Tuesday, September 16, 2008

IHSG dan Bayang-bayang Kemelut Bursa Global

Kompas, Rabu, 17 September 2008 | 03:00 WIB

Oleh Reinhard Nainggolan

Pasar saham Indonesia sedang ” berkabung”. Indeks harga saham gabungan atau IHSG terus melorot dan menyentuh level terendah dalam kurun waktu hampir dua tahun terakhir. Sekalipun sejalan dengan pelemahan indeks bursa global, kondisi ini mencemaskan dan tidak pernah diperkirakan sebelumnya.

IHSG yang tercatat sebesar 2.731,51 pada 2 Januari dan sempat menyentuh posisi tertinggi sepanjang sejarah bursa Indonesia pada 9 Januari 2008, yaitu 2.830,26, kini terpuruk ke level yang mengenaskan.

Pada perdagangan saham, Senin (15/9), IHSG ditutup pada 1.719,25 poin dan sedikit menguat pada Selasa (16/9) menjadi 1.735,64 poin.

Angka-angka ini menunjukkan bahwa nilai keseluruhan saham yang tercatat di Bursa Efek Indonesia selama hampir sembilan bulan terakhir telah tergerus 36,45 persen. Sebanyak itu pula nilai investasi pelaku pasar saham Indonesia telah berkurang.

Kondisi ini jauh dari perkiraan banyak pihak: mulai dari investor, analis, otoritas pasar modal, sampai pejabat negara.

Saat membuka perdagangan saham Bursa Efek Indonesia 2 Januari 2008, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono optimistis pada 2008 IHSG akan tumbuh minimal 30 persen. Sejumlah analis bahkan memperkirakan lebih tinggi.

Optimisme itu didukung prestasi IHSG yang naik 52 persen pada tahun 2007, dan perkiraan pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2008-2010 yang ditunjang oleh tingginya konsumsi dan proyek-proyek infrastruktur.

Namun, sejak pertengahan Januari, IHSG mulai goyang menyusul anjloknya sejumlah bursa regional dan global. Ini menunjukkan bahwa bursa Indonesia tidak berdiri sendiri, melainkan ada ketergantungan dengan bursa global, akibat semakin terintegrasinya pasar keuangan dunia.

Krisis AS

Guncangan terhadap bursa global berawal dari maraknya pemberitaan tentang krisis perumahan (subprime mortgage) di Amerika Serikat.

Pemberitaan itu semakin mengkhawatirkan ketika sejumlah perusahaan investasi dan keuangan besar di AS, antara lain Citigroup, Merrill Lynch, Bear Stearns, Bank Indymac, dan kelompok bank besar lainnya, yang tergabung dalam Wachovia Corporation, melaporkan kerugian cukup dalam, yang mencapai miliaran dollar AS.

Kerugian itu belum termaksud kerugian besar yang diderita perusahaan penyedia kredit kepemilikan rumah terbesar di AS, Fannie Mae dan Freddie Mac.

Intervensi yang dilakukan bank sentral AS, The Federal Reserve, tidak banyak membantu. Padahal, The Fed telah berkali-kali memangkas suku bunga dan menyuntikkan dana hingga ratusan miliar dollar AS ke sejumlah perusahaan bermasalah.

Krisis yang semakin meluas ditambah dengan meningkatnya jumlah pengangguran yang berdampak pada penurunan konsumsi mengakibatkan AS berada di ambang resesi.

Bayang-bayang pelemahan ekonomi global mulai muncul dan semakin kuat tatkala negara-negara di Eropa juga mengalami hal yang sama dengan AS.

Ketakutan itu cukup beralasan karena AS dan Eropa memiliki dan mengendalikan sekitar 50 persen transaksi ekonomi dunia, termasuk di pasar finansial. Rasa khawatir terhadap pelemahan ekonomi global semakin dalam ketika harga komoditas dunia terus melambung, sekalipun dalam sebulan terakhir menurun.

Dalam negeri

Di dalam negeri, kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) pada 24 Mei ikut memperkeruh suasana pasar saham. Tingkat inflasi pascakenaikan BBM yang mencapai dua digit (di atas 10 persen) mendapat reaksi negatif dari pelaku pasar.

