Saturday, August 2, 2008

Press Release Serikat Petani Indonesia

Jakarta, 30 Juli 2008--PERUNDINGAN Agenda Doha WTO kolaps kemarin (29/7), di
Jenewa, Swiss. Perundingan yang dimulai dari tahun 2001 ini sudah sejak lama
jatuh-bangun: Mulai tahun 2003, 2005, hingga tahun 2006. Penyebabnya satu:
bahwa perdagangan bebas di tiga sektor (pertanian, industri dan jasa) adalah
masalah, bukan solusi dari problem rakyat.

Di dalam sektor pertanian, hampir tidak ada kesamaan persepsi di antara
negara-negara miskin dan berkembang dengan negara maju. Di tingkatan riil,
hasil perundingan WTO sejak tahun 1995 telah banyak merugikan petani kecil
di kedua belah pihak. Agenda Doha juga secara umum hanya memaksa
negara-negara untuk membuka pasarnya, sementara proteksi diminimalisasi. Di
sisi lain, masih terjadi perdebatan besar mengenai proteksi luar biasa yang
dipraktekkan di Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE). Hal demikian juga
berlaku pada sektor industri dan jasa.

Sementara kita melihat, liberalisasi sektor pertanian tidak akan memecahkan
krisis pangan saat ini. Yang diinginkan petani adalah proteksi, sehingga ada
kepastian dan insentif dari pasar domestik. Petani bukan anti-perdagangan,
namun perdagangan haruslah adil. Tidak seperti perdagangan bebas ala WTO,
yang hanya menguntungkan segelintir tengkulak, pedagang dan perusahaan
transnasional.

Dalam proposal yang lebih kompromistis di dalam WTO, Indonesia mengusulkan
Special Product dan Special Safeguard Mechanism (SP/SSM) yang diharapkan
melindungi petani. Petani menilai hal tersebut harus dilakukan semaksimal
mungkin, karena perlindungan petani bukanlah diatur oleh pasar. Perlindungan
petani adalah kewajiban negara (*state obligation*), lagipula pangan dan
petani bukanlah sekadar dinilai komoditas dan tenaga kerja belaka.

Jika melihat proyeksi keuntungan dari Agenda Doha, negara miskin dan
berkembang hanya akan memperoleh 'potongan kue' sebanyak US$ 16 milyar. Jika
dibagi ke seluruh rakyat di negara berkembang, tak sampai satu sen
keuntungan mampir ke tangan rakyat per harinya. Di lain pihak, kerugian
pendapatan negara dari pemotongan tarif, dan berjuta orang dalam sektor
pertanian dan industri yang kehilangan pekerjaan sangatlah mengerikan.

Agenda Doha sangatlah buruk, dan sudah pula gagal berulang kali. Prosesnya
pun tak demokratis, dengan membiarkan hanya segelintir negara G-7 yang
mengambil keputusan. Sudah saatnya Indonesia menguatkan dirinya dalam forum
regional dan multilateral, dan adalah mutlak menolak Agenda Doha, serta WTO
pada umumnya. Dalam 7 tahun, Agenda Doha sudah kolaps dan dalam 13 tahun,
penderitaan rakyat atas liberalisasi WTO sudah sangat mengerikan. Sudah
saatnya Indonesia dan negara-negara lain melupakan WTO. Sudah saatnya pula
melihat ke depan, menuju sebuah sistem perdagangan multilateral yang adil.
Sistem yang bisa melindungi petani, serta rakyat pada umumnya; dan yang bisa
beraksi nyata mengatasi krisis pangan, energi, iklim dan finansial.*****

*Kontak: Henry Saragih, Ketua umum SPI (0816 31 4444 1, email:
hsaragih@spi.or.id)*

No comments:

Rafael V. Mariano, chairperson of the Peasant Movement of the Philippines, 2000

Food has long been a political tool in US foreign policy. Twenty-five years ago USDA Secretary Earl Butz told the 1974 World Food Conference in Rome that food was a weapon, calling it 'one of the principal tools in our negotiating kit.' As far back as 1957 US Vice-President Hubert Humphrey told a US audience, "If you are looking for a way to get people to lean on you and to be dependent on you in terms of their cooperation with you, it seems to me that food dependence would be terrific."