Friday, May 23, 2008

PERTANIAN DAN REZIM WTO

Paulus Erwin Sasmito

Mahasiswa FTW


World Trade Organization atau sering disingkat dengan ‘WTO’, adalah organisasi internasional yang berwewenang mengurusi sistem (aturan) perdagangan antar negara di dunia. Apa jadinya jika organisasi perdagangan internasional ini sudah ditunggangi oleh pelaku-pelaku ekonomi raksasa (negara-negara maju) yang punya kepentingan? Tak mengherankan jika agenda-agenda WTO senantiasa memunculkan kontroversi. Kontroversi ini muncul karena lebarnya jurang perbedaan kepentingan antara negara maju dengan negara-negara berkembang. Salah satu contohnya adalah kontroversi dalam perundingan sektor pertanian yang terkait dengan pangan. Khudori dalam bukunya yang berjudul ‘Neoliberalisme Menumpas Petani’, khususnya pada bab II (Pertanian dalam Rezim WTO) secara tajam mengkritisi praktek-praktek perdagangan dan industri pertanian Internasional yang diatur melalui Perjanjian Pertanian (Agreement on Agriculture –AoA)[1]. Ada 3 bagian pokok yang hendak diulas dalam tulisan ini. Pertama, tiga elemen utama AoA, yaitu market access, domestic support, dan export subsidy. Kedua, dua elemen yang terkait dengan sektor pertanian, yaitu sanitary and phytosanitary (SPS) measures, dan efek negatif dari agricultural reform. Ketiga, TRIPs (Trade Related Aspect on Intellectual Property Rights) yang membawa perubahan mendasar pada sektor pertanian.

Pertama, 3 elemen utama AoA (market access, domestic support, dan export subsidy) Mekanisme-mekanisme kunci dalam market access adalah membangun perdagangan dengan rezim tarif, pengurangan tarif, dan pengikatan besarnya tarif masing-masing produk pertanian. Tarifikasi pada prinsipnya adalah mekanisme penarifan tanpa kecuali. Penarifan ini dilakukan dengan mengubah semua bentuk kebijakan non-tariff measures (NTM) menjadi tarif ekivalen. Artinya, proteksi di sektor pertanian sejatinya masih diperbolehkan, asalkan proteksi tersebut dalam bentuk tarif, tanpa harus mengurangi tingkat proteksinya. Sedangkan komitmen mengenai Domestic Support (DS) diwujudkan dalam bentuk kebijakan penurunan subsidi, baik untuk produksi maupun dalam bentuk pengalihan (transfer) dana kepada produsen. AoA tidak melarang semua bentuk subsidi kepada produsen, tetapi menentukan disiplin yang lebih teratur dalam wilayah domestik. Teks-teks kesepakatan dalam AoA dirancang agar DS dirubah sedemikian rupa sehingga dapat dihilangkan, ataupun kalaupun masih ada maka pengaruhnya terhadap distorsi perdagangan dan produksi tiap-tiap produk pertanian berdampak kecil. Selanjutnya adalah komitmen dalam Export Subsidy (ES) yang dimaksudkan untuk mendisiplinkan kebijakan dan tindakan pemerintah yang menyalurkan bantuan terhadap ekspor dalam bentuk subsidi ekspor. Pengurangan subsidi ekspor bertujuan untuk mengurangi distorsi di pasar internasional, karena kebijakan subsidi ekspor dianggap dapat memancing persaingan yang tidak sehat antara negara pemberi subsidi dan negara pengimpor. Ketiga elemen utama dalam AoA ini merupakan tiga pilar yang satu dengan yang lainnya saling terkait. Subsidi ekspor barang pertanian yang dilakukan oleh suatu negara misalnya, akan berdampak luas terhadap pasar ekspornya. Subsidi ekspor selain akan memperkukuh cengkeraman di negara pengimpor juga dapat berpengaruh buruk terhadap daya saing ekspor bagi negara yang tidak melakukannya. Demikian juga, besarnya DS yang diberikan suatu negara terhadap petaninya akan mempengaruhi nilai ekspor serta membawa persaingan tidak sehat antar negara pengekspor. Akibat besarnya praktek DS, harga beras international misalnya, tidak lagi menggambarkan tingkat efisiensi (ongkos produksi) karena sebagian besar negara-negara utama eksportir beras melakukan pelbagai support terhadap petani mereka.

