Saturday, May 31, 2008

SPEKULAN MERAMPAS KANTONG KITA

Getty Images/Jasper Juinen / Kompas Images
Seorang wanita Spanyol, Jumat (30/5) di Madrid, membawa spanduk bertuliskan "SOS" atau lebih kurang artinya "Selamatkan Jiwa Kami". Wanita ini berada di antara demonstran yang menyampaikan protes soal kenaikan harga minyak di depan Kantor Departemen Perikanan.
Sabtu, 31 Mei 2008 | 03:00 WIB

Pekan lalu Senat AS dari Partai Demokrat sudah membombardir lima perusahaan raksasa minyak AS soal faktor di balik kenaikan harga minyak. Namun, apa jawabannya? Dikatakan, kenaikan harga minyak disebabkan pasokan yang amat ketat di pasaran. Terbukti, raksasa minyak AS itu berbohong.

Tunggu dulu, di mana para senator AS dari Partai Republik? Ini adalah partai dari mana Presiden AS berasal. Kenapa yang membombardir eksekutif raksasa perminyakan AS itu hanya senator dari Demokrat? Di sini pun sudah muncul kecurigaan. Penyelidikan soal invasi Irak juga didominasi Partai Demokrat, bukan Republik.

Menteri Luar Negeri AS Condoleezza Rice, Wakil Presiden Dick Cheney, adalah mantan eksekutif perminyakan, sebagaimana tuan mereka, Presiden AS George W Bush, yang juga dijuluki mantan Texas oilman.

Namun, sekencang apa pun Senat AS menggempur, raksasa minyak AS itu menjawab enteng. Bahkan, eksekutif itu mengatakan, adalah Senat AS, yang menghambat eksplorasi, yang mendorong harga minyak naik akibat pasokan minyak yang seret.

Saat itu para eksekutif minyak (Exxon, Shell, Conoco, BP America, dan Chevron) juga ditanyai, bagaimana para eksekutif itu bisa meraup untung, sementara rakyat AS harus ketiban harga bahan bakar minyak yang sudah merampas kantong?

Menurut juru bicara Badan Pengawas Bursa Berjangka AS (Commodity Futures Trading Commission/CFTC), R David Gary, kepada McClatchy Newspapers, Jumat (30/5), penelitian terhadap transaksi minyak dan komoditas dilakukan karena pasar sudah bergerak terlalu liar.

”Faktor penawaran dan permintaan adalah faktor yang mendorong terjadinya harga,” kata John Hofmeister, Presiden Shell Oil Company.

Jengkel dengan jawaban ringan itu, Senator Dianne Feinstein (Demokrat asal California) dengan sinis telah menuduh para eksekutif minyak itu menjadikan dirinya sebagai korban kenaikan harga minyak, sebagaimana ditulis di harian The New York Times, edisi 22 Mei.

Akan tetapi, nyatanya yang menjadi korban adalah rakyat di negaranya, dan juga rakyat di negara yang menjadi importir neto minyak.

Perusahaan minyak berperan

Akan tetapi, kemudian terlihat bahwa para eksekutif minyak AS itu bersilat lidah. Operasi raksasa minyak ini juga menyebar ke berbagai negara.

Pada hari Kamis (28/5) waktu Washington DC, CFTC mengumumkan hasil investigasi. Penyelidikan dilakukan karena dunia kebingungan dengan kenaikan harga minyak yang berlebihan, yang merepotkan banyak negara akibat protes rakyat.

CFTC menyatakan, ada manipulasi dalam transaksi minyak di bursa-bursa berjangka. CFTC tidak memberi rincian soal manipulasi, tetapi disinggung di berbagai situs internet, termasuk Dow Jones Newswires.

Senator Jeff Bingaman (Demokrat dari New Mexico), Ketua Senat untuk Komite Energi dan Sumber Daya Alam, memberi informasi mencengangkan.

Dia mengatakan, dalam transaksi itu ada pelaku yang dijuluki sebagai swap dealers. Namun, isinya termasuk raksasa perusahaan minyak, di samping perusahaan penerbangan AS. Mereka menyerbu pasar untuk meraup untung, di samping para pelaku tradisional. Ada juga bank-bank investasi yang bermarkas di Wall Street, bursa terkenal di New York, yang ikut bermain dalam transaksi minyak dan komoditas.

Penelitian CFTC itu tidak saja menyelidiki pasar minyak, tetapi juga bursa komoditas nonminyak, terutama Chicago Mercantile Exchange (CME), yang telah lama dicurigai sebagai sarang spekulan, sebagaimana diberitakan di situs The Milkweed, pada edisi Mei.

The Milkweed menuliskan, ada beberapa pelaku besar yang menimbun komoditas di Oklahoma, AS, yang tujuannya membuat pasokan komoditas terkesan seret. Tujuan dan modus operandinya sama, untuk membuat pasar mudah digoda menaikkan harga demi keuntungan para spekulan besar.

Mengaku juga

Apakah benar kenaikan harga yang berlebihan akibat ulah spekulan? ”Jawaban saya ’ya’” kata Michael Masters, manajer portofolio investasi dari Masters Capital Management, AS, di hadapan Senat AS.

Para spekulan jelas telah merampas uang dari kantong kita, termasuk di Indonesia, yang juga ketiban kenaikan harga minyak. Setelah penelitian itu diumumkan, apakah akan ada efek jera?

Para analis mengatakan, penelitian itu tidak akan berdampak besar pada penghentian aktivitas spekulan, yang oleh media di AS juga disebut menjadi kontributor kampanye politik para pejabat Gedung Putih.

