyar, dan 20 tahun sesudahnya sudah menjadi US$ 1,49 trilyun. (Singh, 13).

Sebagai perbandingan, pada tahun 1970, 90 persen dari transaksi valas dipergunakan untuk perdagangan dan investasi. Kini perdagangan valuta asing hampir tidak ada hubungannya dengan perdagangan internasional. Pertumbuhan perdagangan valas itu sendiri menjadi sangat cepat. Misalnya, pada tahun 1998 perdagangan valas sebesar US$ 1,49 trilyun, sementara perdagangan barang dan jasa sebesar US$6,5 trilyun, atau hanya empat hari kerja bagi perdagangan valas.

Pada abad ke-21 ini perdagangan valas berlangsung selama 24 jam, tidak pernah tidur atau istirahat. Ketika Jakarta tutup pada jam 17.00, Mumbay masih aktif, Frankfurt dan London mulai buka, dan 6 jam kemudian New York menyusul. Perdagangan terus berlangsung tanpa henti. Ini akibat dari kemajuan alat komunikasi yang sangat hebat selama 20 tahun terakhir, seperti telpon, facsimile, internet, telpon genggam, dsb. Semua alat komunikasi itu, terutama komputer, terus memutar uang ke seluruh dunia!

Mengapa bisa menjadi seperti ini? Nilai mata uang itu naik-turun, tidak ada yang mampu meramalkan. Sebelum runtuhnya Sistem Bretton Woods tidak mungkin terjadi seperti ini. Sekarang nilai mata uang ditentukan semata-mata oleh mekanisme pasar, dan dengan demikian mengandung unsur volatile, orang setiap kali main tebak apakah nilai mata uang tertentu naik atau turun. Karena tidak menentu inilah, kedua, orang malah semakin bergairah untuk masuk dalam transaksi valas. Pada dasarnya jual-beli valas ini nyaris tidak ada bedanya dari perjudian. Keuntungan yang diraup dengan satu sentuhan tombol komputer, bisa sedemikian besar. Tapi kerugian dahsyat juga bisa menimpa akibat sebuah klik petikus. Tidak heran kalau Susan Strange, seorang pengamat terkenal di bidang keuangan internasional, mengatakan bahwa dunia saat ini sedang dicengkeram oleh "casino capitalism."

Akibat dari perilaku ini sangat mengerikan bagi ekonomi dunia, ekonomi nasional, dan ini pada gilirannya mengerikan bagi politik. Pertama, karena semangat berjudi itu, para pelaku terdorong untuk mengalihkan dananya dari investasi yang produktif yang sifatnya jangka-panjang (long term), dan memilih keuntungan spekulatif yang sifatnya jangka pendek (short term). Maka ekonomi riil di bidang manufaktur ataupun jasa, semuanya dalam keadaan terdesak. Kedua, akibat dari gairah yang berlebih ini, bank-bank dan institusi keuangan cenderung untuk mematok suku bunga yang tinggi. Hal ini juga berdampak pada ekonomi riil karena pengusaha menghadapi kendala untuk memperoleh akses kredit. Ketiga, akibat dari kegiatan spekulatif, terjadilah ketidakpastian dan volatilitas suku bunga dan nilai tukar. Volatilitas ini sangat merugikan sektor-sektor ekonomi riil, terutama perdagangan. Terakhir, perdagangan valas ini juga memaksa negara-negara untuk mengambil kebijakan yang merugikan bagi pencari kerja dan sekaligus juga menimbulkan ketimpangan (inequality).

Kasus yang paling jelas adalah Krisis Finansial 1997 yang menimpa Indonesia dan beberapa negara di Asia Tenggara (Thailand) dan Asia Timur (Korea Selatan). Para spekulan mula-mula menyerang Thailand, dan ini menimbulkan kepanikan yang berbuntut pada serangan ke negara lain yang juga menganut rejim devisa bebas. Demikian terjadi rantai "serangan"oleh spekulan yang bergerak dari satu negara ke negara lain, tanpa ada satu otoritas pun yang bisa mengendalikannya. Indonesia, Thailand dan Korea Selatan bertekuk lutut pada kekuatan spekulan (menurut Kwik Kian Gie, cuma dibutuhkan US$ 100 ribu dollar untuk membuat pasar keuangan sebuah negara ambruk!). Berbeda dari Thailand dan Korea Selatan, Indonesia mengalami kehancuran ekonomi dan juga politik.

