Thursday, June 12, 2008

Gejolak Harga Minyak

Kompas, Kamis, 12 Juni 2008 | 00:17 WIB

Spekulasi Dahsyat Naikkan Tensi

Washington, Selasa - Terdeteksi atau tidak terdeteksi, ada kekuatan besar yang berperan menaikkan harga minyak, pangan, dan selanjutnya mengacaukan ekonomi global. Spekulan yang melakukan spekulasi dahsyat adalah salah satu tudingan. Spekulasi menaikkan harga menyengsarakan rakyat dan menaikkan tensi darah politisi.

Demikian terungkap dari pertemuan Pengawas Bursa Berjangka AS (Commodities Futures Trading Commission/CFTC) di Washington, yang juga dihadiri pengawas bursa global dan investor raksasa seperti JP Morgan, Merrill Lynch, dan Goldman Sachs.

”Kenaikan harga minyak dan komoditas telah memberi kendala pada keluarga, petani, dan pebisnis. Kami menangkap keprihatinan publik tentang pentingnya transparansi dan integritas di bursa berjangka. Masalahnya, begitu harga minyak naik, tekanan darah politisi juga naik. Agen pemerintah harus berbuat sesuatu,” kata penjabat Ketua CFTC Walter Lukken.

Terjadi saling tuding di antara hadirin soal penyebab kenaikan harga minyak. John Heimlich, ekonom senior dari Asosiasi Transportasi Udara, mewakili industri penerbangan AS, mengarahkan tudingan kepada Goldman Sachs. ”Apakah divisi perdagangan Goldman Sachs diuntungkan dari ramalan yang dibuat salah satu divisi Goldman Sachs? Ramalan Goldman menyerukan aksi beli atas minyak, yang ternyata diikuti dengan melesatnya investasi pada komoditas minyak. Apakah tidak ada konflik kepentingan yang melekat dalam ramalan itu,” demikian Heimlich.

Direktur Pelaksana Goldman Sachs, Donald Casturo, membantah melakukan hal seperti itu.

Sean Cota, salah satu anggota komite pengendalian bursa, mengatakan khawatir dana-dana investasi negara-negara kaya, dana-dana pensiunan, juga mengalir ke komoditas minyak, untuk mengamankan nilai aset dari kemerosotan dollar AS. ”Kini ada tiga mata uang dunia, dollar AS, euro, dan komoditas, khususnya minyak,” kata Cota.

Secara implisit, CFTC menyimpulkan ada spekulasi dahsyat, karena itu dibentuk satuan tugas yang akan meneliti lebih dalam lagi soal aksi spekulan. Satgas itu melibatkan personel dari CFTC, Badan Pengawas Bursa Saham AS (SEC), Bank Sentral AS, Departemen Pertanian dan Departemen Keuangan AS.

Satgas tidak lagi bertanya apakah ada peran spekulan, tetapi seberapa besar peran spekulasi terhadap meroketnya harga-harga. ”Garis dasarnya adalah kita harus menggali lebih dalam lagi untuk mengetahui apa yang terjadi di bursa. Kita perlu mencari penyebab gerakan tak lazim di bursa,” kata salah seorang komisaris CFTC, Bart Chilton.

Chilton mengkritik langsung pernyataan Menkeu AS Henry Paulson, yang mengatakan tidak ada unsur spekulasi. ”Ini adalah pernyataan yang melemahkan tugas kami sebagai pemantau bursa. Dari yang saya dengar dari pelaku bursa, pernyataan itu prematur. Itu yang pasti,” kata Chilton.

CFTC menyatakan, London sudah jadi sasaran baru para spekulan. Karena itu, CFTC meminta Financial Services Authority Inggris untuk membatasi transaksi yang dilakukan spekulan, yang kini mencari celah di bursa komoditas London.

Dalam harian Financial Times edisi 11 Juni, Walter Huybregts dari Tradax Energy, Houston, Texas, menuliskan, kini ada banyak investor raksasa di bursa minyak. Mereka sama sekali tak bertujuan menggunakan minyak, tetapi sekadar mengembangbiakkan nilai investasi. (REUTERS/AP/MON)

No comments:

Rafael V. Mariano, chairperson of the Peasant Movement of the Philippines, 2000

Food has long been a political tool in US foreign policy. Twenty-five years ago USDA Secretary Earl Butz told the 1974 World Food Conference in Rome that food was a weapon, calling it 'one of the principal tools in our negotiating kit.' As far back as 1957 US Vice-President Hubert Humphrey told a US audience, "If you are looking for a way to get people to lean on you and to be dependent on you in terms of their cooperation with you, it seems to me that food dependence would be terrific."