Tuesday, May 6, 2008

Pertanian dan perdagangan internasional

Yang dimaksud “pertanian” (agriculture) adalah semua kegiatan menghasilkan pangan lewat mengolah tanah, seperti padi, gandum, katun, teh, kopi, coklat, tebu, pisang, dsb. Tetapi dalam pertanian juga termasuk kegiatan memelihara ternak, seperti ayam, sapi, kambing, ikan, dsb. Bahkan akhir-akhir ini usaha mengembangkan bunga juga termasuk dalam pertanian. Maka hasil pertanian mencakup makanan (sayur-mayur, beras, gandum, jagung), serat (katun, wool, sutra), bunga, dst. Kendati demikian, dalam pembicaraan ini definisi itu disempitkan pada hasil mengolah tanah, terutama beras dan gandum.

Mengolah tanah sebenarnya merupakan kegiatan kuno setelah manusia meninggalkan fase masyarakat pastoral, tapi belum masuk ke fase masyarakat industrial. Selama fase agraris yang berlangsung selama kurang-lebih 2000 tahun ini, manusia menggarap tanahnya dan hidup dari tanahnya. Pada masa itu manusia menanam untuk mencukupi kebutuhannya. Menurut Martin Wolf, para petani (peasants) memakai hasil buminya untuk tiga kebutuhan: makan, benih, dan upacara. Dengan kata lain, para petani itu tidak mengadakan jual-beli hasil tanamnya. Pada masa feudal, para petani memang diperas oleh para raja dan sultan, tetapi inipun tidak untuk diperjual-belikan. Kalau toh terjadi pertukaran (exchange), tidaklah melibatkan uang, melainkan tukar-menukar barang (barter). Kehidupan petani pada dasarnya berciri “subsisten,” sekedar mencukupi kebutuhan hidup minimal. (James Scott)

Ketenangan masyarakat agraris ini perlahan-lahan digoyang ketika terjadi perdagangan produk pertanian. Perdagangan hasil pertanian di tingkat global terjadi di sekitar abad ke-14, ketika pelaut-pelaut dari Eropa (Portugis dan Spanyol) berlayar jauh untuk memperoleh rempah-rempah (lada, pala, dsb.). Kepulauan Nusantara (Indonesia) termasuk dalam daftar tempat yang mereka datangi. Barang-barang itu mereka angkut ke Eropa dan diperjual-belikan dengan harga yang tinggi. Lada merupakan komoditas yang sangat mahal, tidak kalah mahal dari emas. Namun pada waktu itu belum ada negara yang berdaulat, sehingga perdagangan pada waktu itu tidak melibatkan negara.

Perdagangan rempah-rempah disusul dengan perdagangan katun pada abad ke-19, lalu teh dan opium. Perkembangan ini tentu saja erat berkaitan dengan Revolusi Industri di Inggris, ketika perkembangan di bidang teknologi juga melahirkan mekanisasi pertanian. Perdagangan katun pantas mendapat perhatian besar di sini karena perdagangan komoditas ini menguasai perdagangan internasional pada abad ke-19. Inggris memperoleh bahan mentah dari India lalu membawanya ke Inggris, dan meng-ekspornya kembali dalam bentuk kain ke India. Ketika India tidak sanggup menyediakan jumlah katun yang diperlukan, Inggris mendapatkan supply katun dari Amerika Serikat yang mempekerjakan buda-budak dari Afrika. Inggris memang mampu memanfaatkan wilayah jajahannya yang luas untuk berdagang katun! (Ingat: the sun never sets in British Empire).

Persoalan perdagangan katun ini merupakan kasus yang paling jelas bagaimana negara penghasil komoditas pertanian ada pada posisi yang lemah. Petani-petani India menghasilkan katun yang murah, kemudian harus membeli lagi kain katun yang diolah di Inggris dengan harga yang berlipat-lipat lebih tinggi. Sementara itu, India yang sudah menjadi jajahan Inggris, dilarang untuk mengolah katun menjadi kain! Dengan demikian, India ditempatkan pada penghasil bahan mentah yang murah, dan pembeli produk dari bahan mentah itu dengan harga yang lebih mahal.

