Wednesday, August 27, 2008

Ada Intervensi Asing di Penyusunan UU Migas


KOMPAS/SUTTA DHARMASAPUTRA
Pengamat perminyakan, Kurtubi (kanan) dan Wahyudin Yudiana Ardiwinata, mengucapkan sumpah sebagai saksi ahli sebelum menyampaikan keterangan kepada Panitia Angket Dewan Perwakilan Rakyat tentang kenaikan harga bahan bakar minyak. Pengambilan sumpah dilakukan rohaniwan Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Abdul Gafur di Gedung Nusantara III DPR, Rabu (27/8).
Kamis, 28 Agustus 2008 | 03:00 WIB

Jakarta, Kompas - Panitia Angket Bahan Bakar Minyak Dewan Perwakilan Rakyat menemukan fakta baru. Saksi ahli yang dihadirkan menduga ada intervensi asing dalam penyusunan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas.

Pengamat perminyakan Kurtubi menyampaikan keyakinannya itu pada sidang Panitia Angket yang berlangsung tertutup di Gedung Nusantara II DPR, Rabu (27/8).

Sidang menghadirkan dua saksi ahli. Selain Kurtubi, pengamat perminyakan Wahyudin Yudiana Ardiwinata juga memberi keterangan. Sebelum memberikan keterangan, keduanya disumpah lebih dulu. Sidang dipimpin Ketua Panitia Angket Zulkifli Hasan dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN).

Keyakinan Kurtubi itu dikuatkan panitia angket dari PAN, Dradjad Wibowo. Seusai mendengarkan pandangan Kurtubi, Dradjad yang juga seorang ekonom menyerahkan sejumlah dokumen yang dimilikinya.

Dokumen yang diserahkan itu adalah Program Reformasi Sektor Energi yang diambil dari situs USAID. Di sana disebutkan bahwa USAID membiayai perbantuan teknis dan pelatihan (technical assistance and training) dalam mengimplementasikan UU Migas, Kelistrikan, dan Energi Geotermal.

Dalam dokumen itu juga tertulis, ”These laws were drafted with USAID assistance (UU ini dirancang dengan bantuan USAID).”

Dana yang dialirkan USAID untuk pembahasan UU Migas dan turunannya, selama kurun waktu 2001-2004, adalah 21,1 juta dollar AS atau sekitar Rp 200 miliar.

Namun, ke mana saja dana itu mengalir, menurut Zulkifli, Panitia Angket belum bisa memastikannya. ”Dana itu dikeluarkan ke mana-mana. Kami belum dapat,” ujarnya kepada pers.

Konseptor harus dipanggil

Seusai sidang, Kurtubi juga menegaskan kembali keyakinannya itu saat ditemui pers. Menurut dia, inefisiensi tata kelola minyak saat ini adalah dampak dari UU Migas No 22/2001. ”Inisiator UU Migas itu dari International Monetary Fund lewat letter of intent. IMF mengharuskan Indonesia mengubah UU Migas-nya. IMF menyodorkan UU Migas. Jadi, pasti ada intervensi asing,” ujarnya.

Atas dasar itu, Kurtubi juga merekomendasikan Panitia Angket segera merombak UU Migas No 22/2001 dan memanggil semua pejabat yang terlibat dalam penyusunan UU itu.

”UU Migas itu konseptornya pasti orang Indonesia juga. Mungkin, beliau-beliau itu masih ada di Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Pertamina, atau tempat lain,” ungkapnya.

Pejabat yang harus dipanggil itu adalah Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro, Kepala BP Migas sejak Rachmat Sudibyo sampai sekarang, Direksi Pertamina, serta Tim Konseptor UU Migas dan Tim Penjualan LNG Tangguh.

Mafia perminyakan juga harus diberantas karena mereka ini yang menyebabkan inefisiensi BBM nasional, terutama dalam manajemen impor.

Menurut Zulkifli, saksi ahli juga menyebutkan bahwa pihak yang paling diuntungkan dari adanya UU Migas No 22/2001 ini adalah para trader minyak. (sut)


sut

Dapatkan artikel ini di URL:
http://entertainment.kompas.com/read/xml/2008/08/28/0025442/ada.intervensi.asing.di.penyusunan.uu.migas

Wednesday, August 13, 2008

Landasan Teori Tentang Nasionalisme Dalam Globalisasi

- Indonesia Sudah Dihabisi Sejak November 1967
Senin, 23 Juni 08 - by : admi



Sejak lama sudah ada banyak ilmuwan yang memperingatkan bahwa kita hendaknya tidak terlampau fanatik dan keblinger tentang globalisasi yang dikaitkan dengan borderless world dan liberalisme mutlak.

