Tuesday, May 26, 2009

Boediono Memang Penganut Neoliberal?

DHONI SETIAWAN
Jumat, 22 Mei 2009 | 13:58 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Meskipun bantahan demi bantahan diluncurkan oleh Boediono maupun pihak SBY sebagai pasangannya yang akan maju dalam pemilu presiden mendatang, sejumlah pengamat ekonomi keukeuh menilai Boediono memang menganut paham ekonomi neoliberalisme. Apa saja argumen yang mendasari klaim tersebut?

Mantan Menneg PPN/ Kepala Bappenas zaman Megawati, Kwik Kian Gie, mengatakan punya banyak catatan dalam rekam jejak Boediono sebagai pejabat publik. Sebagian besar langkahnya adalah 'menjual' sumber daya dan fasilitas publik kepada para investor. "Tanya pada Pak Boediono, dia berpendapat atau tidak ketika jalan raya yang mulus bebas hambatan itu harus dikenakan tarif tol, diserahkan kepada investor swasta, domestik maupun internasional. Oleh karena itu, investornya buat laba dan rakyat yang harus bayar tol!?" seru Kwik seusai diskusi bertajuk "JK-Win untuk Indonesia Adil dan Sejahtera: Ekonomi Kemandirian vs Ekonomi Neoliberal" di Jakarta, Jumat (22/5).

Padahal, menurut Kwik, di negara-negara besar di Amerika dan Eropa, seluruh fasilitas dan sumber daya publik dapat dinikmati rakyat secara gratis. Lalu apa lagi? Kwik kemudian menyebutkan beberapa pertanyaan yang patut dilontarkan kepada Boediono untuk membuktikan pria asal Blitar tersebut memiliki mazhab neoliberal.

"Betul atau tidak bahwa Boediono pro penjualan bahan bakar minyak (BBM) suatu waktu ketika Boediono menjabat sebagai Menteri Keuangan meski harganya tinggi? Betul atau tidak bahwa Boediono pro semua jalan bebas hambatan harus dikenakan biaya? Betul atau tidak bahwa Boediono menganggap barang-barang publik yang penting-penting menjadi ajang cari laba untuk investor asing?" tanya Kwik panjang lebar.

Pengamat ekonomi Hendri Saparini dari ECONIT memiliki pendapat serupa. Tiga pilar neoliberal, yaitu stabilitas makro, agenda liberalisasi, dan agenda privatisasi, yang dicetuskan dalam Washington Consensus menjiwai tindakan-tindakan Boediono.

Menurut Hendri, seorang penganut neoliberal tak akan meninggalkannya sedikit pun. Dalam pilar pertama, seorang neoliberal akan membuat kebijakan hanya demi stabilitas makro. Hendri menilai pernyataan-pernyataan SBY menunjukkan ciri ini. Pilihan kebijakannya pun demikian. Mazhab ini mengharuskan pengambilan kebijakan pengurangan atau pemotongan subsidi.

"Tidak salah jika dalam pidato, SBY mengatakan akan menekan inflasi dan ukuran stabilitas makro. Itu hanya akan menguntungkan kelompok kapital," tutur Hendri.

Belum lagi agenda liberalisasi dan privatisasi yang dilakukan oleh Boediono ketika menjabat sebagai Menkeu dalam masa pemerintahan Megawati dan Menko Ekuin dalam pemerintahan SBY. Misalnya, dalam penyusunan UU Migas. Hendri menilai pemerintahan SBY juga marak melakukan privatisasi. Bahkan, saat ini 40 Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sudah didata untuk diprivatisasi, antara lain PT Krakatau Steel dan PT Kereta Api Indonesia.

KOMPAS.com Caroline Damanik

Dapatkan artikel ini di URL:
http://www.kompas.com/read/xml/2009/05/22/13581432/boediono.memang.penganut.neoliberal

Friday, May 8, 2009

INFID blames WB for part in tragedy

The Jakarta Post, 13 April 2009

The International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) said the World Bank might have been partly responsible for the Situ Gintung dam burst on March 27.

"Not many people realized the maintenance and management of the Situ Gintung dam was related to a World Bank project," Don K. Marut, executive director of INFID, said in a statement.