Banyak analis ketika itu yang mengatakan bahwa Krisis Keuangan itu akibat crony capitalism, atau korupsi. Tetapi bagaimana dengan India yang juga dilanda korpusi, tidak mengalami krisis keuangan? Juga bagaimana Inggris pada 1992 yang bebas dari korupsi juga mengalami krisis keuangan? Banyak ahli akhirnya tiba pada kesimpulan bahwa penyebab Krisis Keuangan itu adalah casino capitalism. Dan ini pada akhirnya bermuara pada "rejim devisa bebas" yang dianut oleh negara-negara yang tertimpa krisis itu.

Maka diskusi tentang perdagangan valuta asing kini berputar-putar pada satu titik: kapan sebuah negara menerapkan rejim devisa bebas? Para pendukung radikal globalisasi (yang mengangut paham ekonomi neoliberal) berpendapat bahwa semua negara di seluruh dunia menganut rejim devisa bebas. Tapi banyak ahli mengatakan bahwa "financial liberalization" tidak selalu membawa manfaat bagi negara yang sedang membangun. Mereka mengajukan contoh-contoh dari masa lalu, maupun contoh masa sekarang. Cina adalah contoh yang paling gamblang. Karena Cina tidak menganut rejim devisa bebas, Cina pun terhindarkan dari gempuran spekulan tahun 1997 itu.

Sangat menarik bahwa rejim devisa bebas atau financial liberalization ini menjadi pokok perdebatan yang menjurus kepada ideologi. Ideologi neoliberalisme (lihat posting tentang pasar bebas) kini bergabung dengan ideologi globalisme (lihat Manfred Steger), menghasilkan penganut-penganut setia dan loyal. Cara analisis mereka tentang pasar bebas (termasuk pasar bebas keuangan) didasarkan keyakinan semata-mata, sehingga menghasilkan apa yang disebut "market fundamentalism." Sebagai fundamentalis, orang-orang itu sulit menerima masukan bahwa financial liberalization itu mendatangkan petaka.

Tidak mungkin bicara tentang perdangangan valas tanpa membicarakan institusi global di bidang keuangan, yaitu IMF (International Monetary Fund). Ketika IMF didirikan sebagai bagian dari "Bretton Woods Institution," lembaga ini diberi mandat untuk menolong negara-negara yang mengalami kesulitan balance of payment. Negara-negara yang mengalami krisis (termasuk Indonesia) dan mengundang IMF, diperintahkan untuk menjalankan rejim devisa bebas. Bukankah krisis keuangan itu akibat dari rejim devisa bebas, tapi mengapa obat untuk mengatasi krisis malah berupa tuntutan untuk melaksanakan rejim devisa bebas? IMF terkenal dengan resepnya yang disebut SAP (structural adjustment programme), yang salah satunya adalah perdagangan bebas.

Kritik terhadap IMF (juga World Bank dan World Trade Organization) dapat diperpanjang, tetapi yang utama di sini adalah di jaman sekarang sedang terjadi keanehan besar. Dunia kini tenggelam dalam sebuah mesin kasino besar, yang dimainkan oleh segelintir orang, tapi yang merugikan puluhan juta manusia. Banyak orang telah bicara tentang perlunya "Global Governance" untuk mencegah terulangnya malapetaka. Di antaranya adalah George Soros, seorang spekulan kondang. Tapi, hingga hari ini, pembicaraan itu tidak beranjak ke mana-mana.

Thursday, March 6, 2008

Studi Kasus: Korporasi Minyak di Indonesia

Artikel ini diunduh dari milis Forum Pembaca Kompas, 4 Maret 2008, yang dikirimkan oleh Satrio Arismunandar.

Pada saat kami menuliskan release ini, Christopher Lingle di harian Jakarta Post (20/02/08), dalam artikel yang berjudul "Restoring Indonesia's economy to a higher growth path" mencatat bahwa pengangguran di Indonesia mencapai 40% dari total angkatan kerja. Selain itu, Bank Dunia menyebutkan sekitar 49, 5% Rakyat Indonesia berpendapatan di bawah 2US$/hari. Di sektor pendidikan, yang menjadi pilar utama pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM), justru menggambarkan situasi yang lebih miris. Menurut data Susenas 2004, dari penduduk usia sekolah 7-24 tahun yang berjumlah 76, 0 juta orang, yang tertampung pada jenjang SD sampai dengan PT tercatat baru mencapai 41, 5 juta orang atau sebesar 55 persen.

