Wednesday, August 13, 2008

Landasan Teori Tentang Nasionalisme Dalam Globalisasi

- Indonesia Sudah Dihabisi Sejak November 1967
Senin, 23 Juni 08 - by : admi



Sejak lama sudah ada banyak ilmuwan yang memperingatkan bahwa kita hendaknya tidak terlampau fanatik dan keblinger tentang globalisasi yang dikaitkan dengan borderless world dan liberalisme mutlak.

Robert Reich adalah guru besar pada Harvard University dan pernah menjabat sebagai Menteri Tenaga Kerja dalam Kabinet Presiden Clinton. Dia menulis buku dengan judul "The Works of Nations."

Dia mengemukakan bahwa penduduk setiap negara terdiri dari tiga kelompok. Sebuah kelompok sangat kecil terdiri dari orang-orang yang super pandai, yang bisa melihat dan memanfaatkan celah-celah yang ada di mana saja di dunia sebagai peluang buat bisnisnya. Kelompok ini olehnya disebut system analyst. Mereka tidak tergantung pada satu negara, sehingga dalam kehidupannya sehari-hari mereka memang kosmopolit yang tidak mengenal batas-batas negara dalam kiprahnya sebagai pengusaha transnasional.

Kelompok kedua sudah cukup besar jumlahnya, yang merupakan elit bangsanya. Mereka berpendidikan tinggi dengan pendapatan atau gaji yang tinggi. Mereka adalah kaum profesional yang bekerja sebagai majikannya sendiri, tetapi tidak menggunakan modalnya. Mereka adalah para dokter, akuntan, pengacara, notaris, ahli pajak, guru besar, peneliti dan para CEO dari perusahaan-perusahaan besar dan sejenisnya. Mereka disebut In Person Workers, yang sudah sangat terkait dengan negaranya. Mereka mempunyai mobilitas nasional, tetapi pekerjaannya melayani orang lain yang terikat pada lingkungannya. Pada umumnya, pemerintah setiap negara mempunyai peraturan dan pengaturan yang berbeda-beda, sehingga kalau mereka ingin pindah berpraktek di negara lain, mereka harus menyesuaikan diri dengan norma, peraturan dan pengaturan yang berlaku di negara yang bersangkutan, yang disebut "adaptasi" atau "aklimatisasi". Para dokter, akuntan, notaris dan pengacara kita yang lulus dari universitas di luar negeri sudah harus mengalami proses adaptasi yang dikaitkan dengan ujian dan perizinan. Maka mobilitas internasional mereka sudah sangat terbatas dibandingkan dengan para system analysts.

Kelompok yang sangat besar jumlahnya adalah para buruh pabrik, tambang dan pekerja kasar pada umumnya. Mereka disebut Routine Workers yang keterkaitan dengan negaranya hampir mutlak. Walaupun ada gejala migrasi tenaga kerja, jumlahnya sangat kecil.

Dengan demikian tidak mungkin nasionalisme musnah. Kalaupun para system analysts sedang menikmati hidupnya di negara tertentu di mana kaum routine workers-nya terlampau menderita, mereka akan melakukan revolusi sosial yang mengancam jiwa para system analysts dan in person workers.

Ruud Lubbers

Ruud Lubbers pernah menjabat sebagai Menteri Ekonomi Belanda selama 4 tahun dan kemudian sebagai Perdana Menteri selama 12 tahun. Setelah itu pernah menjabat sebagai guru besar dalam mata kuliah globalisasi pada Harvard University dan Universitas di Tilburg.

Dia mengatakan bahwa esensi globalisasi adalah mekanisme pasar yang diterapkan pada seluruh dunia. Kita mengetahui bahwa tidak ada negara bangsa yang beradab dan tertib serta mempunyai kandungan keadilan yang memadai, tanpa peraturan dan pengaturan yang menghindari atau memagari diri terhadap ekses-ekses dari mekanisme pasar yang paling asli dan paling primitif. Kita belum mempunyai pemerintah dengan segala perangkat peraturan dan pengaturannya yang berlaku untuk seluruh dunia.

Karena itu, selama itu pula setiap negara bangsa mempunyai pemerintahan sendiri-sendiri, mempunyai peraturan dan pengaturannya sendiri, mempunyai tata nilai dan latar belakang kebudayaannya sendiri-sendiri. Walaupun gejala globalisasi diakui keberadaannya karena adanya revolusi mobilitas informasi, yang dinamakan borderless world dalam arti yang mutlak tidak ada.

Keblingerlah mereka yang berpendapat bahwa nasionalisme sudah mati.

