Sunday, March 2, 2008

KORPORASI

Banyak usaha dalam masyarakat dapat dijadikan “korporasi” karena definisinya berbunyi sebagai berikut: an association of individuals united for a common purpose and acting in a common name. Jadi, asalkan usaha itu melibatkan banyak orang dengan memakai satu nama, dia dapat dikatakan sudah incorporated. Sebuah korporasi bisa memiliki harta mengadakan kontrak, mengajukan tuntutan ke muka pengadilan dan sebaliknya dituntut. Umur koporasi memang bisa terbatas, tetapi dia bisa tidak dibatasi oleh kehidupan para anggotanya atau pendirinya.

Usaha berupa “bisnis” sudah barang tentu memerlukan status korporasi. Ini penting untuk hubungannya dengan negara, dengan para nasabah, dan juga dengan masyarakat luas. Sejak zaman Romawi bentuk korporasi sudah dikenal, dan menjadi sebuah kebiasaan untuk usaha yang ingin menghimpun dana dalam jumlah besar. VOC yang merambah wilayah Nusantara (belum Indonesia!) adalah salah satu korporasi bisnis dari Belanda yang ada sejak abad ke-17. Jumlah korporasi di Eropa meningkat tajam – baik yang diakui oleh negara, maupun yang tidak – pada abad ke-19.

Tentu saja muncul berbagai macam masalah sehubungan dengan perilaku tidak patut dari korporasi bisnis ini. Di Inggris, misalnya, akibat ulah South Sea Company, 1720 diterbitkan “Bubble Act” yang melarang korporasi bisnis. Perlu 100 tahun (1825) sampai Kerajaan Inggris mencabut undang-undang itu. Perilaku South Sea Company yang dikecam adalah menipu nasabah. Harga saham dinaikkan terlalu tinggi, padahal harga sebenarnya tidak setinggi itu, atau malah jauh lebih rendah. Pada abad ke-20 kejadian serupa terjadi lagi di Amerika Serikat dalam kasus yang menggemparkan dunia, yaitu kasus “Enron.”

Korporasi ditengarai oleh banyak pengamat, terutama oleh Karl Marx, menjalankan penindasan terhadap buruhnya. Pada puncak “Revolusi Industri” di Inggris pada abad ke-19, korporasi mempekerjakan buruhnya dengan cara memeras tenaga mereka: waktu kerja yang panjang, tempat kerja yang buruk, dan tentu saja gaji yang amat kecil. Tapi, apa kata pembelaan dari para pengusaha itu? Mereka mengatakan bahwa mereka telah “membeli” tenaga kerja mereka dengan sah, sehingga tenaga buruh-buruh itu sudah menjadi private property mereka. Sesuai isi dari kata ini, mereka berhak memakainya sesuai dengan kebutuhan (lihat, posting sebelum ini tentang “hak milik pribadi”). Di sini kritik Karl Marx tidak bisa diabaikan begitu saja, bahwa konsep hak milik pribadi itu anti-sosial.

M & A (merger and acquisition) adalah bahaya lain yang tidak kalah menakutkan, dan ini bisa menimpa masyarakat luas. Lewat tindakan ini sebuah korporasi (untuk seterusnya, selalu berarti korporasi bisnis) mencaplok korporasi lain, sehingga dengan demikian tidak ada lagi banyak korporasi, tetapi hanya tinggal “beberapa” saja. Dari beberapa korporasi dapat muncul monopoli ataupun oligopoli. Kedua aksi ini sangat merugikan konsumen karena monopoli dan oligopoli berarti menghilangkan persaingan, berarti mengendalikan harga. Konsumen harus membayar mahal sekali untuk produk yang sebenarnya murah. Gelombang M&A ini bertambah kuat antara 1897-1903 di Eropa, dan ini sejajar dengan yang terjadi pada tahun 1990-an di Amerika Serikat. Dunia pada saat ini sebenarnya telah dikuasai oleh segelintir MNC yang memegang monopoli pada bidangnya masing-masing (lihat: Global Inc. An Atlas of the Multinational Corporation, oleh Medard Gabel dan Henry Bruner, 2003).