Maka, tak heran jika media AS dengan sinis mengatakan, untuk perbaikan pasar dan perekonomian AS, lebih baik menunggu George W Bush mengakhiri jabatan dan digantikan presiden baru. (REUTERS/AP/AFP/MON)

Friday, May 23, 2008

PERTANIAN DAN REZIM WTO

Paulus Erwin Sasmito

Mahasiswa FTW


World Trade Organization atau sering disingkat dengan ‘WTO’, adalah organisasi internasional yang berwewenang mengurusi sistem (aturan) perdagangan antar negara di dunia. Apa jadinya jika organisasi perdagangan internasional ini sudah ditunggangi oleh pelaku-pelaku ekonomi raksasa (negara-negara maju) yang punya kepentingan? Tak mengherankan jika agenda-agenda WTO senantiasa memunculkan kontroversi. Kontroversi ini muncul karena lebarnya jurang perbedaan kepentingan antara negara maju dengan negara-negara berkembang. Salah satu contohnya adalah kontroversi dalam perundingan sektor pertanian yang terkait dengan pangan. Khudori dalam bukunya yang berjudul ‘Neoliberalisme Menumpas Petani’, khususnya pada bab II (Pertanian dalam Rezim WTO) secara tajam mengkritisi praktek-praktek perdagangan dan industri pertanian Internasional yang diatur melalui Perjanjian Pertanian (Agreement on Agriculture –AoA)[1]. Ada 3 bagian pokok yang hendak diulas dalam tulisan ini. Pertama, tiga elemen utama AoA, yaitu market access, domestic support, dan export subsidy. Kedua, dua elemen yang terkait dengan sektor pertanian, yaitu sanitary and phytosanitary (SPS) measures, dan efek negatif dari agricultural reform. Ketiga, TRIPs (Trade Related Aspect on Intellectual Property Rights) yang membawa perubahan mendasar pada sektor pertanian.

Pertama, 3 elemen utama AoA (market access, domestic support, dan export subsidy) Mekanisme-mekanisme kunci dalam market access adalah membangun perdagangan dengan rezim tarif, pengurangan tarif, dan pengikatan besarnya tarif masing-masing produk pertanian. Tarifikasi pada prinsipnya adalah mekanisme penarifan tanpa kecuali. Penarifan ini dilakukan dengan mengubah semua bentuk kebijakan non-tariff measures (NTM) menjadi tarif ekivalen. Artinya, proteksi di sektor pertanian sejatinya masih diperbolehkan, asalkan proteksi tersebut dalam bentuk tarif, tanpa harus mengurangi tingkat proteksinya. Sedangkan komitmen mengenai Domestic Support (DS) diwujudkan dalam bentuk kebijakan penurunan subsidi, baik untuk produksi maupun dalam bentuk pengalihan (transfer) dana kepada produsen. AoA tidak melarang semua bentuk subsidi kepada produsen, tetapi menentukan disiplin yang lebih teratur dalam wilayah domestik. Teks-teks kesepakatan dalam AoA dirancang agar DS dirubah sedemikian rupa sehingga dapat dihilangkan, ataupun kalaupun masih ada maka pengaruhnya terhadap distorsi perdagangan dan produksi tiap-tiap produk pertanian berdampak kecil. Selanjutnya adalah komitmen dalam Export Subsidy (ES) yang dimaksudkan untuk mendisiplinkan kebijakan dan tindakan pemerintah yang menyalurkan bantuan terhadap ekspor dalam bentuk subsidi ekspor. Pengurangan subsidi ekspor bertujuan untuk mengurangi distorsi di pasar internasional, karena kebijakan subsidi ekspor dianggap dapat memancing persaingan yang tidak sehat antara negara pemberi subsidi dan negara pengimpor. Ketiga elemen utama dalam AoA ini merupakan tiga pilar yang satu dengan yang lainnya saling terkait. Subsidi ekspor barang pertanian yang dilakukan oleh suatu negara misalnya, akan berdampak luas terhadap pasar ekspornya. Subsidi ekspor selain akan memperkukuh cengkeraman di negara pengimpor juga dapat berpengaruh buruk terhadap daya saing ekspor bagi negara yang tidak melakukannya. Demikian juga, besarnya DS yang diberikan suatu negara terhadap petaninya akan mempengaruhi nilai ekspor serta membawa persaingan tidak sehat antar negara pengekspor. Akibat besarnya praktek DS, harga beras international misalnya, tidak lagi menggambarkan tingkat efisiensi (ongkos produksi) karena sebagian besar negara-negara utama eksportir beras melakukan pelbagai support terhadap petani mereka.

Kedua, dua elemen yang terkait dengan pertanian (sanitary and phytosanitary (SPS) measures, dan efek negatif dari agricultural reform). Aturan SPS bertujuan untuk ‘melindungi kehidupan dan kesehatan manusia, hewan, dan tumbuhan’. Sementara untuk langkah reformasi sektor pertanian yang dilakukan harus selalu mempertimbangkan non trade concern, seperti food security, dan protect the environment yang terintegrasi dalam special and differential treatment. Dalam hampir semua aturan WTO mensyaratkan adanya keseragaman sistem, baik bagi negara maju maupun negara berkembang. Padahal kondisi sosial, politik, ekonomi dan budaya negara-negara berkembang jelas berbeda dengan negara maju. Akibat penyeragaman aturan-aturan perdagangan tersebut, praktek free trade justru berbelok menjadi perdagangan yang tidak adil, bahkan bersifat menghisap akibat level playing field yang berbeda antara negara-negara maju dengan negara-negara berkembang. Berpijak dari realitas ini, liberalisasi perdagangan hasil-hasil pertanian melalui pembukaan akses pasar (MA) yang lebih luas, penurunan subsidi ekspor (ES) dan subsidi domestik (DS) seharusnya dapat menjamin terwujudnya sistem perdagangan yang adil. Free trade semestinya mempertimbangkan posisi petani-petani gurem di negara-negara berkembang yang hidup dalam tingkat subsistensi dengan teknologi pertanian sederhana. Di samping itu, untuk menciptakan sistem perdagangan adil, prinsip non trade concern perlu mendapat perhatian dalam perundingan Perjanjian Pertanian. Non trade concern muncul akibat dari multifungsi sektor pertanian bagi negara-negara berkembang. Bagi negara-negara berkembang termasuk Indonesia, pertanian tidak hanya menyangkut aspek perdagangan, tetapi berfungsi sebagai penyediaan pangan, penyerapan tenaga kerja terbesar, pengentasan kemiskinan, pembangunan pedesaan, dan konservasi lingkungan hidup, bahkan sebagai kekayaan budaya atau ritual yang diwariskan dari generasi ke generasi. Dalam hal ini, food security, kepentingan negara-negara berkembang, sudah selayaknya mendapatkan perhatian. Kemudian, selaras dengan trade concern, Special and Different Treatment (S&D) bagi negara-negara berkembang semestinya mendapatkan perhatian yang serius dalam AoA. S&D dipandang penting sebagai bagian dalam mencapai tujuan fair trade lewat penciptaan level playing field yang sama antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang.