Kedua, dua elemen yang terkait dengan pertanian (sanitary and phytosanitary (SPS) measures, dan efek negatif dari agricultural reform). Aturan SPS bertujuan untuk ‘melindungi kehidupan dan kesehatan manusia, hewan, dan tumbuhan’. Sementara untuk langkah reformasi sektor pertanian yang dilakukan harus selalu mempertimbangkan non trade concern, seperti food security, dan protect the environment yang terintegrasi dalam special and differential treatment. Dalam hampir semua aturan WTO mensyaratkan adanya keseragaman sistem, baik bagi negara maju maupun negara berkembang. Padahal kondisi sosial, politik, ekonomi dan budaya negara-negara berkembang jelas berbeda dengan negara maju. Akibat penyeragaman aturan-aturan perdagangan tersebut, praktek free trade justru berbelok menjadi perdagangan yang tidak adil, bahkan bersifat menghisap akibat level playing field yang berbeda antara negara-negara maju dengan negara-negara berkembang. Berpijak dari realitas ini, liberalisasi perdagangan hasil-hasil pertanian melalui pembukaan akses pasar (MA) yang lebih luas, penurunan subsidi ekspor (ES) dan subsidi domestik (DS) seharusnya dapat menjamin terwujudnya sistem perdagangan yang adil. Free trade semestinya mempertimbangkan posisi petani-petani gurem di negara-negara berkembang yang hidup dalam tingkat subsistensi dengan teknologi pertanian sederhana. Di samping itu, untuk menciptakan sistem perdagangan adil, prinsip non trade concern perlu mendapat perhatian dalam perundingan Perjanjian Pertanian. Non trade concern muncul akibat dari multifungsi sektor pertanian bagi negara-negara berkembang. Bagi negara-negara berkembang termasuk Indonesia, pertanian tidak hanya menyangkut aspek perdagangan, tetapi berfungsi sebagai penyediaan pangan, penyerapan tenaga kerja terbesar, pengentasan kemiskinan, pembangunan pedesaan, dan konservasi lingkungan hidup, bahkan sebagai kekayaan budaya atau ritual yang diwariskan dari generasi ke generasi. Dalam hal ini, food security, kepentingan negara-negara berkembang, sudah selayaknya mendapatkan perhatian. Kemudian, selaras dengan trade concern, Special and Different Treatment (S&D) bagi negara-negara berkembang semestinya mendapatkan perhatian yang serius dalam AoA. S&D dipandang penting sebagai bagian dalam mencapai tujuan fair trade lewat penciptaan level playing field yang sama antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang.

Ketiga, TRIPs (Trade Related Aspect on Intellectual Property Rights). TRIPs terdiri dari 73 pasal yang terbagi atas 7 bab. Untuk sektor pertanian, pasal 27 adalah pasal yang paling sering dipermasalahkan. Isinya berkaitan dengan aturan hak paten atas hasil penemuan baru dalam bidang teknologi pertanian, seperti rekaya genetika, sumber daya hayati, dll. Pasal 28 semakin memperjelas mengenai hal ini, yakni bahwa dengan hak paten atas makhluk hidup, seseorang atau suatu lembaga memiliki hak sepenuhnya untuk memanfaatkan dan menjual jenis/varietas tertentu, dan bila orang lain ingin memanfaatkan atau pun menjual jenis/varietas yang sama, mereka harus membayar kepada pemilik hak paten. Hal ini memunculkan beberapa implikasi pematenan atas makhluk hidup pada masyarakat tradisional dan petani, yaitu: (1) masyarakat tradisional dan petani tidak dapat lagi menjalankan aktivitas yang biasa mereka lakukan yang terkait erat dengan perlindungan dan pelestarian hayati-tanpa seizin pemegang paten; (2) menjual hasil paten dari varietas tanaman yang lindungi oleh paten tanpa izin pemegang paten. Akhirnya, yang jelas TRIPs memunculkan sejumlah implikasi serius terhadap keragaman hayati, yaitu: (a) monopoli kepemilikan keragaman hayati beserta pengetahuannya; (b) menegasikan inovasi tradisional masyarakat adat/lokal; (c) membuka peluang pembajakan sumber daya hayati (:pengambilan dan pemanfaatan bahan hayati, terutama sumber daya genetik beserta kearifan tradisional masyarakat adat/lokal, tanpa sepengetahuan dan persetujuan masyarakat setempat); (d) mendorong erosi keragaman hayati. Jelas bahwa sistem TRIPs sangat menguntungkan negara-negara maju yang banyak diboncengi perusahaan-perusahaan multinasional (MNC) yang berkecimpung dalam industri pertanian; sementara itu masyarakat dan para petani di negara-negara berkembang yang memegang kearifan lokal (kreativitas alam dan kreativitas yang tumbuh dari kekayaan intelektual bersama) semakin tergencet, tak berdaya berhadapan dengan sistem yang menguntungkan monster-monster neoliberalisme.

Gagasan Khudori yang kritis ini semakin membuka wacana kita mengenai bagaimana rezim WTO dengan kebijakan-kebijakannya selama ini telah menggencet para petani di negara-negara berkembang. WTO yang mensyaratkan keseragaman sistem untuk seluruh negara, justru membelokkan free trade ke arah perdagangan yang tidak adil akibat level playing field yang berbeda antara negara maju dan negara berkembang. Aturan TRIPs WTO jelas-jelas menguntungkan MNC-MNC industri pertanian di negara-negara maju; sedangkan masyarakat dan para petani di negara-negara berkembang semakin tertindas. Berhadapan dengan rezim WTO ini, semestinya kita harus berani untuk terus bersuara membela nasib petani, khususnya menyangkut: (1) perjuangan terciptanya perdagangan yang adil (free trade) dengan prinsip non trade concern dan special and different treatment bagi negara-negara berkembang; dan (2) perjuangan terciptanya kearifan lokal yang menyangkut kreativitas alam dan kreativitas yang tumbuh dari kekayaan intelektual bersama (menentang monopoli hak paten).



[1] AoA pada prinsipnya bertujuan untuk memperluas liberalisasi perdagangan di bidang pertanian serta secara bertahap mengurangi distorsi perdagangan dengan menerapkan aturan permainan GATT (General agreement on Tarrif and Trade), cikal bakal WTO

No comments:

Rafael V. Mariano, chairperson of the Peasant Movement of the Philippines, 2000

Food has long been a political tool in US foreign policy. Twenty-five years ago USDA Secretary Earl Butz told the 1974 World Food Conference in Rome that food was a weapon, calling it 'one of the principal tools in our negotiating kit.' As far back as 1957 US Vice-President Hubert Humphrey told a US audience, "If you are looking for a way to get people to lean on you and to be dependent on you in terms of their cooperation with you, it seems to me that food dependence would be terrific."