Marut blamed the deteriorating conditions of the dam in Cireundeu, Banten, partly on World Bank loan requirements the Indonesian government had to comply with under a project scheme, named Water Resources Sector Adjustment Loan (WATSAL). The US$300 million WATSAL, loan agreement was singned on May 28, 1999.

Marut said under the scheme, the Indonesian government was required to revise its laws and regulations to make them compatibel with WB standards. These requirements, among other things, resulted in authority on irrigation matters being delegated to the associations of water-users.

"Many lakes, including Situ Gintung, were neglected due to authority being delegated and lack of coordination among relevant parties," Marut said. "Given the [Situ Gintung] destuction is a result of the loan agreement under the WATSAL, we demand the World Bank admits to the Indonesian public the mistake it made in the WATSAL project."

INFID also called on the Bank to cancel and write off the loan deal.

However, Jakarta's WB senior governance adviser Douglas E. Ramage denied INFID's allegations and regarded them as "unfounded and groundless."

"The World Bank's WATSAL laon has no operational connection to Situ Gintung. The suggestion that the WATSAL loan, which closed in 2004 and the government policies and decision that it supported led to the collapse of the Situ Gintung dam are unfounded," Ramage said in a statement.

Ramage added there had not been any irrigation from the Situ Gintung dam since the early 1990s. "The irrigation function of the Situ Gintung ceased when the land was converted into a residential area. For that reason, there were no associations of water users at Situ Gintung. Therefore, any suggestion that poor maintenance has anything to do with management by water users association is also groundless."

The National Disaster Management Agency (BNPB) reported the dam burst claimed 90 lives, while four persons were still missing and 295 families were still living in temporary shelters.

Jakarta Police have been questioning some government officials who allegedly neglected the maintenance of the dam, ultimately leading to the disaster. Before the disaster, local residents reported they had found cracks in the dam walls. (JP/iwp)

Esensi Utang RI Melenceng


Pemerintah Tak Punya Manajemen Utang Independen

Koran Jakarta,
Selasa, 05 Mei 2009 01:36 WIB

JAKARTA – Esensi utang luar negeri Indonesia selama ini melenceng karena pinjaman bukan untuk meningkatkan produktivitas, melainkan untuk menambal defisit anggaran negara akibat utang lama dan mempertahankan nilai tukar rupiah.

Tawaran utang baru dari ADB lebih banyak motif mencari untung bagi lembaga itu. Pemerintah setiap tahun harus membayar bunga utang hingga ratusan triliun rupiah.

JAKARTA – Esensi utang luar negeri Indonesia selama ini melenceng karena pinjaman bukan untuk meningkatkan produktivitas, melainkan untuk menambal defisit anggaran negara akibat utang lama dan mempertahankan nilai tukar rupiah.

Karena itu, pemerintah seharusnya tidak perlu menerima tawaran pinjaman lagi dari Bank Pembangunan Asia (ADB) karena akan melanggengkan beban berat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Tahun ini, lembaga itu menganggarkan utang hingga dua miliar dollar AS untuk Indonesia.

Ekonom senior Kwik Kian Gie menilai penggunaan utang luar negeri Indonesia selama ini tidak produktif sehingga melenceng dari esensinya. Jika pemerintah menerima utang baru dari ADB, hal ini membuktikan tim ekonomi lebih memihak kepentingan asing.

“Saya tidak pernah melihat alasan yang jelas dalam kebijakan mencari utang luar negeri,” ujarnya, Senin (4/5).

Kwik juga mempertanyakan alasan pemerintah berutang yakni untuk menambal defisit anggaran dan memperkuat nilai tukar rupiah. Pasalnya, defisit yang timbul selama ini justru disebabkan tingginya beban cicilan pokok dan bunga utang. Tujuan untuk menambah likuiditas dollar AS di dalam negeri juga dinilai absurd. Ketika rupiah melemah, pemerintah justru akan menjual cadangan dollar ke pasar.

Menurut Kwik, berdasarkan konsep yang diterima secara internasional, utang harus bisa dibayar kembali dari hasil produktivitas penggunaannya. Namun, untuk kasus Indonesia, utang luar negeri justru tidak efektif. Ini terbukti dari neraca (pembiayaan) utang luar negeri yang selalu defisit. Artinya, pembayaran cicilan utang (pokok dan bunganya) masih jauh lebih besar dari penarikan utang baru. Akibatnya, saldo utang Indonesia justru terus menumpuk.

