Tuesday, April 1, 2008

RACE TO THE BOTTOM

Benny Juliawan, SJ

Kandidat doktor, Oxford University


Tulisan ini hendak mengulas hanya salah satu sisi saja dari dampak globalisasi yaitu gejala yang sering disebut sebagai race to the bottom. Gejala ini menunjuk pada perlombaan di antara negara-negara berkembang untuk membatalkan berbagai peraturan yang bersifat protektif demi memperebutkan investasi asing. Mereka mengambil keputusan ini setelah berhasil diyakinkan mengenai keunggulan-keunggulan ekonomi pasar yang terbuka. Dalam jargon pembangunan di Indonesia, gejala ini kerap diwakili oleh istilah ‘penciptaan iklim investasi yang kondusif’.

Negara-negara berkembang berlomba-lomba berpartisipasi dalam pusaran pasar dunia. Caranya mereka menggenjot industri dalam negeri untuk ekspor sambil berusaha menarik investasi asing supaya menanamkan modalnya, membawa teknologi dan dana yang sangat dibutuhkan negara berkembang. Berbagai paket kebijakan ekonomi diciptakan demi ‘menciptakan iklim investasi yang kondusif’. Bentuknya biasanya berupa pengurangan atau penghapusan pajak ekspor, pembebasan bea impor untuk barang modal yang nanti dipakai untuk produksi ekspor, keringanan pajak bumi dan bangunan, kemudahan perijinan, penurunan atau penghapusan standar pengolahan limbah, dan kemudahan merekrut dan memecat buruh.

Masalahnya, industri di negara-negara berkembang didominasi oleh sektor manufaktur yang berteknologi rendah seperti tekstil, garmen, dan sepatu. Karena kemudahan teknologi dan modal pasar dunia untuk sektor ini telah disesaki oleh pemain-pemain besar yang memproduksi barang-barang yang nyaris seragam. Tengoklah toko-toko pakaian dan sepatu, maka akan kita dapati barang-barang buatan Cina, Vietnam, Kamboja, India, Mesir selain Indonesia. Di mana-mana di dunia hampir pasti label barang yang kita beli dibuat di negara-negara tersebut. Negara-negara lain yang baru saja mengakhiri perang biasanya juga tertarik untuk masuk ke pasar yang sudah sesak ini.

Maka, modal asing tinggal memilih negara mana yang menawarkan paket paling kompetitif. Terjadi persaingan di antara negara-negara berkembang dan mereka dengan sendirinya terjerumus dalam perlombaan menurunkan dan mengurangi segala macam hambatan terhadap investor asing seperti yang disebutkan di atas. Makin lama makin tidak ada hambatan. Pada akhirnya situasi perusahaan di negara berkembang itu akan terjerembab pada lantai yang paling dasar (bottom). Segala sesuatu menjadi "sangat murah" sedemikian murah sehingga merugikan negara dan masyarakat, terutama buruh.

Race to the bottom menjadi gambaran bagaimana kebijakan pembangunan negara-negara berkembang didikte oleh modal asing yang melanglang buana mencari peluang investasi paling menguntungkan. Negara secara langsung maupun tidak langsung ditekan supaya melonggarkan pembatasan terhadap lalu lintas barang, jasa dan modal yang melintasi wilayah kedaulatannya.

Apakah tidak ada alternatif? Race to the bottom memang bukan satu-satunya cerita. Beberapa negara berkembang sukses menerapkan strategi yang sering disebut high road. Demi menarik investasi asing, negara menaikkan daya kompetisinya dengan cara meningkatkan keterampilan tenaga kerja, berinvestasi besar-besaran di bidang infrastruktur, menyisihkan anggaran untuk riset dan pengembangan serta membangun relasi industri yang stabil.

Selain itu, masih ada peluang-peluang lain yang bisa dimanfaatkan oleh negara berkembang untuk keluar dari jerat race to the bottom itu. Kebijakan menarik investasi asing itu pada umumnya hanya mempengaruhi kebijakan di tingkat makro. Sekalipun sudah semakin sempit, namun sebenarnya masih ada ruang untuk bermanuver di tingkat makro ini seperti yang ditunjukkan Cina lewat kebijakan menetapkan atau pegging kurs mata uangnya terhadap dollar Amerika. Negara juga masih bisa menggunakan kebijakan ekonomi mikro untuk menyiasati kuatnya tekanan modal asing. Kebijakan sektoral perindustrian, teknologi dan kebijakan perburuhan sangat mungkin untuk digunakan.