Ketiga, TRIPs (Trade Related Aspect on Intellectual Property Rights). TRIPs terdiri dari 73 pasal yang terbagi atas 7 bab. Untuk sektor pertanian, pasal 27 adalah pasal yang paling sering dipermasalahkan. Isinya berkaitan dengan aturan hak paten atas hasil penemuan baru dalam bidang teknologi pertanian, seperti rekaya genetika, sumber daya hayati, dll. Pasal 28 semakin memperjelas mengenai hal ini, yakni bahwa dengan hak paten atas makhluk hidup, seseorang atau suatu lembaga memiliki hak sepenuhnya untuk memanfaatkan dan menjual jenis/varietas tertentu, dan bila orang lain ingin memanfaatkan atau pun menjual jenis/varietas yang sama, mereka harus membayar kepada pemilik hak paten. Hal ini memunculkan beberapa implikasi pematenan atas makhluk hidup pada masyarakat tradisional dan petani, yaitu: (1) masyarakat tradisional dan petani tidak dapat lagi menjalankan aktivitas yang biasa mereka lakukan yang terkait erat dengan perlindungan dan pelestarian hayati-tanpa seizin pemegang paten; (2) menjual hasil paten dari varietas tanaman yang lindungi oleh paten tanpa izin pemegang paten. Akhirnya, yang jelas TRIPs memunculkan sejumlah implikasi serius terhadap keragaman hayati, yaitu: (a) monopoli kepemilikan keragaman hayati beserta pengetahuannya; (b) menegasikan inovasi tradisional masyarakat adat/lokal; (c) membuka peluang pembajakan sumber daya hayati (:pengambilan dan pemanfaatan bahan hayati, terutama sumber daya genetik beserta kearifan tradisional masyarakat adat/lokal, tanpa sepengetahuan dan persetujuan masyarakat setempat); (d) mendorong erosi keragaman hayati. Jelas bahwa sistem TRIPs sangat menguntungkan negara-negara maju yang banyak diboncengi perusahaan-perusahaan multinasional (MNC) yang berkecimpung dalam industri pertanian; sementara itu masyarakat dan para petani di negara-negara berkembang yang memegang kearifan lokal (kreativitas alam dan kreativitas yang tumbuh dari kekayaan intelektual bersama) semakin tergencet, tak berdaya berhadapan dengan sistem yang menguntungkan monster-monster neoliberalisme.

Gagasan Khudori yang kritis ini semakin membuka wacana kita mengenai bagaimana rezim WTO dengan kebijakan-kebijakannya selama ini telah menggencet para petani di negara-negara berkembang. WTO yang mensyaratkan keseragaman sistem untuk seluruh negara, justru membelokkan free trade ke arah perdagangan yang tidak adil akibat level playing field yang berbeda antara negara maju dan negara berkembang. Aturan TRIPs WTO jelas-jelas menguntungkan MNC-MNC industri pertanian di negara-negara maju; sedangkan masyarakat dan para petani di negara-negara berkembang semakin tertindas. Berhadapan dengan rezim WTO ini, semestinya kita harus berani untuk terus bersuara membela nasib petani, khususnya menyangkut: (1) perjuangan terciptanya perdagangan yang adil (free trade) dengan prinsip non trade concern dan special and different treatment bagi negara-negara berkembang; dan (2) perjuangan terciptanya kearifan lokal yang menyangkut kreativitas alam dan kreativitas yang tumbuh dari kekayaan intelektual bersama (menentang monopoli hak paten).



[1] AoA pada prinsipnya bertujuan untuk memperluas liberalisasi perdagangan di bidang pertanian serta secara bertahap mengurangi distorsi perdagangan dengan menerapkan aturan permainan GATT (General agreement on Tarrif and Trade), cikal bakal WTO

Saturday, May 17, 2008

Kehancuran pertanian di seluruh dunia

06/05/08
Liberalizing Food Trade to Death
by Shawn Hattingh

Introduction

People across the world, from Mexico to Mozambique, have once again been taking to the streets in protest. The reason is to demand that their most basic need be met: access to food. With food prices skyrocketing over the last few months, billions of people around the globe have been relentlessly driven towards starvation. The various states in which these protests have taken place have reacted swiftly and brutally. They have deployed security forces armed with shields, batons, water cannons, stun grenades, tear gas, rifles, and even machine guns against the protestors. Hundreds of people have been killed.

Billions of people are struggling to afford food because of the huge disparities and inequalities that have been exacerbated by the current economic system -- neo-liberal globalization. Over the last 30 years, almost all states across the world have adopted neo-liberal economic policies. Neo-liberal policies have favored giant corporations' interests over those of people and have enabled a handful of companies to gain a virtual monopoly over the human food chain and make massive profits. The poor, however, have suffered consequences of neo-liberal policies: if people can't afford the prices these monopolistic companies charge, they don't get food.