Ketika harga komoditas minyak mentah dan minyak sawit (crude palm oil) sejak Agustus mulai turun, aksi jual saham tetap saja tinggi. Ini membuat banyak pihak tidak habis pikir. Seharusnya penurunan harga komoditas berdampak positif terhadap perekonomian secara umum, yang salah satunya direfleksikan oleh indeks saham.

Saat itu, beberapa kali IHSG anjlok di tengah indeks bursa- bursa regional dan global justru sedang rebound (meningkat).

”Aneh, harga minyak naik, IHSG turun. Harga minyak turun, IHSG turun juga. Maunya apa sih,” kata Alex Marco, pelaku pasar modal, dengan nada geram.

Tekanan yang dialami IHSG sedikit banyak dipengaruhi langkah investor mengalihkan portofolionya, dari saham ke investasi pendapatan tetap akibat meningkatnya tingkat ketidakpastian di pasar saham.

Aksi mengubah portofolio itu semakin marak dilakukan karena suku bunga perbankan dan kupon obligasi cenderung meningkat.

Lehman

Belum usai mencerna dengan tuntas apa yang sebenarnya terjadi, bursa global sudah kembali diguncang dengan bangkrutnya Lehman Brothers.

Kebangkrutan perusahaan sekuritas terbesar keempat di AS itu serta-merta menimbulkan sentimen negatif. Pelaku pasar pun panik dengan melepas portofolio yang diperkirakan dimiliki oleh Lehman Brothers. Bursa global pun kembali terpukul.

”Saat Lehman Brothers dilikuidasi, portofolionya akan anjlok. Makanya investor berlomba mencari tahu portofolio apa saja yang dimiliki Lehman agar bisa cepat melepasnya,” kata Kepala Riset Recapital Poltak Hotradero.

Pengamat pasar modal, Yanuar Rizky, menerangkan, kebangkrutan sejumlah perusahaan investasi dan keuangan di AS memaksa para manajer investasi di negara itu menarik portofolionya dari berbagai negara. Kebijakan yang didukung oleh Pemerintah AS itu untuk memperkuat pasar modal AS, dengan memindahkan modal ke sejumlah bursa di negara itu.

Dana hasil penjualan saham di berbagai negara, lanjut Yanuar, digunakan untuk membeli mata uang dollar AS. ”Karena itu, mengapa setelah indeks bursa negara berkembang turun, nilai tukar mata uang di masing-masing bursa itu melemah dan dollar AS menguat,” tutur Yanuar.

Pengamat pasar modal, Robert JS Nayoan, memperkirakan, kemelut di bursa global, termasuk Indonesia, masih akan berlangsung sampai batas waktu yang sulit ditentukan.

Apalagi, menurut Robert, runtuhnya Lehman Brothers bukan akhir, tetapi baru awal dari kehancuran ekonomi AS.

Dalam kondisi seperti ini, saran dari Warren Buffett, investor besar yang saat ini menjadi orang terkaya di dunia, mungkin perlu diperhatikan. Dalam sejumlah kesempatan, Buffett mengatakan, ”Selalu gunakan akal pikiran Anda. Sadarilah, bertindak berdasarkan emosi akan membunuh portofolio Anda.”


Reinhard NainggolaN

Dapatkan artikel ini di URL:
http://entertainment.kompas.com/read/xml/2008/09/17/01003024/ihsg.dan.bayang-bayang.kemelut.bursa.global

No comments:

Rafael V. Mariano, chairperson of the Peasant Movement of the Philippines, 2000

Food has long been a political tool in US foreign policy. Twenty-five years ago USDA Secretary Earl Butz told the 1974 World Food Conference in Rome that food was a weapon, calling it 'one of the principal tools in our negotiating kit.' As far back as 1957 US Vice-President Hubert Humphrey told a US audience, "If you are looking for a way to get people to lean on you and to be dependent on you in terms of their cooperation with you, it seems to me that food dependence would be terrific."