Robert Reich adalah guru besar pada Harvard University dan pernah menjabat sebagai Menteri Tenaga Kerja dalam Kabinet Presiden Clinton. Dia menulis buku dengan judul "The Works of Nations."

Dia mengemukakan bahwa penduduk setiap negara terdiri dari tiga kelompok. Sebuah kelompok sangat kecil terdiri dari orang-orang yang super pandai, yang bisa melihat dan memanfaatkan celah-celah yang ada di mana saja di dunia sebagai peluang buat bisnisnya. Kelompok ini olehnya disebut system analyst. Mereka tidak tergantung pada satu negara, sehingga dalam kehidupannya sehari-hari mereka memang kosmopolit yang tidak mengenal batas-batas negara dalam kiprahnya sebagai pengusaha transnasional.

Kelompok kedua sudah cukup besar jumlahnya, yang merupakan elit bangsanya. Mereka berpendidikan tinggi dengan pendapatan atau gaji yang tinggi. Mereka adalah kaum profesional yang bekerja sebagai majikannya sendiri, tetapi tidak menggunakan modalnya. Mereka adalah para dokter, akuntan, pengacara, notaris, ahli pajak, guru besar, peneliti dan para CEO dari perusahaan-perusahaan besar dan sejenisnya. Mereka disebut In Person Workers, yang sudah sangat terkait dengan negaranya. Mereka mempunyai mobilitas nasional, tetapi pekerjaannya melayani orang lain yang terikat pada lingkungannya. Pada umumnya, pemerintah setiap negara mempunyai peraturan dan pengaturan yang berbeda-beda, sehingga kalau mereka ingin pindah berpraktek di negara lain, mereka harus menyesuaikan diri dengan norma, peraturan dan pengaturan yang berlaku di negara yang bersangkutan, yang disebut "adaptasi" atau "aklimatisasi". Para dokter, akuntan, notaris dan pengacara kita yang lulus dari universitas di luar negeri sudah harus mengalami proses adaptasi yang dikaitkan dengan ujian dan perizinan. Maka mobilitas internasional mereka sudah sangat terbatas dibandingkan dengan para system analysts.

Kelompok yang sangat besar jumlahnya adalah para buruh pabrik, tambang dan pekerja kasar pada umumnya. Mereka disebut Routine Workers yang keterkaitan dengan negaranya hampir mutlak. Walaupun ada gejala migrasi tenaga kerja, jumlahnya sangat kecil.

Dengan demikian tidak mungkin nasionalisme musnah. Kalaupun para system analysts sedang menikmati hidupnya di negara tertentu di mana kaum routine workers-nya terlampau menderita, mereka akan melakukan revolusi sosial yang mengancam jiwa para system analysts dan in person workers.

Ruud Lubbers

Ruud Lubbers pernah menjabat sebagai Menteri Ekonomi Belanda selama 4 tahun dan kemudian sebagai Perdana Menteri selama 12 tahun. Setelah itu pernah menjabat sebagai guru besar dalam mata kuliah globalisasi pada Harvard University dan Universitas di Tilburg.

Dia mengatakan bahwa esensi globalisasi adalah mekanisme pasar yang diterapkan pada seluruh dunia. Kita mengetahui bahwa tidak ada negara bangsa yang beradab dan tertib serta mempunyai kandungan keadilan yang memadai, tanpa peraturan dan pengaturan yang menghindari atau memagari diri terhadap ekses-ekses dari mekanisme pasar yang paling asli dan paling primitif. Kita belum mempunyai pemerintah dengan segala perangkat peraturan dan pengaturannya yang berlaku untuk seluruh dunia.

Karena itu, selama itu pula setiap negara bangsa mempunyai pemerintahan sendiri-sendiri, mempunyai peraturan dan pengaturannya sendiri, mempunyai tata nilai dan latar belakang kebudayaannya sendiri-sendiri. Walaupun gejala globalisasi diakui keberadaannya karena adanya revolusi mobilitas informasi, yang dinamakan borderless world dalam arti yang mutlak tidak ada.

Keblingerlah mereka yang berpendapat bahwa nasionalisme sudah mati.

Nasionalisme tidak picik dan bukan katak dalam tempurung

Manusia yang hakikatnya adalah makluk sosial tidak bisa hidup tanpa adanya keterkaitan dengan manusia lainnya. Ikatan yang paling kecil dan paling erat adalah keluarganya. Kalau orang mencintai anak isterinya melebihi saudara kandungnya tidak berarti yang bersangkutan membenci saudara kandungnya. Dalam keluarga itulah setiap manusia menggunakan kekuatan sinergi yang ada untuk bersama-sama memakmurkan dan mensejahterakan keluarganya secara adil.

