Saturday, September 20, 2008

KAPITALISME: AMERIKA DAN CINA

I.Wibowo


Mulai tanggal 15 September 2008 hingga seminggu kemudian seluruh dunia gemetar menyaksikan runtuhnya Lehman Brohters, disusul Merill Lynch, diikuti oleh AIG, dan dikhawatirkan Goldman Sachs serta Morgan Stanley akan segera mengiktui. Orang di seluruh dunia menjadi cemas. Indeks pasar saham di seluruh dunia berguguran. Ada kekhawatiran dunia akan tenggelam lagi dalam krisis seperti “Depresi Besar” pada tahun 1929!

Pemerintah Amerika mula-mula bersikap sesuai dengan textbook, yaitu tidak ambil tindakan. Maka Lehman Brothers Co. yang sudah berumur 198 tahun itu bertekuk lutut, sementara Merill Lynch dilego kepada Bank of America. Pemerintah Amerika percaya bahwa dengan ini pasar akan mengadakan self-correction. Ternyata keadaannya makin memburuk. Giliran AIG, perusahaan asuransi terbesar, menyatakan akan menyerah kalah. Pada titik inilah Pemerintah Amerika turun tangan, dan menyelamatkan AIG dengan menyuntikkan dana sebesar US$ 79 milyar. Pemerintah berpendapat bahwa tindakan menyelamatkan AIG adalah demi kepentingan rakyat Amerika yang menggantungkan pensiun mereka, tetapi juga demi menghentikan kepanikan di seluruh mengingat begitu besarnya usaha AIG. Tapi persis seminggu kemudian President Bush mengumumkan bahwa Pemerintah Federal akan mengambil inisiatif, dengan memakai uang pembayar pajak, untuk menyelamatkan bank-bank yang terancam gulung terikat. Besar bantuan itu US$ 700 milyar, malah bisa mencapai US$ 1 trilyun.

Dengan ini berakhirlah “pasar bebas” di Amerika. Pasar bebas ternyata harus diintervensi oleh negara agar bisa berfungsi secara normal lagi. Hal ini tentu saja segera mengingatkan peristiwa Depresi Besar ketika Presiden Roosevelt juga mengambil langkah untuk mengambil tindakan untuk menyelamatkan ekonomi yang sudah ambruk. Maka tidak heran bahwa orang mulai berbisik-bisik bahwa John Maynard Keynes telah bangkit dari kubur, begitu pula Keynesianisme. Padahal pada bulan Oktober yang akan datang akan diresmikan Milton Friedman Institute di Universitas Chicago, tempat untuk menebarkan dan membiakkan gagasan pasar bebas!

Cina juga

Pada saat yang bersamaan juga terjadi “market failure” di Cina. Pada tanggal 9 September 2008 tersiar berita bahwa susu buatan Pabrik Susu “Sanlu” tercemar dengan zat yang amat beracun dan berbahaya. Selang bebarapa hari diketahi bahwa susu yang telah dikonsumsi oleh bayi-bayi di seluruh Cina itu benar-benar telah menimbulkan malapetaka. Sekurang-kurangnya tiga bayi sudah tewas, dan sekian puluh yang mengalami gagal ginjal, dan sekian ribu yang mengalami aneka sakit sehubungan dengan pencernaan. Setelah diperiksa lebih lanjut, ternyata bukan hanya satu perusahaan saja yang menghasilkan susu yang tercemar. Ada sekurang-kurangnya 22 perusahaan lain yang melakukan tindakan tak bermoral itu.

Pemerintah Cina juga mula-mula bertindak dengan memecat kepala perusahaan, lalu juga bupati tempat produksi susu itu. Ketika ternyata kasusnya telah merembet lebih luas, Pemerintah Cina mengambil serangkaian tindakan untuk memeriksa semua pabrik susu di Cina. Tetapi terlambat sebab susu dengan aneka merk yang tercemar telah dikonsumsi oleh bayi-bayi di Cina, bahkan mungkin oleh bayi-bayi di Hong Kong, mungkin oleh bayi-bayi di luar negeri. Sampai kini Pemerintah Cina masih mencari cara yang tepat untuk mengatasi “krisis susu” ini, sebab tanpa tindakan yang meyakinkan dikhawatirkan bukan hanya usaha susu buatan Cina yang akan runtuh, tetapi juga seluruh usaha makanan jadi. Kalau ini terjadi, memang ekspor makanan jadi Cina juga terpengaruh, mungkin sekali tidak akan laku di seluruh dunia.