Berdasarkan catatan, setiap tahun APBN “membuang” lebih dari 100 triliun rupiah hanya untuk pembayaran bunga utang (Lihat infografis).

Jadi, kata Kwik, tawaran utang baru itu lebih disebabkan kepentingan ADB untuk mencari untung dari pinjaman tersebut. APBN sendiri sebenarnya tidak terlalu membutuhkannya yang terbukti dari realisasi belanja yang selalu surplus.

Ekonom dari Econit Hendri Saparini menyatakan pemerintah harus mengukur ulang efektivitas utang luar negeri karena dinilai tidak memberikan manfaat.

Menurut dia, hal ini disebabkan pemerintah tidak memiliki manajemen utang yang dikelola secara independen. Manajemen utang pemerintah, lanjut dia, hanya mengukur rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB).

Seharusnya, kata Hendri, manajemen utang menggunakan ukuran efektivitas dan indikator keberhasilan program pembangunan yang didanai utang luar negeri.
"Dengan demikian, pemerintah tidak bisa seenaknya menambah utang hanya dengan pertimbangan bahwa rasio utang terhadap PDB aman," tegas dia.

Melahirkan Krisis

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada pembukaan sidang tahunan ADB di Nusa Dua, Bali, Senin, mengatakan pemerintah menilai keberadaan ADB masih positif. Pinjaman dan pendampingan dari ADB dianggap memberikan dampak yang positif bagi kesejahteraan masyarakat.

"Dalam 42 tahun terakhir, ADB telah membantu menciptakan kehidupan yang lebih baik di Asia-Pasifik. Kami mengagumi kesetiaan dan profesionalisme yang ditunjukkan ADB selama ini," kata Yudhoyono.

Namun, Endi Saragih dari Serikat Petani Indonesia mengatakan kehadiran dan keterlibatan ADB selama ini hanya melahirkan krisis di berbagai sektor.

"Selama 42 tahun berdirinya, ADB telah menyebabkan timbulnya bencana kelaparan di sejumlah negara Asia. Jika ini diteruskan, kehadiran ADB hanya akan memperlebar kemiskinan di Asia," kata dia saat berunjuk rasa di Denpasar.

Menanggapi pernyataan Presiden Yudhoyono, Hendri menyarankan agar Presiden berhati-hati dalam memberikan pernyataan dukungan. "Ini bisa memunculkan pandangan publik bahwa presiden kita menghendaki penambahan utang dan makin bergantung pada ADB," kata dia.

Persepsi itu, lanjut Hendri, akan mengakibatkan tim ekonomi Yudhoyono makin jor-joran dalam menjalankan kebijakan ekonomi yang hanya mengandalkan pada pendanaan dari utang.

(aji/ito/did/Ant/AR-1)

Tuesday, May 5, 2009

Krisis Finansial Membuktikan Ada yang Keliru

Kompas, Selasa, 5 Mei 2009 | 04:56 WIB

Krisis keuangan tahun 1997-1998 membuat sebagian besar negara di Asia terpukul. Kawasan lain di dunia relatif aman. Satu dekade berlalu, krisis keuangan kembali menerpa AS pada akhir tahun 2008. Seluruh dunia pun ikut terganggu karena AS merupakan lokomotif utama ekonomi dan perdagangan dunia.

Krisis keuangan kali ini membuktikan ada yang salah dalam sistem pembangunan ekonomi internasional yang didukung lembaga-lembaga multilateral, seperti Organisasi Perdagangan Dunia, Bank Dunia, Dana Moneter Internasional, dan bank-bank regional, seperti Bank Pembangunan Asia (ADB).

Pernyataan itu dilontarkan Emil Salim, mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup, dalam panel diskusi ”Responding to the Inevitable: Climate Change Adaptation Challenges and Opportunities in Asia and the Pacific” di Nusa Dua, Bali, Minggu (3/5). Diskusi ini berlangsung berkenaan dengan adanya sidang tahunan ke-42 ADB di Nusa Dua, 2- 5 Mei.

”Perubahan tengah berlangsung di semua sektor. Karena itu, tampaknya lembaga-lembaga multilateral tidak bisa melanjutkan paradigma lama,” ujar Emil Salim.