Sementara itu, menurut data Balitbang Depdiknas 2004, angka putus sekolah atau drop-out di tingkat SD/MI tercatat sebanyak 685.967 anak, yang berhasil lulus SD/MI tetapi tidak melanjutkan ke jenjang SMP/MTs dan putus sekolah di tingkat SMP/MTs sebanyak 759.054 orang. Situasi ini sangat kontras dengan nilai profit kandungan kekayaan alam yang dimiliki oleh tanah air kita, yang justru memberikan kemakmuran melimpah kepada korporasi-korporasi asing.

Dalam laporan pendapatannya untuk tahun 2007, pihak ExxonMobil memperoleh keuntungan sebesar $40.6 Billion atau setara dengan Rp3.723.020.000.000.000 (dengan kurs rupiah 9.170). Nilai penjualan ExxonMobil mencapai $404 billion, melebihi Gross Domestic Product (GDP) dari 120 negara di dunia. Setiap detiknya, ExxonMobil berpendapatan Rp 11.801.790, sedangkan perusahaan minyak AS lainnya, Chevron, melaporkan keuntungan yang diperolehnya selama tahun 2007 mencapai $18, 7 billion atau Rp171.479.000.000.000. Royal Ducth Shell menyebutkan nilai profit yang mereka dapatkan selama setahun mencapai $31 milyar atau setara dengan Rp 284.270.000.000.000.

Keuntungan yang diperoleh korporasi-korporasi Negara imperialis ini tidaklah setara dengan Produk Domestic Bruto (PDB) beberapa Negara dunia ketiga, tempat korporasi tersebut menghisap. Hingga akhir tahun 2007, Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia belum sanggup menembus Rp4.000 Trilyun, untuk triwulan ke III tahun 2007 saja hanya mencapai Rp 2.901. trilyun. Untuk Negara penghasil minyak lainnya, Libya hanya 50.320 juta US$, Angola (44, 033 juta US$), Qatar (42, 463US$), Bolivia (11.163 juta US$), dan lain-lain.

Konfigurasi ini memperlihatkan pengalihan keuntungan eksplorasi tambang, baik migas maupun non-migas, di Negara-negara penghasil justru dinikmati oleh grup-grup korporasi dan Negara induknya. Di Indonesia, menurut laporan Energy information Administration (EIA) dalam laporannya (jan/08) mengatakan bahwa total produksi minyak Indonesia rata-rata 1, 1 juta barel per-hari, dengan 81% (atau 894.000 barel) adalah minyak mentah (crude oil). Untuk produksi gas alam, Indonesia sanggup memproduksi 97.8 juta kubik. Indonesia masuk dalam daftar ke 9 penghasil gas alam di dunia, dan merupakan urutan pertama di kawasan Asia Pasifik.

Sayangnya, hampir 90% dari total produksi tersebut berasal dari 6 MNC, yakni; Total (diperkirakan market share-nya di tahun 2004, 30%), ExxonMobil (17%), Vico (BP-Eni joint venture, 11%), ConocoPhillips (11%), BP (6%), and Chevron (4%). Sedang, stok gas bumi mencapai 187 triliun kaki kubik atau akan habis dalam waktu 68 tahun dengan tingkat produksi per tahun sebesar 2, 77 triliun kaki kubik. Cadangan batu bara ada sekitar 18, 7 miliar ton lagi atau dengan tingkat produksi 170 juta ton per tahun berarti cukup buat memenuhi kebutuhan selama 110 tahun. (Sumber: Kementerian ESDM).

Bandingkan dengan kebutuhan untuk pendidikan! Berdasarkan kajian Balai Penelitian dan Pengembangan Depdiknas, biaya ideal seorang siswa SD per tahun adalah Rp 1, 68 juta. Data Depdiknas menunjukkan, siswa setingkat SD se-Indonesia sekitar 25, 5 juta. Jadi untuk menggratiskan pendidikan di SD (minus infrastruktur) adalah 42.8 trilyun. Berdasarkan data Balitbang 2003 mengenai kondisi bangunan SD seluruh Indonesia, 32, 2 persen rusak ringan, rusak berat ada 25 persen. SLTP yang rusak ringan 19, 9 persen, rusak berat 7, 4 persen. Padahal, untuk memperbaiki sebuah gedung sekolah hanya membutuhkan dana paling banyak Rp100 juta, nilai ini sangat kecil jika dibandingkan dengan share profit di sector pertambangan yang menguap keluar.