Para ekonom sudah melihat masalah ini dan memberinya nama the falling terms of trade. Hasil penjualan komoditas pertanian ternyata tidak dapat untuk membeli produk dari negara lain, terutama manufaktur. Misalnya, satu kuintal beras tidak dapat dipakai untuk membeli sebuah komputer baru. Pendapat ini juga dikenal dengan nama “Prebisch-Singer Theory” (PST) karena dikemukan oleh dua orang ekonom Raul Prebisch dan Han Singer pada Tahun 1950. Kedua orang itu mengadakan pengamatan selama jangka waktu yang panjang dan melihat bahwa kebutuhan akan barang manufaktur lebih tinggi daripada barang hasil pertanian.

Pada awal tahun 1970-an, harga minyak naik tajam, dan negara-negara penghasil minyak yang sebagian ada di Timur Tengah, kebanjiran dollar. "Petro-dollar" ini ditanam di bank-bank di Utara, dan ini menyebabkan bank-bank itu tergoda untuk meminjamkan uang itu dengan bunga rendah. Godaan itu berhasil menggaet negara-negara Selatan untuk utang, yang salah satunya, untuk membeli komoditas pertanian (pisang, kakao, kopi, minyak sawit). Tragisnya, negara-negara Selatan penghasil komoditas pertanian itu meningkatkan produksinya, sehingga harga komoditas pertanian jatuh terpuruk. Nah, negara-negara Selatan akhirya harus cari utangan baru untuk membiayai pembangunan mereka karena hasil ekspor mereka tidak mencukupi.

Pada akhir 1970-an, harga minyak dinaikkan lagi oleh OPEC. Tapi ini menyebabkan inflasi di negara-negara Utara, sehingga mereka harus menaikkan suku bunga serta mengurangi impor dari negara Selatan, termasuk komoditas pertanian. Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Sementara harga komoditas pertanian makin turun, permintaan akan komoditas pertanian di negara-negara Utara juga turun. Negara-negara Selatan tidak berkutik: pendapatan dari ekspor merosot, dan utang bertambah. Merekapun masuk dalam "perangkap utang" yang sampai hari ini tidak selesai. (Hungry Corporations, 15)

Dari perspektif lain, PST ini juga membuat teori comparative advantage dari David Ricardo goyah. Kalau benar bahwa negara-negara harus mengadakan spesialisasi untuk dapat menikmati kemakmuran bersama, maka akan ada negara-negara yang akan tetap menjadi negara pertanian, tetapi tidak pernah menjadi negara industri. Negara-negara ini berspesialisasi di bidang pertanian terus. Pada titik ini memang masuk perspektif “pembangunan.” Apakah negara-negara pertanian tidak akan mengalami “pembangunan,” selamanya akan menjadi negara agraris?

Maka persoalan dalam globalisasi saat ini adalah bagaimana globalisasi tidak mengorbankan pertanian, tetapi membantu pertanian. Bagaimana ekspor produk pertanian bagi negara-negara sedang berkembang tetap dapat menguntungkan bagi negara-negara tersebut? Joan Robinson melihat bahwa hampir tidak ada jalan ke luar bagi negara berkembang.

1 comment:

Dimas Danang A.W. said...

Membaca artikel ini, saya tertarik untuk menanggapi. Tanggapan saya didasarkan pada gagasan Vandana Shiva, Direktur The Research Foundation for Science, Technology and Natural Resource Policy in New Delhi. Ia pemenang The Right Livelihood Award pada tahun 1993.

A. Globalisasi pertanian sebenarnya hanyalah gurita korporasi pertanian

Pasar bebas dan globalisasi pertanian dianggap akan meningkatkan produksi pertanian dan memperbaiki situasi para petani di seluruh dunia. Namun dalam proses tersebut yang senyatanya terjadi justru menurunnya kemampuan produksi para petani dan juga keamanan pangan bagi konsumen. Hal ini terjadi karena globalisasi pertanian dan segala mitosnya sekedar menjadi topeng bagi gurita korporasi-korporasi pertanian. Korporasi-korporasi ini adalah para penerus Revolusi Hijau pada tahun 1960-an/70-an. Mereka justru menciptakan kemiskinan baru bagi para petani kecil dengan berbagai macam cara, termasuk kerja sama dengan pemerintah.