Self-regulating market?

Dalam dua kasus ini – krisis finansial dan krisis susu – nampak jelas bahwa pasar tidak bisa mengatur dirinya sendiri (self-regulating). Pasar keuangan di Amerika Serikat sebenarnya sudah pernah dikerangkeng oleh Presiden Roosevelt segera sesudah terjadinya Depresi Besar, tetapi oleh Presiden Clinton dilepaskan lagi. Dalam jaman globalisasi seperti saat ini liberalisasi pasar keuangan memang sangat diinginkan oleh para pengusaha dan spekulan, tetapi orang tahu bahwa situasi ini penuh risiko. Pasar tidak bisa mengatur diri sendiri, apalagi mengendalikan diri sendiri. Siapa yang bisa (dan berani) mengatur para spekulan dan fund managers?

Di Cina, situasi pasar bebas juga menghasilkan kekacauan. Para pelaku pasar (pengusaha) dengan tenang mencampurkan bahan kimia yang terlarang dalam susu untuk mengeruk keuntungan besar. Hal ini bahkan dilakukan oleh perusahaan yang ber-joint venture dengan perusahaan multinasional dari Selandia Baru. Sama dengan di Amerika, keuntungan jangka pendek menuntun pengusaha-pengusaha itu untuk mengeruk keuntungan, tidak peduli pada bahaya kematian yang ditimbulkan. Pasar di Cina, sama dengan di Amerika, tidak mampu mengatur, apalagi mengendalikan kualitas susu. Perusahaan akan bertindak setelah terjadi kecelakaan bahkan malapetaka besar. Pada saat itu negara mengadakan intervensi, tapi sudah terlambat. Korban sudah terlanjur berjatuhan.

Negara datang lagi

Kapitalisme di Amerika dan di Cina mengandalkan pasar bebas dan peran pengusaha swasta. Tidak ada tempat bagi negara. Kalau toh ada peran negara, ia tidak boleh masuk, apalagi mengintervensi. Para ekonom neo-liberal tetap mempertahankan ajaran ini seolah-olah sebuah dogma. Kalau terjadi sesuatu yang salah atau kacau, mereka langsung mengatakan bahwa itu karena kesalahan oknum. John McCain ada di garis pemikiran ini ketika dia mengatakan seandainya dia presiden dia akan memecat Chirstopher Fox, penanggung jawab pasar saham. Ini pula yang dilakukan di Cina, dengan memecati para pejabat yang dikatakan “bertanggung-jawab.” Mereka lupa bahwa orang ini adalah bagian dari sebuah sistem besar yang sering disebut “mekanisme pasar” itu.

Pasar bebas kini telah terkubur hidup-hidup, bahkan di tempat yang disebut-sebut sebagai “sarang kapitalisme.” Ketika pasar sekarat, tanpa malu-malu, mereka minta tolong kepada negara. Negara pun datang lagi seraya mengayunkan langkah besarnya. Betapapun Presiden Bush mencoba beretorika, yang dilakukan adalah tindakan penyelamatan oleh negara. Hu Jintao dengan ucapan yang implisit, juga melabrak bawahan-bawahannya supaya mereka tidak berpangku tangan.

No comments:

Rafael V. Mariano, chairperson of the Peasant Movement of the Philippines, 2000

Food has long been a political tool in US foreign policy. Twenty-five years ago USDA Secretary Earl Butz told the 1974 World Food Conference in Rome that food was a weapon, calling it 'one of the principal tools in our negotiating kit.' As far back as 1957 US Vice-President Hubert Humphrey told a US audience, "If you are looking for a way to get people to lean on you and to be dependent on you in terms of their cooperation with you, it seems to me that food dependence would be terrific."