The World Has Not Always Been This Way

Prior to the advent of neo-liberalism in the late 1970s, most governments across the world assisted small-scale farmers within their borders, providing them with various forms of subsidies. For example, in Africa, Asia, and Latin America, various state-run entities were created to offer small-scale farmers assistance in the forms of research, cheap credit, marketing services, transport, and processing services. Many states even subsidized the seeds, compost and equipment that small-scale farmers needed. Third World states also applied high import tariffs on staple foods such as maize, potatoes, rice, beans, grain, and poultry, to protect small- and medium-sized farmers from dumping and cheap imports. A number of states also played an active role during this period in helping small-scale farmers establish cooperatives. The result was that between 1950 and 1980, small- and medium-sized farmers met most of the food needs of their own countries. Even many countries in the South had enough affordable food for their entire populations. To help consumers, most governments also regulated the prices of agricultural goods and even subsidized certain food products so that the poor would be able to afford them. With the advent of neo-liberal capitalism and free trade, however, this situation was turned on its head.

Hello Neo-liberalism; Goodbye Food Sovereignty

In the early 1980s, the US, International Monetary Fund (IMF), and the World Bank (WB) used the debt stranglehold that they had over Third World countries to force them to adopt neo-liberal economic policies through Structural Adjustment Programs (SAP). This period saw most Third World governments being forced to sell off their public assets to multinational companies; allow foreign companies to move money in and out of their borders; end food subsidies; create export-processing zones; smash workers' rights; dismantle environmental laws; and implement wage freezes. Under SAPs, almost all governments in Asia, Africa, and Latin America were also forced to reduce their import tariffs on agricultural goods, thereby creating new export markets for multinational companies. Linked to this, Third World states were required to dramatically reduce the subsidies that they offered to small-scale farmers, who were producing for domestic needs. Of course, the US and European countries continued to subsidize their own farmers, mostly agribusiness corporations, and also maintained high tariffs on selected agricultural products -- those that their farmers were producing. The result was that by the mid-1980s small-scale farmers in the South were being forced to compete with subsidized agricultural products flooding into their countries from the US and Europe.

Although the IMF, the US, and the WB demanded that the Third World states end any form of assistance to small-scale farmers, they encouraged these same states to continue assisting agricultural corporations and large-scale farmers that were exporters. From Brazil to Kenya, Third World states were pushed to grow export crops that were needed or desired in Europe and the US. For instance, Kenya was instructed to focus on growing flowers for export to Europe while Brazil was told to focus on soy beans for export to the US. Thus these states -- along with the IMF, the WB, and agricultural multinationals -- prioritized such export crops over food for domestic consumption.

As if the SAPs were not bad enough, almost all the states in the South became members of the World Trade Organization (WTO) when it was formed in 1995. In order to become members of the WTO, countries were required to become of full signatories to the WTO's Agreement on Agriculture (AoA). The AoA was written by an ex-employee of one of the largest agricultural multinationals in the world, Cargill, and is highly beneficial to the US and the EU and their corporations. Specifically, the AoA stipulates that WTO members cannot impose quotas on agricultural imports, states that agricultural imports can be only controlled by tariffs, and requires all member states to reduce their import tariffs on agricultural goods. Through the AoA, all member countries in the South were required to reduce their tariffs on agricultural goods by 24% by 2005. The idea behind this was to create more export opportunities for multinational companies, such as Cargill.

The majority of countries of the South have been forced to drastically cut the subsidies they offer to their small-scale farmers due to the SAPs. The AoA, however, allows countries -- in the light of SAPs, only the US and the EU -- to continue subsidies as long as they do not directly distort trade. In effect, this has allowed multinationals, such as Cargill and Monsanto, to continue to receive massive subsidies from the US and the EU. In 2002, the US government passed the US Farm Act, which enabled the US state to provide American farmers, mostly large multinational firms, with $180 billion in subsidies over 10 years. The US Farm Act was considered WTO compliant.

The Dire Consequences of Neo-liberalism

Up until a few years ago, free trade had led to low food prices internationally. With the advent of free trade, subsidized agricultural products from the US flooded into the countries of the South. Farmers involved in producing staple foods in the South, such as maize, beans, and grains, were especially hard hit. For example, maize farmers in the US have traditionally received massive subsidies, often to the tune of $10 billion a year, which allowed them to export their produce to countries in the South at exceptionally low prices. Most small-scale farmers in the South, who no longer received subsidies under the SAPs, could not compete with the price of this imported maize. The outcome was that millions of small-scale maize farmers around the world have gone bankrupt. In Mexico alone, it has been estimated that as many as 5 million small-scale farmers and farm workers have been forced to leave their farms and move to the urban areas due to cheap imports flooding in from the US.14 Bankruptcy has not only been limited to the maize sector -- small-scale farmers across every sector have been destroyed by free trade. Hundreds of millions of small-scale farmers and farm workers in the South have been driven from the land. In fact, millions upon millions of hectares of farm land has been abandoned in the South. The result has been that most countries in the South are no longer able to meet their own food needs; they have to import food from the US and the EU -- which of course benefits multinational companies.

The advent of neo-liberalism and free trade, with its tailor-made policies for large corporations, has helped a small number multinational companies gain a virtual monopoly over global food production, distribution, and sales. The fact that six corporations control 85% of the world trade in grain; three companies account for 83% of the trade in cocoa, and three corporations control 80% of the global trade in bananas illustrates this. Through this monopolization, multinationals are now able to control the prices of food products. They pay smaller farmers very little for their produce, and they charge consumers astronomical prices for the processed end products. This system has seen companies in the agricultural and food industries making massive profits. The performance of a number of corporations in 2007 highlights this point: last year Nestle posted a profit of $9.7billion; Archer Daniels Midland (ADM) recorded a profit of $3.1 billion; while Cargill raked in $2.3 billion in profits. This all took place in a world where 850 million people are suffering from chronic malnutrition because they can't afford food.