Soalnya, seringkali bagi negara berkembang hal ini bukan lagi masalah pilihan, mau race to the bottom atau menempuh high road. Negara-negara ini telanjur terjerat utang yang mengandung syarat supaya menempuh liberalisasi, deregulasi dan privatisasi. Investasi di bidang tenaga kerja dan infrastruktur membutuhkan biaya yang sangat banyak sementara tangan negara telanjur terikat untuk membayar utang dan dilarang turun langsung di bidang ekonomi. Lagipula, penentu kebijakan publik sudah ditawan oleh koalisi para pemodal atau mobile capitalists (Andrew Rosser, 2002) yang bisnisnya sangat tergantung pada kelancaran arus modal asing. Merumuskan kebijakan publik yang memihak ekonomi nasional bukan hanya masalah teknis. Terlalu banyak kepentingan yang ikut menentukan prosesnya dan kebijakan negara telah kehilangan ciri publiknya.

Baiklah diingatkan di sini bahwa negara-negara berkembang sekarang juga tidak berkutik karena alasan lain. Pemerintah-pemerintah negara maju sudah lama mengkampanyekan keunggulan ekonomi pasar yang liberal. Kampanye ideologis ini menuntun arah dan membentuk bangunan ekonomi global seperti yang kita lihat sekarang ini.

Kampanye mereka pada dasarnya berisi ajakan dan dorongan bahkan paksaan untuk mengubah kebijakan ekonomi nasional ke tiga arah utama ini: 1) mengurangi intervensi langsung negara di bidang ekonomi; 2) mengubah orientasi industri dari ISI (import substitution industrialisation) yang berciri swasembada ke EOI (export-oriented industrialisation) yang ditentukan oleh pasar dunia; 3) membuat deregulasi, liberalisasi dan privatisasi. Intinya ketiga resep ini dituntun oleh gagasan ekonomi neoklasik yang mendewakan peran pasar baik sebagai mekanisme distribusi sumberdaya maupun sebagai pengatur masyarakat. Ekonomi pasar yang liberal seluas dunia akan memungkinkan lalu lintas barang, jasa dan modal yang bebas lintas batas negara. Hal ini pada gilirannya akan meningkatkan efisiensi distribusi barang dan jasa secara global. Gencarnya kampanye negara-negara maju selama beberapa dekade terakhir ini berhasil menyeragamkan kebijakan ekonomi banyak negara dan telah menciptakan kesan bahwa inilah model ekonomi (dan politik) satu-satunya yang masuk akal.

Jadi, negara lemah, investor berjaya, masyarakat pun tak berdaya!

2 comments:

Dimas Danang A.W. said...

Negara bangsa (nation state): di ambang batas kematiannya ?

a. Situasi global : perlunya redefinisi dan reposisi peran negara

Pada awalnya, kapitalisme adalah mata rantai yang tak mungkin dilepaskan dari negara-bangsa (nation-state). Kapitalisme semula muncul dalam bentuk pasar-pasar nasional, berdasarkan teritori nasional dan mengandalkan dukungan negara. Dalam era globalisasi saat ini, situasi itu berubah. Gerak globalisasi yang lebih didorong oleh kekuatan perusahaan multinasional menjadikan pemerintahan (negara maju sekalipun) hanyalah sebagai alat. Lewat MNCs, kapitalisme menjadi lepas dari ikatan nasionalnya : ekstra teritorial, stateless, tak punya akar. Negara bangsa cenderung secara politis dipandang tidak relevan lagi dan kedaulatan nasional hanyalah selongsong kosong. Ia tak punya lagi peran manajerial, terutama bidang ekonomi ada di luar kontrolnya. Ia hanya sekedar menjadi locus tindakan dan identitas politis dari kohesi sosial dan kepentingan umum. Di luar itu, ia hanya menguasai atribut kedaulatan formal.

