Friday, May 8, 2009

Esensi Utang RI Melenceng


Pemerintah Tak Punya Manajemen Utang Independen

Koran Jakarta,
Selasa, 05 Mei 2009 01:36 WIB

JAKARTA – Esensi utang luar negeri Indonesia selama ini melenceng karena pinjaman bukan untuk meningkatkan produktivitas, melainkan untuk menambal defisit anggaran negara akibat utang lama dan mempertahankan nilai tukar rupiah.

Tawaran utang baru dari ADB lebih banyak motif mencari untung bagi lembaga itu. Pemerintah setiap tahun harus membayar bunga utang hingga ratusan triliun rupiah.

JAKARTA – Esensi utang luar negeri Indonesia selama ini melenceng karena pinjaman bukan untuk meningkatkan produktivitas, melainkan untuk menambal defisit anggaran negara akibat utang lama dan mempertahankan nilai tukar rupiah.

Karena itu, pemerintah seharusnya tidak perlu menerima tawaran pinjaman lagi dari Bank Pembangunan Asia (ADB) karena akan melanggengkan beban berat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Tahun ini, lembaga itu menganggarkan utang hingga dua miliar dollar AS untuk Indonesia.

Ekonom senior Kwik Kian Gie menilai penggunaan utang luar negeri Indonesia selama ini tidak produktif sehingga melenceng dari esensinya. Jika pemerintah menerima utang baru dari ADB, hal ini membuktikan tim ekonomi lebih memihak kepentingan asing.

“Saya tidak pernah melihat alasan yang jelas dalam kebijakan mencari utang luar negeri,” ujarnya, Senin (4/5).

Kwik juga mempertanyakan alasan pemerintah berutang yakni untuk menambal defisit anggaran dan memperkuat nilai tukar rupiah. Pasalnya, defisit yang timbul selama ini justru disebabkan tingginya beban cicilan pokok dan bunga utang. Tujuan untuk menambah likuiditas dollar AS di dalam negeri juga dinilai absurd. Ketika rupiah melemah, pemerintah justru akan menjual cadangan dollar ke pasar.

Menurut Kwik, berdasarkan konsep yang diterima secara internasional, utang harus bisa dibayar kembali dari hasil produktivitas penggunaannya. Namun, untuk kasus Indonesia, utang luar negeri justru tidak efektif. Ini terbukti dari neraca (pembiayaan) utang luar negeri yang selalu defisit. Artinya, pembayaran cicilan utang (pokok dan bunganya) masih jauh lebih besar dari penarikan utang baru. Akibatnya, saldo utang Indonesia justru terus menumpuk.

Berdasarkan catatan, setiap tahun APBN “membuang” lebih dari 100 triliun rupiah hanya untuk pembayaran bunga utang (Lihat infografis).

Jadi, kata Kwik, tawaran utang baru itu lebih disebabkan kepentingan ADB untuk mencari untung dari pinjaman tersebut. APBN sendiri sebenarnya tidak terlalu membutuhkannya yang terbukti dari realisasi belanja yang selalu surplus.

Ekonom dari Econit Hendri Saparini menyatakan pemerintah harus mengukur ulang efektivitas utang luar negeri karena dinilai tidak memberikan manfaat.

Menurut dia, hal ini disebabkan pemerintah tidak memiliki manajemen utang yang dikelola secara independen. Manajemen utang pemerintah, lanjut dia, hanya mengukur rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB).

Seharusnya, kata Hendri, manajemen utang menggunakan ukuran efektivitas dan indikator keberhasilan program pembangunan yang didanai utang luar negeri.
"Dengan demikian, pemerintah tidak bisa seenaknya menambah utang hanya dengan pertimbangan bahwa rasio utang terhadap PDB aman," tegas dia.

Melahirkan Krisis

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada pembukaan sidang tahunan ADB di Nusa Dua, Bali, Senin, mengatakan pemerintah menilai keberadaan ADB masih positif. Pinjaman dan pendampingan dari ADB dianggap memberikan dampak yang positif bagi kesejahteraan masyarakat.

"Dalam 42 tahun terakhir, ADB telah membantu menciptakan kehidupan yang lebih baik di Asia-Pasifik. Kami mengagumi kesetiaan dan profesionalisme yang ditunjukkan ADB selama ini," kata Yudhoyono.

Namun, Endi Saragih dari Serikat Petani Indonesia mengatakan kehadiran dan keterlibatan ADB selama ini hanya melahirkan krisis di berbagai sektor.

"Selama 42 tahun berdirinya, ADB telah menyebabkan timbulnya bencana kelaparan di sejumlah negara Asia. Jika ini diteruskan, kehadiran ADB hanya akan memperlebar kemiskinan di Asia," kata dia saat berunjuk rasa di Denpasar.

Menanggapi pernyataan Presiden Yudhoyono, Hendri menyarankan agar Presiden berhati-hati dalam memberikan pernyataan dukungan. "Ini bisa memunculkan pandangan publik bahwa presiden kita menghendaki penambahan utang dan makin bergantung pada ADB," kata dia.

Persepsi itu, lanjut Hendri, akan mengakibatkan tim ekonomi Yudhoyono makin jor-joran dalam menjalankan kebijakan ekonomi yang hanya mengandalkan pada pendanaan dari utang.

(aji/ito/did/Ant/AR-1)

1 comment:

Unknown said...

Tidak ada bedanya ADB dengan World Bank, IMF, atau CGI kalau penggunaan dana dari utang itu sudah melenceng dari esensinya. Saat pemerintahan sebelumnya, pihak Indonesia membubarkan CGI bahkan tidak bekerjasama lagi dengan World Bank dan IMF dengan tujuan supaya negara kita tidak tergantung lagi dengan pinjaman luar negeri sehingga bisa memperbaiki keuangan (ekonomi) negara kita karena ternyata pengeluaran terbesar adalah pembayaran utang LN, baik pokok maupun bunganya. Tetapi saat ini, negara kita malah bergabung lagi dalam lembaga yang sama, bernama ADB. Jika tujuan utama dari pinjaman tersebut hanya untuk menstabilkan anggaran, jelas melenceng dari esensinya dan keadaan ekonomi juga akan stagnan. Indonesia sudah keluar dari CGI, WB, dan IMF eh malah terperangkap lagi dengan namanya ADB. Tahun depan apalagi ya? semoga saja tidak terjadi

Rafael V. Mariano, chairperson of the Peasant Movement of the Philippines, 2000

Food has long been a political tool in US foreign policy. Twenty-five years ago USDA Secretary Earl Butz told the 1974 World Food Conference in Rome that food was a weapon, calling it 'one of the principal tools in our negotiating kit.' As far back as 1957 US Vice-President Hubert Humphrey told a US audience, "If you are looking for a way to get people to lean on you and to be dependent on you in terms of their cooperation with you, it seems to me that food dependence would be terrific."