Thursday, July 24, 2008

Para Peserta Putaran Doha Frustrasi


Kompas, 25 Juli 2008

Geneva, Kamis - Rasa frustrasi semakin merebak di kalangan delegasi yang sedang mengikuti Putaran Doha. Swiss merupakan satu dari negara yang memprotes pertemuan yang ”diatur” negara kuat.

”Sejumlah delegasi mengemukakan rasa prihatin dan frustrasi karena format pertemuan yang hanya dihadiri kelompok kecil,” ujar Keith Rockwell, juru bicara Sekjen Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) Pascal Lamy, di Geneva, Kamis (24/7).

Dia mengatakan, delapan delegasi mengeluh sepanjang pertemuan. Sumber diplomatik menyebutkan, Indonesia, Mauritius, Argentina, Kenya, Turki, Mesir, Taiwan, dan Swiss kurang senang dengan perkembangan yang ada.

Pertemuan para menteri perdagangan anggota WTO itu berkembang lambat. Lamy lalu memecah pertemuan dari 35 negara dalam beberapa kelompok kecil.

Para menteri dari kekuatan utama WTO, seperti AS, Uni Eropa, Jepang, India, Brasil, Australia, dan China, membentuk kelompok yang disebut G-6 + 1. Di dalam kelompok ini masih tidak ada kesepakatan hingga pertemuan berakhir Kamis pagi.

Menteri Perekonomian Swiss Doris Leuthard mengkritik. ”Kalian menempatkan banyak sekali menteri di ruang tunggu, yang membuat masalah politik di negara saya karena saya tak dapat sepenuhnya membela kepentingan Swiss dan banyak kepentingan negara G-10 yang berada pada situasi yang sama,” ujarnya.

G-10, termasuk Jepang, adalah sepuluh negara dalam kelompok negara maju pengimpor neto berbagai macam produk pertanian dari negara berkembang.

Paling sulit

Ketua Komisi Perdagangan Uni Eropa Peter Mandelson dalam blog-nya menulis, pertemuan di antara ketujuh pihak utama di WTO itu termasuk yang paling sukar dan paling penuh konfrontasi. Mandelson yang sudah menjadi Ketua Komisi empat tahun terakhir menggambarkan pertemuan selama 12 jam itu panas. ”Kami akhirnya mengemukakan isu sensitif. Semua orang mengetahuinya dan suasana di Green Room memanas,” tulisnya.

Menteri Perdagangan RI Mari Elka Pangestu juga mengatakan tentang sulitnya mengambil kata sepakat. ”Amerika Serikat menganggap special products dan special safeguard mechanism yang diajukan G-33 itu terlalu besar pengecualiannya. G-33 serta Indonesia merasa tudingan itu tidak adil,” kata Mari Pangestu, Koordinator Kelompok G-33.

Tiap anggota G-33 menentukan produk khusus yang diperlakukan berbeda dalam liberalisasi perdagangan. Produk khusus ditentukan dengan kriteria ketahanan pangan, keberlanjutan penghidupan, dan pembangunan pedesaan. Bagi Indonesia, salah satu produk khusus ialah beras.

Kelompok negara seperti AS, Uni Eropa, Jepang, China, Brasil, India, dan Australia bertemu lagi Kamis sore. Agenda pembicaraan merupakan isu hangat, yaitu penurunan tarif sektor manufaktur dan penurunan subsidi pertanian. Masalah serupa itu tidak kunjung selesai dibahas tujuh tahun terakhir, sejak Putaran Doha dimulai tahun 2001. Ini menyebarkan rasa skeptis atas pertemuan ini. (Reuters/AP/AFP/day/joe)


day;joe

Dapatkan artikel ini di URL:
http://entertainment.kompas.com/read/xml/2008/07/25/00584135/para.peserta.putaran.doha.frustrasi

No comments:

Rafael V. Mariano, chairperson of the Peasant Movement of the Philippines, 2000

Food has long been a political tool in US foreign policy. Twenty-five years ago USDA Secretary Earl Butz told the 1974 World Food Conference in Rome that food was a weapon, calling it 'one of the principal tools in our negotiating kit.' As far back as 1957 US Vice-President Hubert Humphrey told a US audience, "If you are looking for a way to get people to lean on you and to be dependent on you in terms of their cooperation with you, it seems to me that food dependence would be terrific."