Part of the monopolization over the human food chain has involved multinational firms from the US and the EU using global free trade regime to swoop into South to take over entire markets or set up export operations. Indeed, large-scale farmers and multinationals have been involved in buying up the land that small-scale farmers in the South have been forced to forsake. For instance, Parmalat and Nestle used neo-liberal policies in South Africa and Uruguay to enter into these countries through buying existing local dairy companies. Initially, they subsidized their ventures in these countries through their international operations. This allowed them to start a price war, which eventually drove many small-scale producers out of business, and these companies gained a virtual monopoly over the dairy industry in South Africa and Uruguay. Once they had achieved this, they began raising the prices of their products. In South Africa, Parmalat and Nestle were directly involved in price fixing. At one end they paid small-scale farmers, who had managed to remain in production, a pittance for their dairy products. Once processed, Parmalat and Nestle colluded to charge consumers exorbitant prices at the retail end. These two companies also used Uruguay and South Africa as bases to export regionally into Mercosur and SADC. In doing so, they gained complete dominance over these markets.

The biggest multinational companies have also been buying massive tracts of land in Brazil, Argentina, Paraguay, and Bolivia as small-scale farmers leave their land due to neo-liberalism. These countries have been at the heart of the massive, and ever expanding, soy industry. In Brazil alone, soy plantations -- mostly owned by multinationals -- expanded from only 705 hectares in 1940 to 18 million hectares in 2003. Most of the soy from these plantations does not go towards meeting the food needs of the people in these countries; it is rather exported to the US and the EU as animal feed for cattle. It is estimated that an average steer in the US and the EU consumes approximately 2,700 pounds of grain or soy before it is slaughtered. Much of the resulting meat is purchased by companies such as McDonald's to meet the ever growing demand for fast food and a US style diet . Indeed, the reality is that there is not a shortage of food. Rather, food is literally being taken away from the poor in South America, Africa, and Asia to feed cattle and wealthier consumers that devour these animals as fast food.

Another factor that has been driving up food prices has been the emergence of the biofuel industry, which neo-liberal policies and policy makers have promoted. The biofuel industry is controlled by a handful of argibusiness multinationals such as Cargill and Mansanto. Due to the fact that much of Cargill's substantial profits are now derived from converting maize into fuel, the executive director of the company has described the biofuel industry as a "gold rush." Recently, huge maize, soy, and palm oil plantations in Africa, Asia, and Latin America have shifted away from producing these products for animal feed to producing them for biofuel for the US and the EU. Even in the US it has been estimated that as much as 25% of maize produced in 2007 was being used to produce biofuels. Many of the maize, palm oil, and soy biofuel plantations in the South are on land that used to be owned by small-scale farmers who were producing food for local needs. Added to this, vast forest areas have been cleared in countries such as Brazil and Paraguay to raise new plantations. Massive amounts of pesticides and herbicides are used on these plantations, which has often led to the poisoning of produce and animals in neighboring areas. In fact, the environment in the South is being destroyed and millions of people are going hungry because of the demand for biofuels in the US and the EU.

With the advent of neo-liberalism, the global food market has been completely deregulated. Before the 1980s, countries around the world controlled the price of food to ensure that it was more or less stable. To do so, countries built up massive food reserves. When prices were high, countries sold off some of their food reserves to bring prices down. When prices were low, countries bought food for their reserves in order to stabilize prices. Since the 1980s, this system has been dismantled. Countries have run down their reserves and have let the price of food products float according to supply and demand in the global market. This means that they no longer intervene to stabilize prices. Internationally, the food commodity prices are determined by companies and speculators through trade, mainly on the Chicago Commodities Exchange. Some of the biggest traders on commodities exchanges, such as the one in Chicago, are giant corporations such as Cargill and ADM.

Recently, due to the sub-prime crisis, speculators and investors have shifted their money into these commodity exchange markets, seeing a chance to make massive profits out of speculating on food commodities. Sensing this, and knowing that countries' food reserves were depleted, large corporate traders started withholding supply over the last few months in the hopes of higher prices in the future, whilst playing off currency differentials. In response, investors started buying grain futures in the hope of making profits, which drove prices even higher. The consequence has been that the price of maize tripled in the last two years. Of course, corporations and speculators are profiteering from the higher prices; while people around the world stare starvation in the face.

The Elite's Solution

The WTO, the IMF, the WB, the US, and the EU have proposed several solutions to the current food crisis. The main solution that they have offered is further trade liberalization. Thus, they have proposed that the remaining protective barriers that countries have, in the form of tariffs, be completely dismantled. This, we are told, will drive down food prices. Needless to say, agricultural multinationals are positioning themselves to benefit from this. Far from driving the price of food down, further trade liberalization will extend multinational corporations' control over the human food chain and food prices. Such a drive for further liberalization reveals the callousness of the neo-liberal ideologues in charge of the US, the EU, and the international institutions they control. Seeking to tout further trade liberalization as a cure to the current crisis is simply malicious considering that free trade is actually the cause of the problem.

The likes of Bush and Brown have also been promoting the idea that genetically modified (GM) crops will bring an end to hunger. The reality is that GM crops are not an answer. They have often proven to be less productive than unaltered crops. Moreover, the health dangers of GM crops could be catastrophic in the long run. The real reason why Bush and Brown have been campaigning for GM crops is to pander to the desires of their corporate backers. Multinational corporations, such as Monsanto, stand to benefit massively from the expansion of GM crops as they hold the majority of patents on these crops. The growth of the GM sector will simply increase the already substantial power of multinational corporations at the expense of the peoples of the world.

The People's Solution

In Latin America, a number of states with progressive governments, such as Venezuela, Bolivia, and Nicaragua, have tried to address the food crisis through breaking with the dictates of neo-liberalism. These countries along with Cuba have attempted to establish a viable regional alternative to free trade in the form of the Bolivarian Alternatives for the America's (ALBA). Through ALBA, these states have created 5 major agricultural projects that are producing soy beans, rice, poultry, and dairy products. The goal of these projects is to guarantee food security in the ALBA member states. In fact, Venezuela has used these projects to provide free or subsidized food to millions of people. It has also redistributed 2 million hectares of land to small-scale farmers. Linked to this, the Venezuelan state has increased its spending on agricultural production by 728% over the last three years. More recently, the ALBA states launched a $100-million fund for staple foods such as maize and rice to ease the impact of the recent food price hikes on the poor in these countries. To avoid private speculators, these states agreed to establish a public food distribution network and to regulate the price of food. Unfortunately, the vast majority of other states in the South, which do not have progressive governments, have largely failed to take similar steps for the benefit of their populations. In these countries, it seems that people themselves are going have to take action on a massive scale if they are going to avoid chronic food shortages and malnutrition.