Negara (terdiri dari presiden, perdana menteri, parlemen, jaksa, hakim, polisi dan aparat negara lainnya) semestinya memainkan peran arbiter atau wasit yang akan menghukum korporasi jahat, namun korporasi lebih pintar. Mereka mencari cara-cara untuk mempengaruhi negara. Salah satu cara yang paling umum adalah “menyogok” pejabat negara agar tidak menghukum, atau membuat undang-undang yang memihak kepentingannya. Negara juga cenderung untuk “setuju” dengan korporasi karena negara membutuhkan uang dari pajak korporasi, bahkan juga uang sogok itu sendiri.

Dalam zaman globalisasi korporasi nasional telah menjelma menjadi korporasi global yang disebut “multinational corporations” (MNC) atau “transnational corporations” (TNC). Korporasi jenis ini sudah mencapai ukuran yang sangat mencengangkan, sering memiliki kegiatan ekonomi yang lebih besar daripada sebuah negara. Dalam status seperti inilah korporasi (MNC) kini tidak lagi ada “di bawah” negara, tetapi duduk sejajar dengan, bahkan “di atas” negara. Dalam konferensi tahunan di Davos, Swiss, bertemulah para pemimpin negara dengan pemimpin bisnis (Chief Executive Officer – CEO), suatu hal yang dianggap biasa pada zaman sekarang, tetapi sebenarnya suatu hal yang luar biasa.

Perilaku MNC tidaklah berubah dari zaman sebelum ada MNC. Menipu nasabah, memeras buruh, mencaplok perusahaan lain, menggalang monopoli, menyogok pejabat negara. Kedigdayaan MNC pada saat ini menjadi lebih dahsyat karena MNC mampu mem-blackmail negara yaitu dengan ancaman akan angkat kaki ke negara lain (istilahnya: relokasi). Negara pada zaman globalisasi (terutama negara miskin) sering tidak punya pilihan lain kecuali takluk kepada MNC, lebih banyak menuruti daripada mengatur perilaku MNC. Menurut Charles Lindblom, mereka ini bahkan telah menghancurkan asas pasar bebas dan asas demokrasi, juga di negara yang paling pro-pasar dan paling demokratis (Amerika Serikat). Pada akhirnya, banyak kebijakan negara yang disusun untuk memuaskan kepentingan MNC. Benarlah apa yang dikatakan oleh Karl Marx lebih dari 100 tahun yang lalu, bahwa negara tak lebih dari “panitya eksekutif” dari para borjuasi.

Kalau negara tidak, siapa yang bisa mengendalikan perilaku MNC? Ini sebuah pertanyaan abadi yang sampai hari ini tidak ada jawaban. Presiden Roosevelt dari Amerika Serikat pada tahun 1930-an pernah berhasil menghentikan kegiatan bobrok ini, tapi dengan akibat ancaman kudeta oleh pengusaha! Titik masalahnya ada pada teori manajemen Anglo-Saxon, yang memisahkan ownership (kepemilikan) dan control (pengendalian). Secara teoretis, pemilik korporasi adalah para pemegang saham, mereka ini menjalankan pengawasan. Tetapi orang-orang ini tersebar-sebar di tempat luas (global!) sulit sekali untuk bertemu. Kecuali itu, para pemegang saham pada dasarnya punya self-interest, hanya peduli bahwa harga sahamnya terus naik.

Alhasil, seluruh kegiatan perusahaan ada di tangan si manajer atau CEO, pemegang control dalam perusahaan. Dia ini de facto penguasa tertinggi dan tunggal sebuah korporasi, dengan kekuasaan yang nyaris tanpa batas. Di kepalanya hanya ada satu kata: profit. Entah profit untuk pemegang saham, entah untuk dirinya sendiri! Caranya, terserah.

Kritik kontemporer terhadap praktik korporasi sudah banyak dilontarkan. Misalnya, Joel Balkan dengan bukunya Corporation, juga Joseph Stiglitz dengan bukunya, The Roaring Nineties. Akhir-akhir ini korporasi berusaha untuk menanggapi kritik ini dengan memperkenalkan konsep Corporate Social Responsibility (CSR), tetapi tetap saja ditertawakan sebagai akal-akalan pinter mereka.

No comments:

Rafael V. Mariano, chairperson of the Peasant Movement of the Philippines, 2000

Food has long been a political tool in US foreign policy. Twenty-five years ago USDA Secretary Earl Butz told the 1974 World Food Conference in Rome that food was a weapon, calling it 'one of the principal tools in our negotiating kit.' As far back as 1957 US Vice-President Hubert Humphrey told a US audience, "If you are looking for a way to get people to lean on you and to be dependent on you in terms of their cooperation with you, it seems to me that food dependence would be terrific."