Ikatan seperti dalam satu keluarga kita jumpai dalam kelompok yang lebih besar, seperti desa, kota, propinsi dan negara.

Bangsa yang mementingkan dirinya melebihi kepentingan bangsa lain tidak berarti picik, egosentris, katak dalam tempurung dan tidak mengerti adanya perubahan-perubahan dalam mobilitas dunia. Namun pemahaman-pemahaman ini tidak dapat memusnahkan eksistensi sebuah bangsa.

Namun tergantung pada pemimpinnya yang sedang berkuasa, kita juga mengenali sebuah bangsa lebih kuat yang menggunakan kekuatannya untuk menghisap dan bahkan menghabisi bangsa lain yang lebih lemah. Maka dalam setiap zaman kita mengenali adanya negara bangsa yang menjadi imperilais. Negara bangsa lain yang membentengi dirinya agar tidak menjadi target dan korban penghisapan oleh negara imperilais tidak berarti picik dan bagaikan katak dalam tempurung.

Indonesia sudah mulai dihabisi di bulan November 1967

Liberalisasi dan penggerojokan utang sebagai alat pengendali di Indonesia langsung saja dimulai di bulan November 1967, yang digambarkan oleh Jeffrey Winters, Bradley Simpson, John Pilgers dan John Perkins dengan butir-butir sebagai berikut.

"Dalam dunia ini, yang tidak dilihat oleh bagian terbesar dari kami yang hidup di belahan utara dunia, cara perampokan yang canggih telah memaksa lebih dari sembilan puluh negara masuk ke dalam program penyesuaian struktural sejak tahun delapan puluhan, yang membuat kesenjangan antara kaya dan miskin semakin menjadi lebar. Ini terkenal dengan istilah "nation building"dan "good governance" oleh "empat serangkai" yang mendominasi World Trade Organization (Amerika Serikat, Eropa, Canada dan Jepang), dan triumvirat Washington (Bank Dunia, IMF dan Departemen Keuangan AS) yang mengendalikan setiap aspek detail dari kebijakan pemerintah di negara-negara berkembang. Kekuasaan mereka diperoleh dari utang yang belum terbayar, yang memaksa negara-negara termiskin membayar $ 100 juta per hari kepada para kreditur barat. Akibatnya adalah sebuah dunia, di mana elit yang kurang dari satu milyar orang menguasai 80% dari kekayaan seluruh umat manusia."

Saya ulangi sekali lagi paragraf yang sangat relevan dan krusial, yaitu yang berbunyi :

"Their power derives largely from an unrepayable debt that forces the poorest countries...." atau "Kekuatan negara-negara penghisap didasarkan atas utang besar yang tidak mampu dibayar oleh negara-negara target penghisapan."

John Pilger mengutip temuan, pernyataan dan wawancara dengan Jeffrey Winters maupun Brad Simpson. Jeffrey Winters dalam bukunya yang berjudul Power in Motion dan Brad Simpson dalam disertasinya mempelajari dokumen-dokumen tentang hubungan Indonesia dan dunia Barat yang baru saja menjadi tidak rahasia, karena masa kerahasiaannya menjadi kadaluwarsa.

Saya kutip halaman 37 yang mengatakan : "Dalam bulan November 1967, menyusul tertangkapnya 'hadiah terbesar', hasil tangkapannya dibagi. The Time-Life Corporation mensponsori konferensi istimewa di Jenewa yang dalam waktu tiga hari merancang pengambilalihan Indonesia. Para pesertanya meliputi para kapitalis yang paling berkuasa di dunia, orang-orang seperti David Rockefeller. Semua raksasa korporasi Barat diwakili : perusahaan-perusahaan minyak dan bank, General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel. Di seberang meja adalah orang-orangnya Soeharto yang oleh Rockefeller disebut "ekonom-ekonom Indonesia yang top."

"Di Jenewa, Tim Indonesia terkenal dengan sebutan the Berkeley Mafia, karena beberapa di antaranya pernah menikmati beasiswa dari pemerintah Amerika Serikat untuk belajar di Universitas California di Berkeley. Mereka datang sebagai peminta-minta yang menyuarakan hal-hal yang diinginkan oleh para majikan yang hadir. Menyodorkan butir-butir yang dijual dari negara dan bangsanya, Tim Widjojo Nitisastro menawarkan : buruh murah yang melimpah, cadangan besar dari sumber daya alam .. pasar yang besar."