Kenapa hal ini bisa terjadi?

Cadangan minyak Indonesia pada tahun 1974 sebesar 15.000 metrik barel dan terus mengalami penurunan. Pada tahun 2000 cadangan minyak Indonesia sekitar 5123 metrik barel (MB) dan tahun 2004 menjadi sekitar 4301 MB. Penyebab dari turunnya cadangan minyak Indonesia adalah; pertama Ladang-ladang pengeboran minyak di Indonesia (milik Pertamina) sudah sangat tua, sebagian besar masih peninggalan penjajah Belanda. Kebanyakan sumur-sumur yang ada sudah tua, teknologi yang digunakan pun sudah ketinggalan zaman.

Tidak ada revitalisasi technologi, tidak ada pembenahan struktur dalam perusahaan Migas, dan tidak ada upaya pemerintah untuk memberikan perlakukan khusus bagi perusahaan tambang dalam negeri. Ini semua menyebabkan kemampuan dan kapasitas produksi untuk penerimaaan pemerintah semakin mengecil. PT Pertamina (Persero) menargetkan: laba bersih tahun ini hanya Rp17, 8 triliun atau turun 27, 3 persen dibandingkan laba bersih 2007 sebesar Rp24, 5 triliun. Jadi, merupakan sebuah ironi, korporasi-korporasi asing yang bereksplorasi di wilayah yang sama, memperoleh keuntungan maksimum, sedangkan Pertamina mengalami penurunan laba (keuntungan).

Penyebab kedua, turunnya cadangan minyak Indonesia adalah sebagian besar ladang-ladang minyak Indonesia dikuasai oleh korporasi asing (MNC), seperti BP, Chevron, CNOOC, ConocoPhillips, ExxonMobil, Inpex, KG, Mitsubishi, Nippon Oil, PetroChina, Petronas, Total, Vico. Dengan pembangunan pipeline (jalur onshore dan jalur offshore) yang bisa mengalirkan minyak hasil eksplorasi dari berbagai blok minyak di Indonesia ke Singapore power, menyebabkan potensi hilangnya minyak Indonesia semakin besar. Ini masih ditambah dengan ketidaksanggupan pemerintah mengontrol secara tegas produksi murni dari korporasi (MNC).

Berpatokan kepada UU Migas Nomor 22/2001, pembagian keuntungan pihak Indonesia (Cq. Pemerintah) dan korporasi dilakukan dalam skema Production Sharing Contract (PSC), di mana pertamina telah menjadi bagian dari Kontraktor kontrak Kerja Sama (KKKS). Dalam skema PSC yang ada sekarang, Cost Recovery (CR) sepenuhnya ditanggung oleh Pemerintah Indonesia. Cost recovery minyak mentah Indonesia mencapai US$9, 03 per barel, sedangkan rata-rata cost recovery minyak mentah dunia sekitar US$4-US$6 per barel. Jadi, cost recovery Indonesia lebih tinggi sekitar 75 persen -125 persen per barel, dibandingkan rata-rata negara produsen minyak mentah di dunia.

Apakah ada masalah dengan biaya cost recovery ini? Iya, audit Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan pada penggunaan cost recovery periode 2000-2006 terhadap 152 kontraktor senilai Rp122, 68 triliun, ditemukan indikasi penyimpangan pada 43 kontraktor senilai Rp18, 07 triliun. Perhitungan cost recovery sebenarnya hanya beban atas kegiatan eksplorasi migas, yang meliputi biaya produksi pengangkatan minyak (lifting) dan biaya investasi. Tapi kenyataannya, dalam kontrak yang dibuat kontraktor dengan pemerintah, tak ada batasan yang tegas. Akibatnya, banyak komponen biaya lain seperti renovasi rumah dinas, biaya berobat, hiburan bahkan kegiatan tanggung jawab sosial (CSR). Ini mungkin yang membuat biaya tersebut membengkak. (sumber: jurnal nasional)