Dengan perubahan itu, Emil Salim menjadi lebih optimistis pada perundingan di Konferensi Para Pihak Ke-15 mengenai Konvensi Perubahan Iklim yang akan berlangsung di Kopenhagen, Denmark, pada akhir tahun 2009 ini.

Sebagai pembicara terakhir setelah Salvano Briceno, Direktur Strategi Internasional untuk pengurangan Bencana Perserikatan Bangsa-Bangsa; Warren Evans dari Bank Dunia; Luc Gnacada, Sekretaris Eksekutif Konvensi PBB untuk Melawan Penggurunan; dan Ashok Khosla, Presiden International Union for Conservation of Nature, Emil Salim beberapa kali menyelipkan kritiknya terhadap praktik-praktik ADB.

Dalam soal adaptasi dan upaya mengurangi dampak perubahan iklim, misalnya, ia mempertanyakan kenapa lembaga keuangan, seperti Bank Dunia dan ADB, memberikan bantuan pinjaman kepada industri-industri berbasis batu bara dan pembangunan jalan raya yang tidak ramah iklim.

Modus utang baru

Menurut Faby Tumiwa dari Institute for Essential Services Reform, ada kecenderungan lembaga-lembaga keuangan multilateral menjadikan adaptasi perubahan iklim sebagai modus baru pemberian utang.

”Seperti cara baru untuk berbisnis,” ujar Faby seraya menyebut Climate Investment Fund Bank Dunia dan mekanisme serupa yang segera diluncurkan ADB.

Mantan Duta Besar PBB untuk Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) Kawasan Asia Pasifik, Erna Witoelar, juga menolak penambahan utang untuk pencapaian MDGs, khususnya di bidang pendidikan dan kesehatan. ”Kita harus bisa mencapainya dengan sumber daya sendiri,” ujar Erna.

Dihubungi di tempat terpisah, Dani Setiawan dari Koalisi Antiutang (KAU) menyesalkan rencana pemerintah memberikan tambahan modal untuk ADB sebesar Rp 400 miliar per tahun mulai tahun 2010. ”Uang itu lebih tepat digunakan untuk stimulus ekonomi rakyat dalam situasi krisis ini,” ujar Dani.

Mengutip Global Development Finance yang diterbitkan Bank Dunia tahun 2008, Dani menyatakan, telah terjadi peningkatan jumlah utang 44 kali lipat dari negara berkembang dalam kurun tahun 1970-2007, dari sekitar 70 miliar dollar AS menjadi sekitar 3.300 miliar dollar AS. ”Sebenarnya operasi lembaga-lembaga keuangan dunia terus menyebabkan krisis utang di negara berkembang,” kata Dani.

Sementara Chris Ng, Sekretaris Regional Union Network International (UNI), di Nusa Dua, menegaskan, UNI bersama dua lembaga swadaya masyarakat internasional lain, Public Services International (PSI) dan Building and Wood Worker Internasional (BWI), bergabung dalam suatu wadah bernama Global Union, meminta ADB merevisi Strategi ADB 2020 karena tidak mengakomodasi perlindungan buruh secara memadai. Global Union mengklaim mewakili 52 juta pekerja di seluruh dunia.

Intinya, krisis keuangan dunia yang membuat banyak orang menderita merupakan kekeliruan lembaga keuangan internasional, termasuk ADB. Kini mereka dituntut.(BEN/OIN/MH)

Dapatkan artikel ini di URL:
http://entertainment.kompas.com/read/xml/2009/05/05/04561474/krisis.finansial.membuktikan.ada.yang.keliru

Puluhan Aktivis Anti-ADB Protes

Kompas, Selasa, 5 Mei 2009 | 04:44 WIB

Denpasar, Kompas - Puluhan aktivis anti-Bank Pembangunan Asia yang tergabung dalam Asian People’s Movement Against ADB melancarkan protes. Namun, aksi mereka dihadang polisi saat bergerak menuju lokasi sidang tahunan ADB di Nusa Dua, Bali, Senin (4/5).

Mereka akhirnya gagal menggelar aksi demonstrasi yang direncanakan berlangsung saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, membuka sidang tahunan ke-42 ADB di Nusa Dua. Para aktivis terpaksa memindahkan aksi mereka ke Denpasar, belasan kilometer dari Nusa Dua.

