Tuesday, May 5, 2009

Krisis Finansial Membuktikan Ada yang Keliru

Kompas, Selasa, 5 Mei 2009 | 04:56 WIB

Krisis keuangan tahun 1997-1998 membuat sebagian besar negara di Asia terpukul. Kawasan lain di dunia relatif aman. Satu dekade berlalu, krisis keuangan kembali menerpa AS pada akhir tahun 2008. Seluruh dunia pun ikut terganggu karena AS merupakan lokomotif utama ekonomi dan perdagangan dunia.

Krisis keuangan kali ini membuktikan ada yang salah dalam sistem pembangunan ekonomi internasional yang didukung lembaga-lembaga multilateral, seperti Organisasi Perdagangan Dunia, Bank Dunia, Dana Moneter Internasional, dan bank-bank regional, seperti Bank Pembangunan Asia (ADB).

Pernyataan itu dilontarkan Emil Salim, mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup, dalam panel diskusi ”Responding to the Inevitable: Climate Change Adaptation Challenges and Opportunities in Asia and the Pacific” di Nusa Dua, Bali, Minggu (3/5). Diskusi ini berlangsung berkenaan dengan adanya sidang tahunan ke-42 ADB di Nusa Dua, 2- 5 Mei.

”Perubahan tengah berlangsung di semua sektor. Karena itu, tampaknya lembaga-lembaga multilateral tidak bisa melanjutkan paradigma lama,” ujar Emil Salim.

Dengan perubahan itu, Emil Salim menjadi lebih optimistis pada perundingan di Konferensi Para Pihak Ke-15 mengenai Konvensi Perubahan Iklim yang akan berlangsung di Kopenhagen, Denmark, pada akhir tahun 2009 ini.

Sebagai pembicara terakhir setelah Salvano Briceno, Direktur Strategi Internasional untuk pengurangan Bencana Perserikatan Bangsa-Bangsa; Warren Evans dari Bank Dunia; Luc Gnacada, Sekretaris Eksekutif Konvensi PBB untuk Melawan Penggurunan; dan Ashok Khosla, Presiden International Union for Conservation of Nature, Emil Salim beberapa kali menyelipkan kritiknya terhadap praktik-praktik ADB.

Dalam soal adaptasi dan upaya mengurangi dampak perubahan iklim, misalnya, ia mempertanyakan kenapa lembaga keuangan, seperti Bank Dunia dan ADB, memberikan bantuan pinjaman kepada industri-industri berbasis batu bara dan pembangunan jalan raya yang tidak ramah iklim.

Modus utang baru

Menurut Faby Tumiwa dari Institute for Essential Services Reform, ada kecenderungan lembaga-lembaga keuangan multilateral menjadikan adaptasi perubahan iklim sebagai modus baru pemberian utang.

”Seperti cara baru untuk berbisnis,” ujar Faby seraya menyebut Climate Investment Fund Bank Dunia dan mekanisme serupa yang segera diluncurkan ADB.

Mantan Duta Besar PBB untuk Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) Kawasan Asia Pasifik, Erna Witoelar, juga menolak penambahan utang untuk pencapaian MDGs, khususnya di bidang pendidikan dan kesehatan. ”Kita harus bisa mencapainya dengan sumber daya sendiri,” ujar Erna.

Dihubungi di tempat terpisah, Dani Setiawan dari Koalisi Antiutang (KAU) menyesalkan rencana pemerintah memberikan tambahan modal untuk ADB sebesar Rp 400 miliar per tahun mulai tahun 2010. ”Uang itu lebih tepat digunakan untuk stimulus ekonomi rakyat dalam situasi krisis ini,” ujar Dani.

Mengutip Global Development Finance yang diterbitkan Bank Dunia tahun 2008, Dani menyatakan, telah terjadi peningkatan jumlah utang 44 kali lipat dari negara berkembang dalam kurun tahun 1970-2007, dari sekitar 70 miliar dollar AS menjadi sekitar 3.300 miliar dollar AS. ”Sebenarnya operasi lembaga-lembaga keuangan dunia terus menyebabkan krisis utang di negara berkembang,” kata Dani.

Sementara Chris Ng, Sekretaris Regional Union Network International (UNI), di Nusa Dua, menegaskan, UNI bersama dua lembaga swadaya masyarakat internasional lain, Public Services International (PSI) dan Building and Wood Worker Internasional (BWI), bergabung dalam suatu wadah bernama Global Union, meminta ADB merevisi Strategi ADB 2020 karena tidak mengakomodasi perlindungan buruh secara memadai. Global Union mengklaim mewakili 52 juta pekerja di seluruh dunia.

Intinya, krisis keuangan dunia yang membuat banyak orang menderita merupakan kekeliruan lembaga keuangan internasional, termasuk ADB. Kini mereka dituntut.(BEN/OIN/MH)

Dapatkan artikel ini di URL:
http://entertainment.kompas.com/read/xml/2009/05/05/04561474/krisis.finansial.membuktikan.ada.yang.keliru

No comments:

Rafael V. Mariano, chairperson of the Peasant Movement of the Philippines, 2000

Food has long been a political tool in US foreign policy. Twenty-five years ago USDA Secretary Earl Butz told the 1974 World Food Conference in Rome that food was a weapon, calling it 'one of the principal tools in our negotiating kit.' As far back as 1957 US Vice-President Hubert Humphrey told a US audience, "If you are looking for a way to get people to lean on you and to be dependent on you in terms of their cooperation with you, it seems to me that food dependence would be terrific."