Friday, February 22, 2008

Perdagangan Bebas


Mengapa perdagangan harus bebas? Bukankah perdagangan itu selalu bebas? Bukankah orang berjual-beli secara bebas? Sebelum gagasan "perdagangan bebas" dilemparkan oleh Adam Smith (dalam bukunya yang termasyhur, The Wealth of Nations, 1776) negara-negara tidak mendukung perdagangangan bebas. Para saudagar dari sebuah negara tidak bebas untuk mengadakan ekspor dan impor. Kecenderungan besar di Eropa pada waktu itu adalah "proteksionisme", negara melindungi diri terhadap negara lain, dalam arti hanya mengijinkan ekspor, tetapi tidak impor. Argumen yang diajukan untuk melakukan tindakan ini adalah untuk menjaga jumlah emas/perak (dalam bahasa sekarang "devisa") yang dimiliki sebuah negara. Pada saat ekspor negara mendapatkan devisa, tetapi pada waktu impor negara melepaskan devisa. Keinginan negara-negara pada waktu itu adalah bagaimana menumpuk emas/perak sebesar-besarnya karena mereka percaya bahwa dengan cara ini saja negara mereka akan menjadi kaya! Paham ini sering juga dinamakan "merkantilisme."

Adam Smith menjungkir-balikkan pandangan ini. Dia mengatakan, justru kalau sebuah negara mengijinkan warganya untuk bebas mengadakan ekspor-impor, maka negara itu akan makmur, dan demikian pula negara lain, dan banyak negara lain. Perdagangan bebas, katanya, akan mendatangkan "wealth of nations." Smith berpendapat bahwa kemampuan individu tidaklah sama, ada yang pandai untuk hal tertentu, tidak untuk yang lain. Begitu pula sebuah negara, mengingat kemampuan individu-individu yang ada di dalamnya maupun kekayaan alam yang dimilikinya. Inggris mampu memproduksi kain wool yang bagus, tetapi tidak untuk anggur. Sementara Portugal dapat menghasilkan anggur yang sangat enak, tetapi tidak untuk kain wool. Kalau kedua negara ini mengadakan tukar-menukar barang, maka rakyat kedua negara itu akan memakai kain wool yang bagus dan minum anggur yang enak. Kalau dua negara mengadakan proteksionisme, Inggris hanya pakai kain wool yang bagus, tetapi tidak minum anggur yang enak. Demikian sebaliknya dengan Portugal, minum anggur yang enak, tetapi pakai kain wool yang jelek. Adam Smith menganjurkan agar negara-negara mengadakan spesialisasi, dan atas dasar spesialisasi ini mengadakan tukar-menukar atau perdagangan. Dengan cara ini negara-negara di seluruh dunia akan menikmati kesejahteraan karena menikmati produk-produk yang terbaik.

Perdagangan bebas berarti bebas dari campur tangan negara, terutama keinginan negara untuk mengenakan bea masuk (tariff). Gagasan "free trade" ini mendapat sambutan baik di Inggris, dan pada 1846 Inggris mengumukan pembatalan "Corn Law" dan mengijinkan perdagangan bebas produk-produk pertanian. Inggris pada waktu memang sedang memasuki Revolusi Industri, mampu menghasilkan produk-produk yang bermutu tinggi. Masa antara 1864-1914 dipandang sebagai masa keemasan perdagangan bebas. Namun masa ini ditutup dengan Perang Dunia I (1914-1919), yang melibatkan negara-negara di Eropa Barat dan juga jajahan-jajahannya. Perang ini dipandang sebagai akibat dari kegagalalan perdagangan bebas, dan sejak Perang Dunia I negara-negara di seluruh dunia menutup pasarnya dengan menaikkan tarif impor. Proteksionisme berkuasa di seluruh dunia, perdagangan bebas praktis berhenti, hingga akhir Perang Dunia II (1945).

Tetapi gagasan perdagangan bebas tidak mati. Setelah Perang Dunia II berakhir, negara-negara di dunia sepakat untuk menghidupkan gagasan ini dan menjaganya. Maka pada tahun 1947 negara-negara mengadakan persetujuan bagaimana mengelola perdagangan bebas yang adil. Didirikanlah GATT (General Agreement on Tariff and Trade), yang kemudian diubah menjadi WTO (World Trade Organization) pada 1995. Sejak 1947 hingga hari ini perdagangan bebas memang dijadikan prinsip utama dalam dunia, dan ini menjadi jantung dari proses globalisasi saat ini. Pada jaman sekarang orang dapat menikmati produk-produk negara lain dengan mutu yang tinggi dan harga yang murah. Tidak hanya barang, tetapi juga jasa dapat berputar dan beredar di seluruh dunia.

Apakah perdagangan bebas benar menghasilkan "wealth of nations" seperti dikatakan oleh Adam Smith? Inilah yang menjadi perdebatan sengit antara pendukung dan pelawan globalisasi. Negara kaya dituduh pandai memanipulasi azas perdagangan bebas ini dan menjadi semakin kaya. Negara miskin mengalami hambatan memanfaatkan azas itu dan tidak beranjak dari kemiskinan. Salah satu pokok adalah nilai tukar mata uang atau exchange rate. Negara miskin/berkembang akan selalu kalah dalam berdagang karena nilai tukar mata uang mereka yang rendah dibandingkan dengan mata uang negara kaya (dollar Amerika, Euro, Yen). Belum lagi kecenderungan negara-negara kaya mempraktikkan "non-tariff barrier" (misalnya, quota, quality control, dsb. ) terhadap produk dari negara-negara berkembang. Oleh sebab itu pada saat ini sangat banyak kelompok LSM di seluruh dunia yang menentang perdagangan bebas, juga menentang WTO. Protes terbesar dan termasyhur terhadap WTO terjadi di kota Seattle, Amerika Serikat, pada Desember 1999, sehingga disebut "the Battle of Seattle."

Keterangan gambar: Adam Smith (1723-1790)

BOX

Free trade: the flow of trade based on supply and demand, free from governmental regulations, controls, and promotional activities.
Istilah kunci: (1) tariff; (2) proteksionisme; (3) merkantilisme; (4) non-tariff barrier. Tonggak sejarah: 1776, terbitnya buku Wealth of Nations karya Adam Smith; 1864, dibatalkannya Corn Law di Inggris; 1914, berakhirnya perdagangan bebas di dunia; 1947, dihidupkan kembali perdagangan bebas lewat GATT (General Agreement on Tariff and Trade); 1995, berdiri WTO (World Trade Organization) yang mengatur perdagangan bebas di dunia. Pemikir: Adam Smith (teori "absolute advantage"), David Ricardo (teori "comparative advantage").

No comments:

Rafael V. Mariano, chairperson of the Peasant Movement of the Philippines, 2000

Food has long been a political tool in US foreign policy. Twenty-five years ago USDA Secretary Earl Butz told the 1974 World Food Conference in Rome that food was a weapon, calling it 'one of the principal tools in our negotiating kit.' As far back as 1957 US Vice-President Hubert Humphrey told a US audience, "If you are looking for a way to get people to lean on you and to be dependent on you in terms of their cooperation with you, it seems to me that food dependence would be terrific."