Skema bagi hasil Pemerintah Indonesia dan pihak korporasi memang sangat tidak adil, sangat merugikan pihak Indonesia, namun, beberapa elit politik justru memanfaatkan isu ini demi kepentingan politiknya, bukan untuk kepentingan rakyat. Seandainya, Indonesia mau melakukan peninjauan ulang kontrak karya dengan semua KKS, alasan legal formalnya sangat dibenarkan, mengingat ada bukti-bukti penyimpangan yang disimpulkan BPK. Peraih Nobel Ekonomi 2001 Joseph E. Stiglitz waktu datang ke Indonesia, menyatakan eksploitasi yang dilakukan perusahaan multinasional di negara berkembang sering kali dianggap sepenuhnya sah. Sebagian besar negara berkembang dinilainya tidak mampu terlibat dalam negosiasi canggih yang melibatkan perusahaan-perusahaan multinasional. Dia menduga negara-negara itu tidak mengerti implikasi penuh dari setiap klausul di dalam kontrak. Untuk Indonesia pun, Stiglitz menyarankan agar berani melakukan negosiasi ulang.

Karena proses perampokan kekayaan alam Indonesia ini sepenuhnya dilegitimasi oleh perundang-undangan pemerintah Indonesia, maka tidak ada jalan lain, rakyat Indonesia harus melakukan nasionalisasi (pengambil-alihan) terhadap seluruh perusahaan tambang asing tersebut. Langkah ini merupakan jalan yang tepat dan sanggup menyelamatkan kekayaan alam yang seharusnya diperuntukkan untuk rakyat Indonesia. Pada Hari Buruh Internasional, Morales resmi mengumumkan nasionalisasi 20 perusahaan minyak dan gas asing. Pengumuman langsung didukung tindakan dengan mengirim tentara Bolivia ke ladang minyak dan gas alam. Penempatan pasukan militer itu merupakan simbol bahwa instalasi minyak dan gas itu telah menjadi milik negara Bolivia. Gara-gara dekrit itu, penerimaan Bolivia disektor migas melonjak menjadi US$780 juta (sekitar Rp7 triliun) pada tahun 2007. Jumlah itu enam kali lipat disbanding penerimaan pada 2002. Bagaimana jika perusahaan asing menolak? "Mereka boleh
pergi, " ujar Menteri Energi Andres Soliz.

Di Indonesia, di bawah Bung Karno, pemerintahan Soekarno mengeluarkan kebijakan UU No. 86/1958 tentang nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing, termasuk sektor pertambangan. Selain itu, Bung Karno memberlakukan UU Nomor 44 Tahun 1960 yang mempertegas pengelolaan minyak dalam kontrol Negara. Setelah itu, Bung Karno menyerahkan skema profit-sharing agreement (PSA) yakni 60:40, ditambah kebijakan lain seperti MNC wajib menyerahkan 25 persen area eksplorasi setelah 5 tahun dan 25 persen lainnya setelah 10 tahun. Selain itu, MNC wajib menyediakan kebutuhan untuk pasar domestik dengan harga tetap dan menjual aset distribusi-pemasaran setelah jangka waktu tertentu.

Skema Bung Karno langsung disetujui oleh presiden AS saat itu, John F Kennedy, dan tiga raksasa minyak dunia (Stanvac, Caltex, dan Shell). Cerita sukses Bung Karno itu bisa dilihat dalam prestasi sektor pendidikan, yakni Tingkat melék huruf naik dari 10 ke 50 persen (1960). Biaya pendidikan pada masa itu juga sangat murah.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka kami dari Eksekutif Nasional- Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (EN-LMND), menyatakan sikap sebagai berikut:

1. Nasionalisasi perusahaan pertambangan asing untuk kepentingan pendidikan gratis dan berkualitas.
2. Tinjau-ulang kontrak karya dengan seluruh KKS karena telah merugikan pihak Indonesia.
3. Cabut semua paket perundang-undangan (regulasi) yang mensahkan korporasi asing menjarah kekayaan alam bangsa kita.
4. Industrialisasi Nasional; Pemerintah harus memfasilitasi pembangunan dan penguatan Industri pertambangan Negara yang tangguh dan modern, baik di sektor hulu sampai ke hilir.
Demikian release ini kami buat. Atas perhatiannya, kami ucapkan banyak terima kasih.

