Saturday, September 19, 2009

Proteksionisme Marak

Hampir Semua Negara G-20 Melanggar Kesepakatan

Kompas, Sabtu, 19 September 2009

WASHINGTON, Kamis - Para pemimpin 20 negara perekonomian terbesar di dunia telah bertekad melawan proteksionisme akhir November lalu. Pada April lalu, tekad tersebut juga diulangi. Kenyataannya, di sebagian dari negara itu praktik proteksionisme makin marak.

Selain itu, perselisihan perdagangan pun masih tetap marak. Laporan dari Global Trade Alert, sebuah organisasi perdagangan yang terkait dengan Bank Dunia, secara terpisah mengatakan, lebih dari 100 langkah diskriminasi perdagangan dilakukan oleh negara-negara G-20.

Heather Conley, peneliti di Center for Strategic and International Studies (CSIS), AS, mengatakan keadaan makin memanas. Perselisihan dagang antara AS dan China mengenai ban dan ayam asal China merupakan contoh paling baru. AS mengenakan hambatan tarif baru terhadap dua produk China itu.

Hampir semua anggota Kelompok 20 (G-20) yang akan bertemu di Pittsburgh, AS, pekan depan telah melanggar. Mereka mengingkari kesepakatan mengenai melawan proteksionisme yang dibuat sebelumnya di Washington dan London.

Setiap negara memiliki kepentingan untuk bangkit dari resesi. Tekanan untuk bekerja sama tampaknya akan melemah karena ketidaksabaran menunggu pemulihan ekonomi.

Kepentingan nasional merupakan salah satu agenda pokok. Hal itu termasuk keinginan untuk melindungi industri domestik dari serbuan produk asing.

Beberapa pemerintahan sedang menimbang-nimbang kapan mereka dapat meluncurkan stimulus lagi seperti peningkatan anggaran pemerintah yang lebih besar serta pengenaan tingkat suku bunga rendah. Untuk menghindari stimulus, pemerintahan ingin menggenjot pembelian produksi domestik, dengan melakukan proteksionisme terselubung. Padahal di sisi lain, proteksionisme malah memperlambat pemulihan ekonomi global.

Melunak

Dari Brussells, markas Komisi Uni Eropa, dilaporkan, Perancis siap menerima kesepakatan G-20 tentang bonus yang tidak akan dibatasi secara langsung. Namun, ditekankan akan ada langkah-langkah yang bertujuan membatasi pemberian bonus.

Presiden Perancis Nicolas Sarkozy melunakkan pandangan soal itu. Sebelumnya dia mengancam akan meninggalkan pertemuan G-20 jika tidak ada pembatasan bonus yang jelas. Dia menuntut itu agar dituangkan dalam deklarasi G-20.

Sarkozy mengatakan, pembatasan bonus itu merupakan hal penting bagi upaya reformasi yang tengah dilakukan Presiden AS Barack Obama mengenai sistem bonus.

”Poin yang akan menjadi kendala adalah soal pembatasan bonus. Namun, hal itu bukan menjadi masalah dalam posisi Eropa sepanjang kami memiliki kesepakatan pasti soal masalah lain, seperti penalti terhadap bonus, bonus yang dibagi berulang kali, transparansi atas kinerja perusahaan, dan tingkat permodalan perusahaan,” ujar Sarkozy.

Obama menolak ide pembatasan bonus pada tingkat individu. Presiden AS lebih suka menggunakan seperangkat aturan untuk membatasi bonus yang dibagikan berlebihan dan tidak sesuai kinerja perusahaan. Presiden AS mengusulkan sistem pengawasan, yang membuat perusahaan tak mengobral bonus untuk para eksekutif yang tidak produktif. (Reuters/AP/joe)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/19/04293481/proteksionisme.marak

No comments:

Rafael V. Mariano, chairperson of the Peasant Movement of the Philippines, 2000

Food has long been a political tool in US foreign policy. Twenty-five years ago USDA Secretary Earl Butz told the 1974 World Food Conference in Rome that food was a weapon, calling it 'one of the principal tools in our negotiating kit.' As far back as 1957 US Vice-President Hubert Humphrey told a US audience, "If you are looking for a way to get people to lean on you and to be dependent on you in terms of their cooperation with you, it seems to me that food dependence would be terrific."