Sebagian besar rombongan demonstran itu berangkat dari Denpasar menaiki sepeda dan sebagian lagi menumpang bus. Namun, sesampainya di perempatan jalan By Pass Ngurah Rai Benoa sekitar 10 kilometer dari lokasi sidang ADB, mereka dihadang puluhan polisi. Demonstran yang menggunakan sepeda dipaksa balik arah ke Denpasar.

Pada waktu yang sama, rombongan para aktivis Seafish asal Filipina yang berangkat ke Nusa Dua dengan tiga mobil dihentikan tepat di pintu masuk kawasan Bali Tourism Development and Corporation (BTDC) Nusa Dua. Mereka dilarang masuk ke kompleks itu. Mobil digeledah dan sempat digiring ke Kantor Polsek Kuta Selatan dan diinterogasi sebelum dikawal menuju Denpasar. Mereka yang menggunakan bus juga harus menjalani pemeriksaan di pinggir jalan By Pass Ngurah Rai.

Perwira Humas Poltabes Denpasar Komisaris Ketut Suwetra menyatakan, aksi demonstrasi tidak dapat digelar di kawasan Nusa Dua. Kawasan itu dinyatakan steril dari aksi unjuk rasa selama pertemuan ADB berlangsung 2-5 Mei 2009. Polisi juga telah memasang barikade pengamanan berlapis untuk demonstran di simpang patung Dewa Ruci dan patung Ngurah Rai

”Kami meminta Anda kembali ke Denpasar. Silakan gelar aksi di sana. Kita semua ingin agar Bali aman,” kata Suwetra.

Para aktivis memprotes keras penghadangan dan pelarangan mereka menggelar aksi demo di Nusa Dua. Dengan kecewa, mereka pun kembali ke Denpasar.

Utang menyengsarakan

Perwakilan aktivis, M Iqbal, menyatakan, polisi telah melakukan tindakan yang bertentangan dengan demokrasi. Karena kebebasan untuk menyampaikan pendapat diatur dalam Undang- Undang Nomor 9 Tahun 1998.

”Ini juga sekaligus ironis karena apa yang kami perjuangkan juga kepentingan rakyat. Kami tegas menolak ADB karena programnya memberikan utang kepada negara-negara jelas-jelas hanya merugikan dan menyengsarakan masyarakat negara-negara pengutang, termasuk Indonesia,” kata Iqbal.

Ia menyatakan, para aktivis akan tetap nekat mencari cara melanjutkan aksi menentang ADB, termasuk pertemuan tahunan di Nusa Dua itu, hingga pertemuan itu berakhir pada 5 Mei ini. Aksi kemarin ditutup dengan membacakan Deklarasi Bali 2009 di depan Konsulat Jenderal Jepang.

Deklarasi itu terdiri dari empat pokok pikiran. Menuntut penghapusan utang atas proyek-proyek ADB yang tidak sah dan telah memperdalam jeratan utang. Kedua, melawan upaya yang terus dilakukan ADB sebagai penggerak utama privatisasi pangan, benih, air, tanah, energi, kekayaan pesisir dan laut, serta layanan sosial di kawasan Asia.

Ketiga, mengecam dukungan ADB untuk pihak swasta yang telah menguatkan monopoli penguasaan korporasi atas sektor energi, perikanan, pertanian, dan sumber daya air. Keempat, menolak kebijakan ADB yang sengaja mendukung pembiayaan proyek yang terbukti merusak lingkungan dan melahirkan ketidakadilan sosial dan pelanggaran HAM. (BEN/MH/OIN)

Dapatkan artikel ini di URL:
http://entertainment.kompas.com/read/xml/2009/05/05/04444277/puluhan.aktivis.anti-adb.protes

Rafael V. Mariano, chairperson of the Peasant Movement of the Philippines, 2000

Food has long been a political tool in US foreign policy. Twenty-five years ago USDA Secretary Earl Butz told the 1974 World Food Conference in Rome that food was a weapon, calling it 'one of the principal tools in our negotiating kit.' As far back as 1957 US Vice-President Hubert Humphrey told a US audience, "If you are looking for a way to get people to lean on you and to be dependent on you in terms of their cooperation with you, it seems to me that food dependence would be terrific."