(Pers Rilis, Jakarta, 22 februari 2007, EksNas-LMND)

(dikuip dr Supri/Multiply)

Sunday, March 2, 2008

KORPORASI

Banyak usaha dalam masyarakat dapat dijadikan “korporasi” karena definisinya berbunyi sebagai berikut: an association of individuals united for a common purpose and acting in a common name. Jadi, asalkan usaha itu melibatkan banyak orang dengan memakai satu nama, dia dapat dikatakan sudah incorporated. Sebuah korporasi bisa memiliki harta mengadakan kontrak, mengajukan tuntutan ke muka pengadilan dan sebaliknya dituntut. Umur koporasi memang bisa terbatas, tetapi dia bisa tidak dibatasi oleh kehidupan para anggotanya atau pendirinya.

Usaha berupa “bisnis” sudah barang tentu memerlukan status korporasi. Ini penting untuk hubungannya dengan negara, dengan para nasabah, dan juga dengan masyarakat luas. Sejak zaman Romawi bentuk korporasi sudah dikenal, dan menjadi sebuah kebiasaan untuk usaha yang ingin menghimpun dana dalam jumlah besar. VOC yang merambah wilayah Nusantara (belum Indonesia!) adalah salah satu korporasi bisnis dari Belanda yang ada sejak abad ke-17. Jumlah korporasi di Eropa meningkat tajam – baik yang diakui oleh negara, maupun yang tidak – pada abad ke-19.

Tentu saja muncul berbagai macam masalah sehubungan dengan perilaku tidak patut dari korporasi bisnis ini. Di Inggris, misalnya, akibat ulah South Sea Company, 1720 diterbitkan “Bubble Act” yang melarang korporasi bisnis. Perlu 100 tahun (1825) sampai Kerajaan Inggris mencabut undang-undang itu. Perilaku South Sea Company yang dikecam adalah menipu nasabah. Harga saham dinaikkan terlalu tinggi, padahal harga sebenarnya tidak setinggi itu, atau malah jauh lebih rendah. Pada abad ke-20 kejadian serupa terjadi lagi di Amerika Serikat dalam kasus yang menggemparkan dunia, yaitu kasus “Enron.”

Korporasi ditengarai oleh banyak pengamat, terutama oleh Karl Marx, menjalankan penindasan terhadap buruhnya. Pada puncak “Revolusi Industri” di Inggris pada abad ke-19, korporasi mempekerjakan buruhnya dengan cara memeras tenaga mereka: waktu kerja yang panjang, tempat kerja yang buruk, dan tentu saja gaji yang amat kecil. Tapi, apa kata pembelaan dari para pengusaha itu? Mereka mengatakan bahwa mereka telah “membeli” tenaga kerja mereka dengan sah, sehingga tenaga buruh-buruh itu sudah menjadi private property mereka. Sesuai isi dari kata ini, mereka berhak memakainya sesuai dengan kebutuhan (lihat, posting sebelum ini tentang “hak milik pribadi”). Di sini kritik Karl Marx tidak bisa diabaikan begitu saja, bahwa konsep hak milik pribadi itu anti-sosial.

M & A (merger and acquisition) adalah bahaya lain yang tidak kalah menakutkan, dan ini bisa menimpa masyarakat luas. Lewat tindakan ini sebuah korporasi (untuk seterusnya, selalu berarti korporasi bisnis) mencaplok korporasi lain, sehingga dengan demikian tidak ada lagi banyak korporasi, tetapi hanya tinggal “beberapa” saja. Dari beberapa korporasi dapat muncul monopoli ataupun oligopoli. Kedua aksi ini sangat merugikan konsumen karena monopoli dan oligopoli berarti menghilangkan persaingan, berarti mengendalikan harga. Konsumen harus membayar mahal sekali untuk produk yang sebenarnya murah. Gelombang M&A ini bertambah kuat antara 1897-1903 di Eropa, dan ini sejajar dengan yang terjadi pada tahun 1990-an di Amerika Serikat. Dunia pada saat ini sebenarnya telah dikuasai oleh segelintir MNC yang memegang monopoli pada bidangnya masing-masing (lihat: Global Inc. An Atlas of the Multinational Corporation, oleh Medard Gabel dan Henry Bruner, 2003).

Negara (terdiri dari presiden, perdana menteri, parlemen, jaksa, hakim, polisi dan aparat negara lainnya) semestinya memainkan peran arbiter atau wasit yang akan menghukum korporasi jahat, namun korporasi lebih pintar. Mereka mencari cara-cara untuk mempengaruhi negara. Salah satu cara yang paling umum adalah “menyogok” pejabat negara agar tidak menghukum, atau membuat undang-undang yang memihak kepentingannya. Negara juga cenderung untuk “setuju” dengan korporasi karena negara membutuhkan uang dari pajak korporasi, bahkan juga uang sogok itu sendiri.

