Wednesday, March 19, 2008

Studi kasus: Gonjang-ganjing di Amerika saat ini

Kompas, 29 Februari, 2008


516 Triliun Dollar AS Kekuatan Perusak


Paul B Farrel, analis pasar AS, di situs MarketWatch edisi 25 Februari memberi peringatan. Ada sekitar 516 triliun dollar AS dana-dana investasi, yang menjadi kekuatan perusak ekonomi. Persisnya ia menyebutnya sebagai toxic derivatives, transaksi di sektor keuangan yang menjadi fasilitas investasi untuk mengembangbiakkan dana-dana orang berpunya.

Dana-dana ini begitu besar, dibandingkan dengan total produk domestik bruto (PDB) dunia yang hanya 48 triliun dollar AS. Dana-dana ini tidak lagi semata-mata dikelola dalam jenis investasi berjangka panjang. Juga tak lagi dana-dana itu dikelola dengan mengindahkan kaidah-kaidah risiko investasi. Dana-dana ini memasuki pasar, yang memberi fasilitas investasi mirip perjudian. Misalnya, banyak bursa saham di dunia yang memasang taruhan soal naik turunnya indeks saham alias bukan lagi terbatas pada naik turunnya saham sebuah perusahaan.

Mereka terkadang bermain di composite index, indeks harga saham gabungan. Jangka waktu permainan bisa dalam hitungan detik, tak lagi menit.

Dana-dana yang dikelola para manajer dana investasi ini memasuki pasar yang dianggap bisa "dimainkan" untuk meraup untung besar dalam waktu cepat, lalu keluar dari pasar setelah untung. Investor-investor yang naif akan menjadi sasaran empuk.

Selama ini dana-dana tersebut bermain di kisaran saham, obligasi, dan valuta asing, seperti dollar AS dan mata uang kuat dunia lainnya. Mengapa dana-dana ini oleh Farrel disebut sebagai toxic derivatives? Berbagai kantor berita terkadang memberi julukan pada investor itu
sebagai bloodied investors. Alasannya, mereka bisa menaikkan atau menurunkan saham, yang menyebabkan kerugian besar bagi pihak lain, yang bahkan disebut sebagai kerugian berdarah-darah karena magnitude-nya begitu luar biasa.

Bahkan, investor itu yang disebut bloodied itu juga bisa mandi darah. Artinya, ia bisa rugi besar dan bangkrut, seperti dekade 1990-an, yang dialami Long Term Capital Management (AS). Jika masih bisa bergerak, bloodied investor ini makin mengamuk dan menggasak seperti banteng menyeruduk (raging bull), istilah yang dipakai Phil Flynn, analis dari perusahaan Alaron Trading (Chicago, AS), di situs Forbes.

Buktinya sudah banyak. Bank sekaliber UBS (Swiss) pun sudah berdarah-darah dengan kerugian sekitar 12 miliar dollar AS. Setidaknya sudah ada kerugian 100 miliar dollar AS yang dialami lembaga keuangan internasional.

Konsumen dikorbankan

Permainan belum berakhir dan gejolak belum akan berhenti. Kini taruhannya bukan lagi semata-mata para investor termakan investor. Atau istilahnya, fenomena yang akan terjadi ke depan bukan lagi para investor saling memakan.

Hideki Amikura, manajer valuta asing dari Nomura Trust and Banking, Tokyo, mengatakan, kini investor sedang jengkel dengan dollar AS, obligasi, dan harga-harga saham, yang menjadi mainan mereka.

Para investor kini memasuki komoditas, yang permainannya sudah disediakan pula di bursa, seperti bursa logam London (London), bursa komoditas Chicago, dan di belahan dunia lainnya.

Bukti sudah ada. Harga minyak dan gas terus meroket. Harga gandum sudah mencapai rekor, demikian pula kedelai atau tanaman biji-bijian. Demikian pula emas telah mencapai rekor baru.

"Komoditas juga kini jadi safe haven," kata Farrel. Investor ingin mengamankan investasinya dari kemerosotan dollar AS, kemerosotan harga saham dan obligasi dengan memburu komoditas.

Taruhannya adalah konsumen. "Harga gas yang naik telah merogoh kantong konsumen," demikian dikatakan harian New York Times edisi Kamis (28/2).

Konsumen di Indonesia pun sudah menjadi korban berupa kenaikan harga-harga pangan, termasuk harga tempe, yang terbuat dari kedelai.

Bagaimana menghentikan ini semua? Guru investor obligasi dunia asal AS, Bill Gross, mengatakan, ini semua akibat leluasanya para manajer dana investasi melakukan aktivitasnya. Regulasi pasar tak ada sehingga tak membatasi aksi-aksi mereka, yang terbukti sudah melahirkan gejolak besar.

Inilah juga yang disuarakan Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) di pengujung tahun 2007. Peringatan serupa juga sudah disampaikan The Bank for International Settlements (BIS) dan juga sudah diingatkan delegasi Jerman pada pertemuan G-7 di Tokyo awal tahun ini.

Namun, Gubernur Bank Sentral AS Ben Bernanke dan Menkeu AS Henry Paulson menganggap sepi semua itu. "Mereka pembohong," kata Farrel.

Bagaimana Indonesia? Jika tak menjaga ketahanan pangan, konsumen akan membayar harga mahal sebagaimana rakyat sudah terbebani dengan kenaikan harga BBM dan listrik yang byar pet. (MON)

http://www.kompas.co.id/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.02.29.0048145&channel=2&mn=157&idx=157

No comments:

Rafael V. Mariano, chairperson of the Peasant Movement of the Philippines, 2000

Food has long been a political tool in US foreign policy. Twenty-five years ago USDA Secretary Earl Butz told the 1974 World Food Conference in Rome that food was a weapon, calling it 'one of the principal tools in our negotiating kit.' As far back as 1957 US Vice-President Hubert Humphrey told a US audience, "If you are looking for a way to get people to lean on you and to be dependent on you in terms of their cooperation with you, it seems to me that food dependence would be terrific."