Tuesday, September 1, 2009

Jumlah Personel TNI AD di Freeport Akan Ditambah

Kompas, Selasa, 1 September 2009 | 04:33 WIB

Makassar, Kompas - Jumlah prajurit TNI Angkatan Darat yang dilibatkan dalam operasi pemulihan keamanan PT Freeport Indonesia di Timika, Papua, rencananya akan ditambah menjadi sekitar 600 orang. Selain itu, satuan pasukan juga akan dipisahkan untuk mengefektifkan kinerja TNI dan Polri dalam memulihkan keamanan di perusahaan tambang emas dan tembaga tersebut. Namun, seluruh operasi keamanan tetap dikendalikan Kepolisian Daerah Papua.

Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah (Polda) Papua Komisaris Besar Agus Rianto ketika dihubungi di Timika, ibu kota Kabupaten Mimika, mengungkapkan hal itu, Senin (31/8). Menurut dia, operasi gabungan TNI dan polisi akan berlangsung sampai November 2009.

”Memang ada permintaan dari kami agar jumlah prajurit TNI yang dilibatkan dalam operasi pemulihan keamanan di areal PT Freeport Indonesia (FI) ditambah menjadi sekitar 600 orang. Hal itu sesuai dengan pembicaraan antara Kepala Polda Papua dan Panglima Kodam XVII/Cenderawasih,” kata Agus.

Penambahan prajurit TNI itu, lanjut Agus, terkait dengan perubahan struktur organisasi Satuan Tugas Amole Timika II yang melaksanakan operasi pemulihan keamanan di areal PT FI. ”Pergantian Satuan Tugas Amole Timika II akan efektif berlaku 1 September. Personel yang terlibat sekitar 1.300 orang, termasuk 600 prajurit TNI. Selebihnya polisi,” kata Agus.

Secara terpisah, Kepala Penerangan Kodam XVII/Cenderawasih Letkol Susilo menyatakan, pihaknya akan menyiapkan tambahan prajurit TNI AD yang dibutuhkan. ”Kemungkinan akan diambilkan dari lingkungan Kodam Cenderawasih,” ujarnya

Terkait penambahan pasukan TNI AD itu, di Jakarta, Poengki Indarti dari Imparsial—lembaga swadaya masyarakat yang berkiprah di bidang hak asasi manusia—berpendapat, pengamanan PT FI sepatutnya diserahkan kepada polisi saja. Ia khawatir, jika TNI terus dilibatkan dalam pengamanan wilayah tersebut, hal itu akan berdampak buruk pada proses penegakan hak asasi manusia di sana (ROW/JOS)

No comments:

Rafael V. Mariano, chairperson of the Peasant Movement of the Philippines, 2000

Food has long been a political tool in US foreign policy. Twenty-five years ago USDA Secretary Earl Butz told the 1974 World Food Conference in Rome that food was a weapon, calling it 'one of the principal tools in our negotiating kit.' As far back as 1957 US Vice-President Hubert Humphrey told a US audience, "If you are looking for a way to get people to lean on you and to be dependent on you in terms of their cooperation with you, it seems to me that food dependence would be terrific."