The recent protests that have erupted across the world are a sign that people have indeed started to take action to change their own lives and gain access to food. The poor of the world, as consumers, are rising up and demanding their right to food and the dignity that accompanies it. This struggle, however, is not new. Movements such as La Via Campesina, the MST, the Zapatistas, and the Piqueteros have been fighting for the right to food for decades. The latest bout of protests, however, points towards the fact that the struggle for food may become more widespread and intense.

The aforementioned movements' struggles have also been a fight to create alternative economies, outside of capitalism. Indeed, these struggles have clearly articulated that the right to food for everyone cannot be achieved through capitalism. Such an understanding has seen movements such as the Zapatistas and MST invading the land in the Chiapas and areas of Brazil. On this land, these movements have established cooperatives and collectives to meet people's food needs. Through this, they have created their own economies based on democracy, solidarity, and equality. They have also established alternative trade networks to improve the lives of the people. In the urban areas of Argentina, movements such as the Piqueteros have also invaded land and established urban farms. Along with this, they have created their own neighborhood kitchens to ensure that all the people in these areas are fed. The idea behind these actions has been to prioritize local production to meet needs locally outside of the global corporate controlled economy. If hundreds of millions of people are to avoid starvation in the coming months, it seems that the actions of these movements will need to be adopted and adapted by people across the world. The power of corporations to control the food chain needs to be broken, and only the people can do that. Indeed, only the people through their own actions can create a world of freedom, democracy, dignity, and equality -- a world where people don't starve if they don't have money.

Source: http://mrzine.monthlyreview.org/hattingh060508.html


Wednesday, May 14, 2008

Pertanian, Revolusi Hijau dan Globalisasi

Ketika umat manusia memasuki era industrialisasi (pertama kali di Inggris pada abad ke-19), maka segera timbul pertanyaan besar: siapa yang akan memberi makan orang-orang yang tidak bekerja di pertanian? Selama berabad-abad orang bekerja di ladang dan memungut hasilnya untuk kebutuhan hidupnya. Spesialisasi sebagaimana dituntut dalam dunia industri, menghasilkan kelompok manusia yang tidak bercocok tanam, dan jumlah ini makin lama makin besar, makin besar. Bagaimana memberi makan orang sebanyak ini? Apalagi penduduk dunia terus meningkat?

Jawabannya jelas: pertanian harus diintensifkan dan dikerjakan oleh semakin sedikit orang. Kalau pada masa lampau, sebidang tanah hanya membawa hasil dalam jumlah tertentu, maka pada masa sekarang sebidang tanah yang sama harus bisa menghasilkan lebih banyak. Salah satu eksperimen adalah dengan menghimpun tanah milik petani, lalu para petani menggarap bersama-sama. Hasilnya sebagian dinikmati sendiri dan sebagian lain disetorkan ke kota-kota. Ini eksperimen yang disebut “komune” yang pernah ada di Cina. Eksperimen lain adalah dengan memakai teknologi sehingga tanah dengan luas yang sama memberi hasil yang berlipat-lipat. Inilah yang disebut “Green Revolution” atau “Revolusi Hijau,” yang dimulai di Mexico pada 1943 disponsori oleh Rockefeller Foundation dan Ford Foundation, keduanya yayasan yang berasal dari Amerika Serikat.

Dua eksperimen ini telah mendapat kritik tajam. Eksperimen komune telah berakhir di Cina, dianggap gagal, padahal sistem komune dulu dipandang sebagai tandingan terhadap Revolusi Hijau. Indonesia tidak memilih sistem komune, tentu saja, tapi selama 30 tahun pemerintahan Orde Baru ikut dalam gemuruh Revolusi Hijau. Pada intinya Revolusi Hijau – yang mengandalkan teknologi benih, pupuk dan pestisida – berusaha melipatgandakan hasil pertanian sehingga tersedia cukup makanan baik bagi negara yang bersangkutan maupun bagi negara lain di seluruh dunia. Banyak negara di Selatan pada tahun 1960-an yang terbuai oleh mimpi yang ditawarkan oleh Revolusi Hijau. Laporan yang dibuat oleh organisasi-organisasi internasional juga memperkuat mimpi itu, sampai akhirnya orang menyadari bahwa Revolusi Hijau benar-benar sebuah mimpi.

Kritik terhadap “Revolusi Hijau” ada amat banyak, baik dari sisi teknologi, ekonomi, politik, ekologi, maupun kultural. Revolusi Hijau memang mengandalkan teknologi semata-mata untuk meningkatkan produksi pangan. Seperti telah disebutkan di atas, teknologi yang dikembangkan itu mencakup membuat benih, membuat pupuk, dan membuat pestisida. Bukan hal yang baru bahwa teknologi menimbulkan efek negatif. Karena dipakai benih hibrida, hilanglah “keragaman petani.” Kecuali itu para petani tergantung pada pestisida, pupuk, bensin dan mesin. Akibatnya biaya untuk pertanian meningkat. Tanah dikuasai oleh segelintir petani, sebagian besar petani lain menjadi buruh tani atau ke luar dari desa mereka. Sumber air terkuras, sementara irigasi menimbulkan salinitas sehingga tanah dalam jumlah besar tidak dapat dipakai lagi. Air, tanah dan kesehatan dirusak oleh pupuk dan pestisida. Yang tidak terduga itu hama dan penyakit bukannya berkurang malah bertambah.