Sebenarnya, negara mempunyai peran yang menentukan dalam penciptaan paradigma pasar bebas global. Negara, sebagai penjamin kohesi sosial, punya kemampuan mengkoordinasi kebijakan ekonomi, industri dan pekerja pada level nasional. Dalam hal ini kita perlu belajar pada pengalaman Uni Eropa. Meskipun di banyak belahan dunia, negara telah sungguh-sungguh kehilangan kontrol, fakta menetapkan bahwa negara-negara Eropa tidak hancur oleh utopia pasar bebas yang baru. Kekuasaan negara disebarkan kembali sesuai dengan logika globalisasi untuk mencapai unifikasi ekonomi. Perpindahan kedaulatan di UE –terutama dalam hal moneter dan kompetisi– bukanlah reduksi kedaulatan nasional. Di tengah situasi ekonomi politik internasional yang baru, negara-negara Eropa mencoba memulihkan kedaulatan nasional dengan mengandalkan kekuatan entitas regional yang lebih besar. Pemerintahan macam ini menyumbangkan secara penuh elaborasi dan implementasi hegemoni ekonomi politik baru. Mereka memilih berpartisipasi secara aktif dengan bertindak secara serentak pada tingkat nasional dan regional (Eropa) untuk mendefinisikan lagi aturan-aturan sesuai dengan dogma dan praktik global saat ini. Ketika peran negara bisa didefinisikan kembali, kekuasaan negara tidak melemah secara otomatis.
Berbeda halnya dengan negara-negara dunia ketiga. Terperangkap dalam sistem global, negara-negara dunia ketiga kehilangan sisa-sisa terakhir kedaulatan mereka. Negara-negara “berkembang” tidak punya lebih dari pada otonomi terbatas. Kedaulatan formal mereka pun terbukti lebih teoretis dari pada kenyataan, terutama ketika berhadapan dengan kekuatan MNCs dan lembaga-lembaga keuangan Internasional.

b. Perlunya memperkuat kapasitas negara

Akar persoalan dari silang sengkarut permasalahan negara-negara berkembang, selain intervensi lembaga keuangan internasional dan MNCs, adalah terutama kelemahan tata kelola kenegaraan (governance). Institusi luar bisa dominan mempengaruhi negara karena lemahnya sistem pengelolaan negara ini. Untuk membenahi sistem pengelolaan ini, perlu disadari adanya perbedaan antara “cakupan” (scope) dan “kekuatan” (strength) negara. Ruang lingkup fungsi dan peran negara perlu dibedakan dari kapasitas institusi negara untuk menegakkan tata aturan. Kuat lemahnya suatu negara tidak dilihat dari seberapa luas peran dan fungsinya, melainkan dari kapasitas dan efektivitas institusinya [Yudi Latief, Kompas, Rabu, 22 November 2006].
Luasnya cakupan peran dan fungsi negara tidak selalu akan membuat institusinya makin kuat (berkapasitas) dan efektif. Misalnya, Indonesia. Institusi pemerintahan Indonesia memiliki cakupan peran dan fungsi yang sangat luas, sampai-sampai juga ikut campur urusan pakaian. Hal ini berbanding terbalik dengan lemahnya kapasitas (kekuatan) negara untuk menegakkan hukum dan kebijakan serta tidak efektifnya institusi pemerintahan yang gemuk. Negara makin tak berdaya untuk menjalankan kebijakannya serta membiayai aktivitasnya. Penciutan lingkup keterlibatan negara juga tidak otomatis akan membuat tata kelola kenegaraan menjadi efektif. Misalnya, liberalisasi ekonomi lewat privatisasi dan pemberdayaan pasar. Tiadanya institusi pengawasan dan peradilan yang tepat dan kuat, liberalisasi ekonomi macam ini justru membawa Indonesia pada problema baru yang lebih pelik : disorganisasi sosial.
Tanpa dibarengi dengan peningkatan kapasitas negara dalam merencanakan dan mengeksekusi kebijakan serta menegakkan hukum secara tegas, bersih, dan transparan; penciutan lingkup negara justru bisa menghadirkan kekacauan yang lebih parah. Maka, yang pertama-tama sungguh diperlukan oleh negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, adalah memperkuat rule of law dan juga merampingkan scope fungsi dan peran negara secara tepat.

Unknown said...

Referensi akan pemahaman yang normatif tidak cukup untuk dijadikan bukti yang jelas untuk menunjukkan bahwa thesis “race to the bottom” diwakili dalam istilah “penciptaan iklim investasi yang kondusif”. Ada jurang teoritis (dan terlebih juga, fakta!) bagaimana kedua hal tersebut dapat dipahami sebagai hal yang paralel atau bahkan implementasi satu dari yang lain, seperti yang diimplikasikan dari artikel pendek ini.
Terlebih, “race to the bottom” adalah sebuah thesis, yang masih perlu banyak diuji.

Rafael V. Mariano, chairperson of the Peasant Movement of the Philippines, 2000

Food has long been a political tool in US foreign policy. Twenty-five years ago USDA Secretary Earl Butz told the 1974 World Food Conference in Rome that food was a weapon, calling it 'one of the principal tools in our negotiating kit.' As far back as 1957 US Vice-President Hubert Humphrey told a US audience, "If you are looking for a way to get people to lean on you and to be dependent on you in terms of their cooperation with you, it seems to me that food dependence would be terrific."