Monday, August 24, 2009

Mandiri, Berdikari, Merdeka!

Kompas, Senin, 24 Agustus 2009

Oleh Siswono Yudo Husodo

Sudah 64 tahun kita merdeka, suatu jembatan emas untuk mencapai bangsa yang antara lain ”berdiri di atas kaki sendiri (Berdikari)” dalam bidang ekonomi (menurut ajaran Bung Karno dalam Trisakti).

Namun, justru saat ini terasa tingkat ketergantungan kita pada barang-barang impor (yang sebenarnya dapat diproduksi sendiri) amat tinggi. Banyak potensi ekonomi yang sebenarnya mampu kita kelola sendiri diserahkan kepada asing. Memang, pada era globalisasi ini banyak pihak ingin menjadikan negeri ini sebagai pasar bagi produk dan jasa mereka.

Kita telah menjadi bangsa yang kurang percaya diri dengan tingkat ketergan- tungan yang amat tinggi, menjauh dari cita-cita membangun bangsa yang mandiri yang mengelola berbagai potensi ekonomi yang ada pada dirinya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kecenderungan dominasi asing dalam berbagai kegiatan ekonomi kian nyata dan porsi nasional kian menurun.

Sedikitnya ada 23 bank umum nasional dimiliki asing dengan penguasaan di atas 44,5 persen dari total saham yang agresif menggarap pasar hingga ke pedesaan dan menyebabkan menyusutnya pangsa pasar Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di sektor mikro, kecil, dan menengah atau MKM (Kompas, 19/8/2009). Dengan margin imbal hasil lebih besar dari segmen korporasi, bisnis MKM amat menggiurkan dan menjadi motif akuisisi bank lokal oleh investor asing. Banyak BPR gulung tikar.

Ini adalah potret kian terpinggirkannya pelaku usaha nasional sejak pemerintah dipaksa berbagai kekuatan internasional untuk meningkatkan liberalisasi, privatisasi, dan deregulasi.

Pasar pangan domestik sudah dibanjiri impor, mulai dari daging sapi (30 persen kebutuhan nasional), susu (90 persen), garam (60 persen), kedelai (70 persen), bawang putih hingga gula tebu (40 persen), dan buah-buahan. Sebenarnya, produk-produk itu dapat kita produksi sendiri dan menghemat devisa. Pedagang pasar tradisional di kota-kota besar sudah merasakan hebatnya dampak kehadiran hypermarket milik asing.

Sebagai negara yang telah berpengalaman lebih dari 100 tahun di bidang eksploitasi migas, dari 120 KPS (kontraktor profit sharing), 90 persennya milik asing. Produksi minyak kita juga terus turun, dengan cost recovery (biaya yang ditanggung pemerintah) meningkat tinggi. Dalam RAPBN 2010, pemerintah menetapkan biaya cost recovery 13,1 miliar dollar AS, naik dari 11,05 miliar dollar AS tahun 2009. Ini hanya untuk meningkatkan produksi minyak 5.000 barrel per hari dan gas 232 MMBTU per hari.

Dari total produksi nasional sekitar 1 juta barrel/hari, yang dihasilkan Pertamina hanya 75.000 barrel/hari, sama dengan Medco, swasta nasional. Mayoritasnya asing, terbesar Chevron, 450.000 barrel/ hari. Secara bertahap, ladang minyak dan gas nasional kita dikuasai asing karena aturan untuk menggarap berbagai proyek eksplorasi minyak bumi dan gas di Tanah Air harus melalui tender internasional.

Mayoritas pertambangan perak, nikel, batu bara, dan lainnya juga dikelola asing, bahkan tembaga dan emas, 100 persen dikuasai asing (Freeport dan Newmont). Perkebunan kelapa sawit 30 persennya dimiliki perusahaan asing, padahal kebun sawit efektif untuk pemerataan kesejahteraan, meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui konsep inti plasma. Kini ada sekitar 300.000 TKI terampil bekerja di kebun-kebun sawit di Malaysia. Jika saja, dulu, masing-masing diberi kesempatan membeli kebun sawit yang dilelang amat murah oleh BPPN seluas 2-3 ha/KK, tentu naiknya harga CPO sampai tiga kali lipat dinikmati petani kita sendiri.

