Saturday, May 31, 2008

SPEKULAN MERAMPAS KANTONG KITA

Getty Images/Jasper Juinen / Kompas Images
Seorang wanita Spanyol, Jumat (30/5) di Madrid, membawa spanduk bertuliskan "SOS" atau lebih kurang artinya "Selamatkan Jiwa Kami". Wanita ini berada di antara demonstran yang menyampaikan protes soal kenaikan harga minyak di depan Kantor Departemen Perikanan.
Sabtu, 31 Mei 2008 | 03:00 WIB

Pekan lalu Senat AS dari Partai Demokrat sudah membombardir lima perusahaan raksasa minyak AS soal faktor di balik kenaikan harga minyak. Namun, apa jawabannya? Dikatakan, kenaikan harga minyak disebabkan pasokan yang amat ketat di pasaran. Terbukti, raksasa minyak AS itu berbohong.

Tunggu dulu, di mana para senator AS dari Partai Republik? Ini adalah partai dari mana Presiden AS berasal. Kenapa yang membombardir eksekutif raksasa perminyakan AS itu hanya senator dari Demokrat? Di sini pun sudah muncul kecurigaan. Penyelidikan soal invasi Irak juga didominasi Partai Demokrat, bukan Republik.

Menteri Luar Negeri AS Condoleezza Rice, Wakil Presiden Dick Cheney, adalah mantan eksekutif perminyakan, sebagaimana tuan mereka, Presiden AS George W Bush, yang juga dijuluki mantan Texas oilman.

Namun, sekencang apa pun Senat AS menggempur, raksasa minyak AS itu menjawab enteng. Bahkan, eksekutif itu mengatakan, adalah Senat AS, yang menghambat eksplorasi, yang mendorong harga minyak naik akibat pasokan minyak yang seret.

Saat itu para eksekutif minyak (Exxon, Shell, Conoco, BP America, dan Chevron) juga ditanyai, bagaimana para eksekutif itu bisa meraup untung, sementara rakyat AS harus ketiban harga bahan bakar minyak yang sudah merampas kantong?

Menurut juru bicara Badan Pengawas Bursa Berjangka AS (Commodity Futures Trading Commission/CFTC), R David Gary, kepada McClatchy Newspapers, Jumat (30/5), penelitian terhadap transaksi minyak dan komoditas dilakukan karena pasar sudah bergerak terlalu liar.

”Faktor penawaran dan permintaan adalah faktor yang mendorong terjadinya harga,” kata John Hofmeister, Presiden Shell Oil Company.

Jengkel dengan jawaban ringan itu, Senator Dianne Feinstein (Demokrat asal California) dengan sinis telah menuduh para eksekutif minyak itu menjadikan dirinya sebagai korban kenaikan harga minyak, sebagaimana ditulis di harian The New York Times, edisi 22 Mei.

Akan tetapi, nyatanya yang menjadi korban adalah rakyat di negaranya, dan juga rakyat di negara yang menjadi importir neto minyak.

Perusahaan minyak berperan

Akan tetapi, kemudian terlihat bahwa para eksekutif minyak AS itu bersilat lidah. Operasi raksasa minyak ini juga menyebar ke berbagai negara.

Pada hari Kamis (28/5) waktu Washington DC, CFTC mengumumkan hasil investigasi. Penyelidikan dilakukan karena dunia kebingungan dengan kenaikan harga minyak yang berlebihan, yang merepotkan banyak negara akibat protes rakyat.

CFTC menyatakan, ada manipulasi dalam transaksi minyak di bursa-bursa berjangka. CFTC tidak memberi rincian soal manipulasi, tetapi disinggung di berbagai situs internet, termasuk Dow Jones Newswires.

Senator Jeff Bingaman (Demokrat dari New Mexico), Ketua Senat untuk Komite Energi dan Sumber Daya Alam, memberi informasi mencengangkan.

Dia mengatakan, dalam transaksi itu ada pelaku yang dijuluki sebagai swap dealers. Namun, isinya termasuk raksasa perusahaan minyak, di samping perusahaan penerbangan AS. Mereka menyerbu pasar untuk meraup untung, di samping para pelaku tradisional. Ada juga bank-bank investasi yang bermarkas di Wall Street, bursa terkenal di New York, yang ikut bermain dalam transaksi minyak dan komoditas.

Penelitian CFTC itu tidak saja menyelidiki pasar minyak, tetapi juga bursa komoditas nonminyak, terutama Chicago Mercantile Exchange (CME), yang telah lama dicurigai sebagai sarang spekulan, sebagaimana diberitakan di situs The Milkweed, pada edisi Mei.

The Milkweed menuliskan, ada beberapa pelaku besar yang menimbun komoditas di Oklahoma, AS, yang tujuannya membuat pasokan komoditas terkesan seret. Tujuan dan modus operandinya sama, untuk membuat pasar mudah digoda menaikkan harga demi keuntungan para spekulan besar.

Mengaku juga

Apakah benar kenaikan harga yang berlebihan akibat ulah spekulan? ”Jawaban saya ’ya’” kata Michael Masters, manajer portofolio investasi dari Masters Capital Management, AS, di hadapan Senat AS.

Para spekulan jelas telah merampas uang dari kantong kita, termasuk di Indonesia, yang juga ketiban kenaikan harga minyak. Setelah penelitian itu diumumkan, apakah akan ada efek jera?

Para analis mengatakan, penelitian itu tidak akan berdampak besar pada penghentian aktivitas spekulan, yang oleh media di AS juga disebut menjadi kontributor kampanye politik para pejabat Gedung Putih.

Maka, tak heran jika media AS dengan sinis mengatakan, untuk perbaikan pasar dan perekonomian AS, lebih baik menunggu George W Bush mengakhiri jabatan dan digantikan presiden baru. (REUTERS/AP/AFP/MON)

No comments:

Rafael V. Mariano, chairperson of the Peasant Movement of the Philippines, 2000

Food has long been a political tool in US foreign policy. Twenty-five years ago USDA Secretary Earl Butz told the 1974 World Food Conference in Rome that food was a weapon, calling it 'one of the principal tools in our negotiating kit.' As far back as 1957 US Vice-President Hubert Humphrey told a US audience, "If you are looking for a way to get people to lean on you and to be dependent on you in terms of their cooperation with you, it seems to me that food dependence would be terrific."