Nasionalisme tidak picik dan bukan katak dalam tempurung

Manusia yang hakikatnya adalah makluk sosial tidak bisa hidup tanpa adanya keterkaitan dengan manusia lainnya. Ikatan yang paling kecil dan paling erat adalah keluarganya. Kalau orang mencintai anak isterinya melebihi saudara kandungnya tidak berarti yang bersangkutan membenci saudara kandungnya. Dalam keluarga itulah setiap manusia menggunakan kekuatan sinergi yang ada untuk bersama-sama memakmurkan dan mensejahterakan keluarganya secara adil.

Ikatan seperti dalam satu keluarga kita jumpai dalam kelompok yang lebih besar, seperti desa, kota, propinsi dan negara.

Bangsa yang mementingkan dirinya melebihi kepentingan bangsa lain tidak berarti picik, egosentris, katak dalam tempurung dan tidak mengerti adanya perubahan-perubahan dalam mobilitas dunia. Namun pemahaman-pemahaman ini tidak dapat memusnahkan eksistensi sebuah bangsa.

Namun tergantung pada pemimpinnya yang sedang berkuasa, kita juga mengenali sebuah bangsa lebih kuat yang menggunakan kekuatannya untuk menghisap dan bahkan menghabisi bangsa lain yang lebih lemah. Maka dalam setiap zaman kita mengenali adanya negara bangsa yang menjadi imperilais. Negara bangsa lain yang membentengi dirinya agar tidak menjadi target dan korban penghisapan oleh negara imperilais tidak berarti picik dan bagaikan katak dalam tempurung.

Indonesia sudah mulai dihabisi di bulan November 1967

Liberalisasi dan penggerojokan utang sebagai alat pengendali di Indonesia langsung saja dimulai di bulan November 1967, yang digambarkan oleh Jeffrey Winters, Bradley Simpson, John Pilgers dan John Perkins dengan butir-butir sebagai berikut.

"Dalam dunia ini, yang tidak dilihat oleh bagian terbesar dari kami yang hidup di belahan utara dunia, cara perampokan yang canggih telah memaksa lebih dari sembilan puluh negara masuk ke dalam program penyesuaian struktural sejak tahun delapan puluhan, yang membuat kesenjangan antara kaya dan miskin semakin menjadi lebar. Ini terkenal dengan istilah "nation building"dan "good governance" oleh "empat serangkai" yang mendominasi World Trade Organization (Amerika Serikat, Eropa, Canada dan Jepang), dan triumvirat Washington (Bank Dunia, IMF dan Departemen Keuangan AS) yang mengendalikan setiap aspek detail dari kebijakan pemerintah di negara-negara berkembang. Kekuasaan mereka diperoleh dari utang yang belum terbayar, yang memaksa negara-negara termiskin membayar $ 100 juta per hari kepada para kreditur barat. Akibatnya adalah sebuah dunia, di mana elit yang kurang dari satu milyar orang menguasai 80% dari kekayaan seluruh umat manusia."

Saya ulangi sekali lagi paragraf yang sangat relevan dan krusial, yaitu yang berbunyi :

"Their power derives largely from an unrepayable debt that forces the poorest countries...." atau "Kekuatan negara-negara penghisap didasarkan atas utang besar yang tidak mampu dibayar oleh negara-negara target penghisapan."

John Pilger mengutip temuan, pernyataan dan wawancara dengan Jeffrey Winters maupun Brad Simpson. Jeffrey Winters dalam bukunya yang berjudul Power in Motion dan Brad Simpson dalam disertasinya mempelajari dokumen-dokumen tentang hubungan Indonesia dan dunia Barat yang baru saja menjadi tidak rahasia, karena masa kerahasiaannya menjadi kadaluwarsa.

Saya kutip halaman 37 yang mengatakan : "Dalam bulan November 1967, menyusul tertangkapnya 'hadiah terbesar', hasil tangkapannya dibagi. The Time-Life Corporation mensponsori konferensi istimewa di Jenewa yang dalam waktu tiga hari merancang pengambilalihan Indonesia. Para pesertanya meliputi para kapitalis yang paling berkuasa di dunia, orang-orang seperti David Rockefeller. Semua raksasa korporasi Barat diwakili : perusahaan-perusahaan minyak dan bank, General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel. Di seberang meja adalah orang-orangnya Soeharto yang oleh Rockefeller disebut "ekonom-ekonom Indonesia yang top."