Dengan Revolusi Hijau ini pertanian di negara Selatan sebenarnya sudah tersedot masuk dalam globalisasi. Ketika petani memutuskan untuk memakai benih padi unggul (high-response varieties – HRVs), misalnya, ia sudah langsung mengikat diri untuk pemakaian pupuk tertentu, pestisida tertendu karena benih-benih itu tidak mudah beradaptasi dengan sawah mereka. Nah, siapa penghasil benih, pupuk dan pestisida ini? Di sini masuklah korporasi multinasional yang memiliki laboratorium riset (R&D) yang canggih, sistem pemasaran yang sistematis, serta sistem lobi yang ekstensif. Beberapa yang terbesar dapat disebutkan di sini: Monsanto, Kellog, Cargill, Heinz, dsb.

Dalam seluruh proses globalisasi pertanian ini, sangat dan amat menarik bagaimana diskusi untuk menyediakan pangan bagi dunia bergeser: semula setiap negara bertanggungjawab atas ketahanan pangannya masing-masing, kini petani harus bertanggungjawab atas ketersediaan pangan seluruh dunia. Gagasan inilah yang menjadi asumsi perdagangan bebas di bidang pertanian yang dikampanyekan oleh WTO, dan didukung oleh Amerika Serikat, Uni Eropa, Jepang, dan Kanada. Ekspor pangan harus digenjot, tidak boleh dihambat oleh negara, sehingga tersedialah pangan di seluruh dunia. Aliran komoditas pertanian harus bebas. Sejauh menyangkut korporasi, dikatakan juga bahwa semakin korporasi pangan itu menjadi efisien, semakin korporasi mampu menghasilkan pangan.

Namun petani-petani di empat wilayah dunia, walaupun berjumlah sedikit, berhasil menciptakan lobi yang amat tangguh di negara mereka masing-masing. Mereka mendukung penurunan tariff, tetapi mereka tetap menuntut subsidi pertanian yang tinggi. Studi yang dilakukan oleh Cato Institute pada 2005 menunjukkan bahwa petani di negara-negara maju (yang tergabung dalam OECD), menerima subsidi sebesar US$ 279 milyar atau sekitar 30 persen pendapatan dari pertanian seluruhnya. Petani Amerika Serikat menerima US$ 46,5 milyar dari pemerintahnya atau sekitar 18 persen dari pendapatn pertanian total Amerika. Masih di Amerika Serikat, setiap keluarga petani mendapat US$ 79.961, atau 26 persen lebih tinggi dari pendapatan rata-rata nasional. Yang tak kalah mengejutkan, dua pertiga dari subsidi itu dibagi-bagi kepada 10 persen petani terkaya. (Daniella Markheim dan Brian M. Riedl, http://www.heritage.org/RESEARCH/BUDGET/wm1337.cfm)

Ini sebabnya perundingan WTO macet sampai sekarang! Negara-negara Selatan mati-matian berjuang menuntut diturunkannya subsidi di negara-negara Utara, yang bertentangan dengan prinsip perdagangan bebas. Sementara itu pertanian di negara-negara Selatan tetaplah terpuruk dalam roda globalisasi: benih, pestisida, pupuk harus dibeli dari MNC. Sekalipun petani tidak kuat beli input ini, negara dilarang memberi subsidi sebagaimana tercantum dalam conditionalities yang ditetapkan oleh IMF. Indonesia sedang mengalami ini semua. Petani-petani yang tidak kuat bersaing dengan impor produk pertanian yang murah, tidak ada jalan lain kecuali mereka berhenti menjadi petani dan alih profesi.

Apakah dengan demikian kekurangan pangan yang melanda dunia saat ini telah diatasi? Ternyata masalah sekarang ini bukan pada rendahnya produksi pangan, tetapi pada “maldistribution” pangan. Bahan makanan tersedia, kendati dengan segal efek negatifnya, tetapi menumpuk di beberapa kantong-kantong dunia. Mayoritas penduduk negara-negara Selatan yang miskin tetap tidak mampu membeli makanan yang diimpor, seandainya mampu, mereka membeli makanan dengan kualitas amat rendah. Untuk memproduksi sendiri mereka tidak sanggup karena tingginya harga input pertanian. Dengan demikian kelaparan tetap menghantui dunia, kendati seluruh janji kampanye globalisasi.

Tuesday, May 6, 2008

Pertanian dan perdagangan internasional

Yang dimaksud “pertanian” (agriculture) adalah semua kegiatan menghasilkan pangan lewat mengolah tanah, seperti padi, gandum, katun, teh, kopi, coklat, tebu, pisang, dsb. Tetapi dalam pertanian juga termasuk kegiatan memelihara ternak, seperti ayam, sapi, kambing, ikan, dsb. Bahkan akhir-akhir ini usaha mengembangkan bunga juga termasuk dalam pertanian. Maka hasil pertanian mencakup makanan (sayur-mayur, beras, gandum, jagung), serat (katun, wool, sutra), bunga, dst. Kendati demikian, dalam pembicaraan ini definisi itu disempitkan pada hasil mengolah tanah, terutama beras dan gandum.

Mengolah tanah sebenarnya merupakan kegiatan kuno setelah manusia meninggalkan fase masyarakat pastoral, tapi belum masuk ke fase masyarakat industrial. Selama fase agraris yang berlangsung selama kurang-lebih 2000 tahun ini, manusia menggarap tanahnya dan hidup dari tanahnya. Pada masa itu manusia menanam untuk mencukupi kebutuhannya. Menurut Martin Wolf, para petani (peasants) memakai hasil buminya untuk tiga kebutuhan: makan, benih, dan upacara. Dengan kata lain, para petani itu tidak mengadakan jual-beli hasil tanamnya. Pada masa feudal, para petani memang diperas oleh para raja dan sultan, tetapi inipun tidak untuk diperjual-belikan. Kalau toh terjadi pertukaran (exchange), tidaklah melibatkan uang, melainkan tukar-menukar barang (barter). Kehidupan petani pada dasarnya berciri “subsisten,” sekedar mencukupi kebutuhan hidup minimal. (James Scott)

Ketenangan masyarakat agraris ini perlahan-lahan digoyang ketika terjadi perdagangan produk pertanian. Perdagangan hasil pertanian di tingkat global terjadi di sekitar abad ke-14, ketika pelaut-pelaut dari Eropa (Portugis dan Spanyol) berlayar jauh untuk memperoleh rempah-rempah (lada, pala, dsb.). Kepulauan Nusantara (Indonesia) termasuk dalam daftar tempat yang mereka datangi. Barang-barang itu mereka angkut ke Eropa dan diperjual-belikan dengan harga yang tinggi. Lada merupakan komoditas yang sangat mahal, tidak kalah mahal dari emas. Namun pada waktu itu belum ada negara yang berdaulat, sehingga perdagangan pada waktu itu tidak melibatkan negara.