Dalam zaman globalisasi korporasi nasional telah menjelma menjadi korporasi global yang disebut “multinational corporations” (MNC) atau “transnational corporations” (TNC). Korporasi jenis ini sudah mencapai ukuran yang sangat mencengangkan, sering memiliki kegiatan ekonomi yang lebih besar daripada sebuah negara. Dalam status seperti inilah korporasi (MNC) kini tidak lagi ada “di bawah” negara, tetapi duduk sejajar dengan, bahkan “di atas” negara. Dalam konferensi tahunan di Davos, Swiss, bertemulah para pemimpin negara dengan pemimpin bisnis (Chief Executive Officer – CEO), suatu hal yang dianggap biasa pada zaman sekarang, tetapi sebenarnya suatu hal yang luar biasa.

Perilaku MNC tidaklah berubah dari zaman sebelum ada MNC. Menipu nasabah, memeras buruh, mencaplok perusahaan lain, menggalang monopoli, menyogok pejabat negara. Kedigdayaan MNC pada saat ini menjadi lebih dahsyat karena MNC mampu mem-blackmail negara yaitu dengan ancaman akan angkat kaki ke negara lain (istilahnya: relokasi). Negara pada zaman globalisasi (terutama negara miskin) sering tidak punya pilihan lain kecuali takluk kepada MNC, lebih banyak menuruti daripada mengatur perilaku MNC. Menurut Charles Lindblom, mereka ini bahkan telah menghancurkan asas pasar bebas dan asas demokrasi, juga di negara yang paling pro-pasar dan paling demokratis (Amerika Serikat). Pada akhirnya, banyak kebijakan negara yang disusun untuk memuaskan kepentingan MNC. Benarlah apa yang dikatakan oleh Karl Marx lebih dari 100 tahun yang lalu, bahwa negara tak lebih dari “panitya eksekutif” dari para borjuasi.

Kalau negara tidak, siapa yang bisa mengendalikan perilaku MNC? Ini sebuah pertanyaan abadi yang sampai hari ini tidak ada jawaban. Presiden Roosevelt dari Amerika Serikat pada tahun 1930-an pernah berhasil menghentikan kegiatan bobrok ini, tapi dengan akibat ancaman kudeta oleh pengusaha! Titik masalahnya ada pada teori manajemen Anglo-Saxon, yang memisahkan ownership (kepemilikan) dan control (pengendalian). Secara teoretis, pemilik korporasi adalah para pemegang saham, mereka ini menjalankan pengawasan. Tetapi orang-orang ini tersebar-sebar di tempat luas (global!) sulit sekali untuk bertemu. Kecuali itu, para pemegang saham pada dasarnya punya self-interest, hanya peduli bahwa harga sahamnya terus naik.

Alhasil, seluruh kegiatan perusahaan ada di tangan si manajer atau CEO, pemegang control dalam perusahaan. Dia ini de facto penguasa tertinggi dan tunggal sebuah korporasi, dengan kekuasaan yang nyaris tanpa batas. Di kepalanya hanya ada satu kata: profit. Entah profit untuk pemegang saham, entah untuk dirinya sendiri! Caranya, terserah.

Kritik kontemporer terhadap praktik korporasi sudah banyak dilontarkan. Misalnya, Joel Balkan dengan bukunya Corporation, juga Joseph Stiglitz dengan bukunya, The Roaring Nineties. Akhir-akhir ini korporasi berusaha untuk menanggapi kritik ini dengan memperkenalkan konsep Corporate Social Responsibility (CSR), tetapi tetap saja ditertawakan sebagai akal-akalan pinter mereka.

Rafael V. Mariano, chairperson of the Peasant Movement of the Philippines, 2000

Food has long been a political tool in US foreign policy. Twenty-five years ago USDA Secretary Earl Butz told the 1974 World Food Conference in Rome that food was a weapon, calling it 'one of the principal tools in our negotiating kit.' As far back as 1957 US Vice-President Hubert Humphrey told a US audience, "If you are looking for a way to get people to lean on you and to be dependent on you in terms of their cooperation with you, it seems to me that food dependence would be terrific."