B. Globalisasi pertanian melayani kepentingan siapa ?

Dalam globalisasi pertanian saat ini, yang senyatanya terjadi adalah pelayanan akan kepentingan MNCs serta pengabaian terhadap kelestarian ekologis dan keadilan sosial. Senyatanya, globalisasi pertanian ‘memperkosa’ unsur-unsur pertanian yang berhubungan dengan HAM. Hak para petani kecil akan tanah, air dan biodiversitas tanaman mereka ‘diperkosa’ lewat penguasaan lahan pertanian, privatisasi air dan monopoli benih. Hak ekologis setiap petani ‘diperkosa’ lewat penyebaran industri-industri dan metode-metode pertanian yang berbahaya secara ekologis. Hak para petani kecil untuk bekerja ‘diperkosa’ lewat penghancuran lingkungan hidup mereka.

C. Hanya demi keuntungan semata

Saat ini, jumlah tanaman pertanian yang diproduksi makin berkurang dan yang jelas makin tidak beragam. Makin sedikit petani, terutama petani kecil, yang menemukan tempat selayaknya dalam dunia pertanian. Dan bahkan, konsumen pun tidak lagi menikmati makanan sehat dan bergizi yang aman bagi tubuh.
Sentralisasi dan kimiawi-sasi sistem dan distribusi pertanian yang mirip dengan model Revolusi Hijau jelaslah sangat tidak demokratis, boros dan tidak memperhitungkan kelestarian ekologis. Globalisasi korporasi pertanian memperburuk masalah tersebut. Di luar masalah pertanian, ekologi dan konsumsi yang sehat, yang dipentingkan korporasi-korporasi tersebut adalah keuntungan dari perdagangan komoditas pertaniannya.

D. Demokratisasi sistem pertanian

Apakah tidak ada solusi bagi semua permasalahan ini? Saya yakin ‘another globalization of agriculture is possible’.
Yang kita perlukan sekarang adalah mengganti sistem yang ada menjadi suatu sistem pertanian yang demokratis berdasarkan pada produksi yang peduli pada kelestarian ekologis, konservasi alam dan akses yang wajar bagi semua orang pada semua sumber daya. Apa yang kita butuhkan sekarang adalah ‘globalisasi’ atas inisiatif-inisiatif ini pada para petani kecil dengan berpusat pada sistem pertanian yang bertujuan pada pemenuhan kebutuhan pangan secara mandiri dan kelestarian ekologis.
Demokratisasi sistem pangan semacam itu lebih bermakna sebagai lokalisasi dari pada globalisasi pertanian. Di satu sisi, lokalisasi mencakup penggantian faktor-faktor eksternal (kepentingan MNCs) dengan faktor-faktor internal (kepentingan petani); di sisi lain, lokalisasi juga mencakup pembangunan kembali keamanan pangan lokal sebagai dasar bagi kemananan pangan nasional.
Demokratisasi sistem pangan juga mencakup peralihan dari ‘monocultures’ (tanaman pertanian tunggal) menuju ‘diversity’ (beragamnya tanaman pertanian). Hal ini meliputi juga penggantian obsesi akan sekian rupiah yang dihasilkan per hektar menjadi perhatian pada besaran nutrisi bagi konsumen per hektar.
Demokratisasi sistem pangan mencakup juga hak demokratis para konsumen untuk mengetahui apa sebenarnya yang mereka makan. Hal ini meliputi hak untuk tahu rekayasa genetis dan proses kimiawi untuk mengasilkan makanan tersebut. Dengan demikian, demokratisasi sistem pangan semacam ini menempatkan manusia, petani dan alam semesta (dan bukannya keuntungan perdagangan) sebagai pusat kebijakan dalam bidang pangan dan pertanian.

Wassalam,
Dimas Danang A.W.

Rafael V. Mariano, chairperson of the Peasant Movement of the Philippines, 2000

Food has long been a political tool in US foreign policy. Twenty-five years ago USDA Secretary Earl Butz told the 1974 World Food Conference in Rome that food was a weapon, calling it 'one of the principal tools in our negotiating kit.' As far back as 1957 US Vice-President Hubert Humphrey told a US audience, "If you are looking for a way to get people to lean on you and to be dependent on you in terms of their cooperation with you, it seems to me that food dependence would be terrific."