"Di Jenewa, Tim Indonesia terkenal dengan sebutan the Berkeley Mafia, karena beberapa di antaranya pernah menikmati beasiswa dari pemerintah Amerika Serikat untuk belajar di Universitas California di Berkeley. Mereka datang sebagai peminta-minta yang menyuarakan hal-hal yang diinginkan oleh para majikan yang hadir. Menyodorkan butir-butir yang dijual dari negara dan bangsanya, Tim Widjojo Nitisastro menawarkan : buruh murah yang melimpah, cadangan besar dari sumber daya alam .. pasar yang besar."

Di halaman 39 ditulis : "Pada hari kedua, ekonomi Indonesia telah dibagi, sektor demi sektor. Ini dilakukan dengan cara yang spektakuler" kata Jeffrey Winters, guru besar pada Northwestern University, Chicago, yang dengan mahasiwanya yang sedang bekerja untuk gelar doktornya, Brad Simpson telah mempelajari dokumen-dokumen konferensi. "Mereka membaginya ke dalam lima seksi : pertambangan di satu kamar, jasa-jasa di kamar lain, industri ringan di kamar lain, perbankan dan keuangan di kamar lain lagi; yang dilakukan oleh Chase Manhattan duduk dengan sebuah delegasi yang mendiktekan kebijakan-kebijakan yang dapat diterima oleh mereka dan para investor lainnya. Kita saksikan para pemimpin korporasi besar ini berkeliling dari satu meja ke meja yang lain, mengatakan : ini yang kami inginkan : ini, ini dan ini, dan mereka pada dasarnya merancang infrastruktur hukum untuk berinvestasi di Indonesia. Saya tidak pernah mendengar situasi seperti itu sebelumnya, di mana modal global duduk dengan para wakil dari negara yang diasumsikan sebagai negara berdaulat dan merancang persyaratan buat masuknya investasi mereka ke dalam negaranya sendiri.

Freeport mendapatkan bukit (mountain) dengan tembaga di Papua Barat (Henry Kissinger duduk dalam board). Sebuah konsorsium Eropa mendapat nikel Papua Barat. Sang raksasa Alcoa mendapat bagian terbesar dari bauksit Indonesia. Sekelompok perusahaan-perusahaan Amerika, Jepang dan Perancis mendapat hutan-hutan tropis di Sumatra, Papua Barat dan Kalimantan. Sebuah undang-undang tentang penanaman modal asing yang dengan buru-buru disodorkan kepada Soeharto membuat perampokan ini bebas pajak untuk lima tahun lamanya. Nyata dan secara rahasia, kendali dari ekonomi Indonesia pergi ke Inter Governmental Group on Indonesia (IGGI), yang anggota-anggota intinya adalah Amerika Serikat, Canada, Eropa, Australia dan, yang terpenting, Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia.

Hadirin Yth.,

Kalau kita percaya John Pilger, Brad Simpson dan Jeffrey Winters, sejak tahun 1967 Indonesia sudah mulai dihabisi (plundered) dengan tuntunan oleh bangsa Indonesia sendiri yang ketika itu.

Benarkah sinyalemen John Pilger, Joseph Stiglitz dan masih banyak ekonom AS kenamaam lainnya bahwa utanglah yang dijadikan instrumen untuk mencengkeram Indonesia?

The Economic Hitmen

Dalam rangka ini izinkanlah saya mengutip buku yang menggemparkan. Buku ini ditulis oleh John Perkins dengan judul The Confessions of an Economic Hitman, atau "Pengakuan seorang Perusak Ekonomi." Buku ini tercantum dalam New York Times bestseller list selama 7 minggu.

Saya kutip sambil menterjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia sebagai berikut.

Halaman 12 : "Saya hanya mengetahui bahwa penugasan pertama saya di Indonesia, dan saya salah seorang dari sebuah tim yang terdiri dari 11 orang yang dikirim untuk menciptakan cetak biru rencana pembangunan pembangkit listrik buat pulau Jawa."

Halaman 13 : "Saya tau bahwa saya harus menghasilkan model ekonomterik untuk Indonesia dan Jawa." "Saya mengetahui bahwa statistik dapat dimanipulasi untuk menghasilkan banyak kesimpulan, termasuk apa yang dikehendaki oleh analis atas dasar statistik yang dibuatnya."