Sektor telekomunikasi yang amat menguntungkan juga sudah jatuh ke tangan asing. Tragisnya, saat kita ingin memilikinya kembali, pihak asing menawarkan dengan harga berlipat.

Mengavling laut

Indonesia telah membiarkan berbagai kebijakan ekonomi diatur konsultan asing. Bertahun-tahun mereka ada di sejumlah instansi pemerintah. Ini menghapus banyak sektor dari daftar negatif bagi investor asing tanpa memperkuat pengusaha lokal dan mengobral aset ekonomi yang amat prospektif dengan harga amat murah. Pengusaha Indonesia juga terkendala dengan mahal dan seretnya kredit.

Pemerintah bersemangat mengundang investor asing, sementara modal amat besar pengusaha nasional disimpan di luar negeri.

Menteri Kehutanan menawarkan ratusan ribu hektar lahan kepada investor asing untuk bidang perkebunan. Bila hal ini tak dikoreksi, dalam tempo singkat perkebunan di Tanah Air akan dilahap asing. Pertanyaannya, apa bedanya dengan masa penjajahan Belanda?

Kini sedang berkembang diskusi untuk mengavling laut dan menjualnya kepada investor. Tak terbayang bila sebentar lagi pengelolaan laut dan kekayaan di dalamnya juga dikuasai asing. Sekarang saja ruang perairan kita praktis dikuasai asing. Sekitar 96,6 persen muatan angkutan laut dari Indonesia ke luar negeri diambil kapal asing dan 46,8 persen muatan laut dalam negeri dikuasai kapal berbendera asing (Media Indonesia, 6/12/2007).

China, negara yang bersama-sama kita melakukan liberalisasi, privatisasi, dan deregulasi, tidak mengalami hal seperti itu. China berusaha agar kegiatan ekonomi dikuasai warga sendiri dan menghindari intervensi asing dalam kebijakan ekonomi. Kepemilikan asing dalam jumlah mayoritas relatif tak diizinkan.

Syarat investasi asing di China untuk otomotif tidaklah ringan. Para investor wajib memiliki mitra lokal dan melakukan alih teknologi dalam jadwal ketat. Kini, China menjadi produsen otomotif mandiri dan berdaya saing tinggi.

Saya berdoa agar di tengah persaingan sengit dalam memperebutkan dana dan investasi asing, pemerintah dapat bertindak tepat dalam melindungi pelaku usaha domestik. Jangan sampai demi meningkatkan pertumbuhan PDB, BUMN dijual murah, porsi mayoritas asing diizinkan pada lebih banyak sektor, bahkan instrumen untuk melindungi pelaku dalam negeri berupa daftar negatif investasi asing dihapus seluruhnya.

Kita perlu membangun kesadaran umum bahwa kita memiliki pasar amat besar, kaya sumber daya alam. Dan potensi pertanian, perkebunan, perikanan, dan peternakan harus pertama-tama digunakan untuk mengembangkan potensi ekonomi rakyat sendiri.

Siswono Yudo Husodo Ketua Yayasan Pendidikan Universitas Pancasila

http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/24/02524235/mandiri.berdikari.merdeka

Rafael V. Mariano, chairperson of the Peasant Movement of the Philippines, 2000

Food has long been a political tool in US foreign policy. Twenty-five years ago USDA Secretary Earl Butz told the 1974 World Food Conference in Rome that food was a weapon, calling it 'one of the principal tools in our negotiating kit.' As far back as 1957 US Vice-President Hubert Humphrey told a US audience, "If you are looking for a way to get people to lean on you and to be dependent on you in terms of their cooperation with you, it seems to me that food dependence would be terrific."