Perdagangan rempah-rempah disusul dengan perdagangan katun pada abad ke-19, lalu teh dan opium. Perkembangan ini tentu saja erat berkaitan dengan Revolusi Industri di Inggris, ketika perkembangan di bidang teknologi juga melahirkan mekanisasi pertanian. Perdagangan katun pantas mendapat perhatian besar di sini karena perdagangan komoditas ini menguasai perdagangan internasional pada abad ke-19. Inggris memperoleh bahan mentah dari India lalu membawanya ke Inggris, dan meng-ekspornya kembali dalam bentuk kain ke India. Ketika India tidak sanggup menyediakan jumlah katun yang diperlukan, Inggris mendapatkan supply katun dari Amerika Serikat yang mempekerjakan buda-budak dari Afrika. Inggris memang mampu memanfaatkan wilayah jajahannya yang luas untuk berdagang katun! (Ingat: the sun never sets in British Empire).

Persoalan perdagangan katun ini merupakan kasus yang paling jelas bagaimana negara penghasil komoditas pertanian ada pada posisi yang lemah. Petani-petani India menghasilkan katun yang murah, kemudian harus membeli lagi kain katun yang diolah di Inggris dengan harga yang berlipat-lipat lebih tinggi. Sementara itu, India yang sudah menjadi jajahan Inggris, dilarang untuk mengolah katun menjadi kain! Dengan demikian, India ditempatkan pada penghasil bahan mentah yang murah, dan pembeli produk dari bahan mentah itu dengan harga yang lebih mahal.

Para ekonom sudah melihat masalah ini dan memberinya nama the falling terms of trade. Hasil penjualan komoditas pertanian ternyata tidak dapat untuk membeli produk dari negara lain, terutama manufaktur. Misalnya, satu kuintal beras tidak dapat dipakai untuk membeli sebuah komputer baru. Pendapat ini juga dikenal dengan nama “Prebisch-Singer Theory” (PST) karena dikemukan oleh dua orang ekonom Raul Prebisch dan Han Singer pada Tahun 1950. Kedua orang itu mengadakan pengamatan selama jangka waktu yang panjang dan melihat bahwa kebutuhan akan barang manufaktur lebih tinggi daripada barang hasil pertanian.

Pada awal tahun 1970-an, harga minyak naik tajam, dan negara-negara penghasil minyak yang sebagian ada di Timur Tengah, kebanjiran dollar. "Petro-dollar" ini ditanam di bank-bank di Utara, dan ini menyebabkan bank-bank itu tergoda untuk meminjamkan uang itu dengan bunga rendah. Godaan itu berhasil menggaet negara-negara Selatan untuk utang, yang salah satunya, untuk membeli komoditas pertanian (pisang, kakao, kopi, minyak sawit). Tragisnya, negara-negara Selatan penghasil komoditas pertanian itu meningkatkan produksinya, sehingga harga komoditas pertanian jatuh terpuruk. Nah, negara-negara Selatan akhirya harus cari utangan baru untuk membiayai pembangunan mereka karena hasil ekspor mereka tidak mencukupi.

Pada akhir 1970-an, harga minyak dinaikkan lagi oleh OPEC. Tapi ini menyebabkan inflasi di negara-negara Utara, sehingga mereka harus menaikkan suku bunga serta mengurangi impor dari negara Selatan, termasuk komoditas pertanian. Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Sementara harga komoditas pertanian makin turun, permintaan akan komoditas pertanian di negara-negara Utara juga turun. Negara-negara Selatan tidak berkutik: pendapatan dari ekspor merosot, dan utang bertambah. Merekapun masuk dalam "perangkap utang" yang sampai hari ini tidak selesai. (Hungry Corporations, 15)

Dari perspektif lain, PST ini juga membuat teori comparative advantage dari David Ricardo goyah. Kalau benar bahwa negara-negara harus mengadakan spesialisasi untuk dapat menikmati kemakmuran bersama, maka akan ada negara-negara yang akan tetap menjadi negara pertanian, tetapi tidak pernah menjadi negara industri. Negara-negara ini berspesialisasi di bidang pertanian terus. Pada titik ini memang masuk perspektif “pembangunan.” Apakah negara-negara pertanian tidak akan mengalami “pembangunan,” selamanya akan menjadi negara agraris?

Maka persoalan dalam globalisasi saat ini adalah bagaimana globalisasi tidak mengorbankan pertanian, tetapi membantu pertanian. Bagaimana ekspor produk pertanian bagi negara-negara sedang berkembang tetap dapat menguntungkan bagi negara-negara tersebut? Joan Robinson melihat bahwa hampir tidak ada jalan ke luar bagi negara berkembang.

Rafael V. Mariano, chairperson of the Peasant Movement of the Philippines, 2000

Food has long been a political tool in US foreign policy. Twenty-five years ago USDA Secretary Earl Butz told the 1974 World Food Conference in Rome that food was a weapon, calling it 'one of the principal tools in our negotiating kit.' As far back as 1957 US Vice-President Hubert Humphrey told a US audience, "If you are looking for a way to get people to lean on you and to be dependent on you in terms of their cooperation with you, it seems to me that food dependence would be terrific."