Halaman 15 : "Pertama-tama saya harus memberikan pembenaran (justification) untuk memberikan utang yang sangat besar jumlahnya yang akan disalurkan kembali ke MAIN (perusahaan konsutan di mana John Perkins bekerja) dan perusahan-perusahaan Amerika lainnya (seperti Bechtel, Halliburton, Stone & Webster, dan Brown & Root) melalui penjualan proyek-proyek raksasa dalam bidang rekayasa dan konstruksi. Kedua, saya harus membangkrutkan negara yang menerima pinjaman tersebut (tentunya setelah MAIN dan kontraktor Amerika lainnya telah dibayar), agar negara target itu untuk selamanya tercengkeram oleh kreditornya, sehingga negara pengutang (baca : Indonesia) menjadi target yang empuk kalau kami membutuhkan ,favours, termasuk basis-basis militer, suara di PBB, atau akses pada minyak dan sumber daya alam lainnya."

Halaman 15-16 : "Aspek yang harus disembunyikan dari semua proyek tersebut ialah membuat laba sangat besar buat para kontraktor, dan membuat bahagia beberapa gelintir keluarga dari negara-negara penerima utang yang sudah kaya dan berpengaruh di negaranya masing-masing. Dengan demikian ketergantungan keuangan negara penerima utang menjadi permanen sebagai instrumen untuk memperoleh kesetiaan dari pemerintah-pemerintah penerima utang. Maka semakin besar jumlah utang semakin baik. Kenyataan bahwa beban utang yang sangat besar menyengsarakan bagian termiskin dari bangsanya dalam bidang kesehatan, pendidikan dan jasa-jasa sosial lainnya selama berpuluh-puluh tahun tidak perlu masuk dalam pertimbangan."

Halaman 15 : "Faktor yang paling menentukan adalah Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Proyek yang memberi kontribusi terbesar terhadap pertumbuhan PDB harus dimenangkan. Walaupun hanya satu proyek yang harus dimenangkan, saya harus menunjukkan bahwa membangun proyek yang bersangkutan akan membawa manfaat yang unggul pada pertumbuhan PDB."

Halaman 16 : "Claudia dan saya mendiskusikan karakteristik dari PDB yang menyesatkan. Misalnya pertumbuhan PDB bisa terjadi walaupun hanya menguntungkan satu orang saja, yaitu yang memiliki perusahaan jasa publik, dengan membebani utang yang sangat berat buat rakyatnya. Yang kaya menjadi semakin kaya dan yang miskin menjadi semakin miskin. Statistik akan mencatatnya sebagai kemajuan ekonomi."

Halaman 19 : "Sangat menguntungkan buat para penyusun strategi karena di tahun-tahun enam puluhan terjadi revolusi lainnya, yaitu pemberdayaan perusahaan-perusahaan internasional dan organisasi-organisasi multinasional seperti Bank Dunia dan IMF."

Bab tiga khusus tentang Indonesia dengan judul : "Indonesia, pelajaran buat Penghancur Ekonomi."

Halaman 21 : "Prioritas dari kebijakan luar negeri Amerika Serikat ialah supaya Suharto melayani Washington seperti yang dilakukan oleh Shah Iran. AS juga mengharapkan bahwa Indonesia akan menjadi model buat negara-negara di sekitarnya. Washington mendasarkan sebagian dari strateginya pada asumsi bahwa manfaat yang diperoleh dari Indonesia akan mempunyai dampak positif pada seluruh dunia Islam, terutama di Timur Tengah yang eksplosif. Dan kalau itu tidak cukup, Indonesia mempunyai minyak. Tidak seorangpun yang mengetahui dengan pasti tentang besarnya dan kualitas dari cadangan minyaknya, tetapi para ahli seismologi sangat antusias tentang kemungkinan-kemungkinannya."

Halaman 28 : "Akhirnya kepada kami diberikan keanggotaan dari Bandung Golf & Racket Club yang ekslusif, dan kami bekerja dalam kantor cabang Bandung dari Perusahaan Umum Listrik Negara (PLN), perusahaan listrik yang dimiliki oleh pemerintah."

Dari sanalah John Perkins dengan Tim-nya beroperasi, yang didukung sepenuhnya oleh para anak bangsa yang menjadi pengkhianat terhadap rakyat dan bangsanya sendiri.

Oleh Kwik Kian Gie

Versi Online : http://www.koraninternet.com/?pilih=lihat&id=6341

No comments:

Rafael V. Mariano, chairperson of the Peasant Movement of the Philippines, 2000

Food has long been a political tool in US foreign policy. Twenty-five years ago USDA Secretary Earl Butz told the 1974 World Food Conference in Rome that food was a weapon, calling it 'one of the principal tools in our negotiating kit.' As far back as 1957 US Vice-President Hubert Humphrey told a US audience, "If you are looking for a way to get people to lean on you and to be dependent on you in terms of their cooperation with you, it seems to me that food dependence would be terrific."