Di halaman 39 ditulis : "Pada hari kedua, ekonomi Indonesia telah dibagi, sektor demi sektor. Ini dilakukan dengan cara yang spektakuler" kata Jeffrey Winters, guru besar pada Northwestern University, Chicago, yang dengan mahasiwanya yang sedang bekerja untuk gelar doktornya, Brad Simpson telah mempelajari dokumen-dokumen konferensi. "Mereka membaginya ke dalam lima seksi : pertambangan di satu kamar, jasa-jasa di kamar lain, industri ringan di kamar lain, perbankan dan keuangan di kamar lain lagi; yang dilakukan oleh Chase Manhattan duduk dengan sebuah delegasi yang mendiktekan kebijakan-kebijakan yang dapat diterima oleh mereka dan para investor lainnya. Kita saksikan para pemimpin korporasi besar ini berkeliling dari satu meja ke meja yang lain, mengatakan : ini yang kami inginkan : ini, ini dan ini, dan mereka pada dasarnya merancang infrastruktur hukum untuk berinvestasi di Indonesia. Saya tidak pernah mendengar situasi seperti itu sebelumnya, di mana modal global duduk dengan para wakil dari negara yang diasumsikan sebagai negara berdaulat dan merancang persyaratan buat masuknya investasi mereka ke dalam negaranya sendiri.

Freeport mendapatkan bukit (mountain) dengan tembaga di Papua Barat (Henry Kissinger duduk dalam board). Sebuah konsorsium Eropa mendapat nikel Papua Barat. Sang raksasa Alcoa mendapat bagian terbesar dari bauksit Indonesia. Sekelompok perusahaan-perusahaan Amerika, Jepang dan Perancis mendapat hutan-hutan tropis di Sumatra, Papua Barat dan Kalimantan. Sebuah undang-undang tentang penanaman modal asing yang dengan buru-buru disodorkan kepada Soeharto membuat perampokan ini bebas pajak untuk lima tahun lamanya. Nyata dan secara rahasia, kendali dari ekonomi Indonesia pergi ke Inter Governmental Group on Indonesia (IGGI), yang anggota-anggota intinya adalah Amerika Serikat, Canada, Eropa, Australia dan, yang terpenting, Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia.

Hadirin Yth.,

Kalau kita percaya John Pilger, Brad Simpson dan Jeffrey Winters, sejak tahun 1967 Indonesia sudah mulai dihabisi (plundered) dengan tuntunan oleh bangsa Indonesia sendiri yang ketika itu.

Benarkah sinyalemen John Pilger, Joseph Stiglitz dan masih banyak ekonom AS kenamaam lainnya bahwa utanglah yang dijadikan instrumen untuk mencengkeram Indonesia?

The Economic Hitmen

Dalam rangka ini izinkanlah saya mengutip buku yang menggemparkan. Buku ini ditulis oleh John Perkins dengan judul The Confessions of an Economic Hitman, atau "Pengakuan seorang Perusak Ekonomi." Buku ini tercantum dalam New York Times bestseller list selama 7 minggu.

Saya kutip sambil menterjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia sebagai berikut.

Halaman 12 : "Saya hanya mengetahui bahwa penugasan pertama saya di Indonesia, dan saya salah seorang dari sebuah tim yang terdiri dari 11 orang yang dikirim untuk menciptakan cetak biru rencana pembangunan pembangkit listrik buat pulau Jawa."

Halaman 13 : "Saya tau bahwa saya harus menghasilkan model ekonomterik untuk Indonesia dan Jawa." "Saya mengetahui bahwa statistik dapat dimanipulasi untuk menghasilkan banyak kesimpulan, termasuk apa yang dikehendaki oleh analis atas dasar statistik yang dibuatnya."

Halaman 15 : "Pertama-tama saya harus memberikan pembenaran (justification) untuk memberikan utang yang sangat besar jumlahnya yang akan disalurkan kembali ke MAIN (perusahaan konsutan di mana John Perkins bekerja) dan perusahan-perusahaan Amerika lainnya (seperti Bechtel, Halliburton, Stone & Webster, dan Brown & Root) melalui penjualan proyek-proyek raksasa dalam bidang rekayasa dan konstruksi. Kedua, saya harus membangkrutkan negara yang menerima pinjaman tersebut (tentunya setelah MAIN dan kontraktor Amerika lainnya telah dibayar), agar negara target itu untuk selamanya tercengkeram oleh kreditornya, sehingga negara pengutang (baca : Indonesia) menjadi target yang empuk kalau kami membutuhkan ,favours, termasuk basis-basis militer, suara di PBB, atau akses pada minyak dan sumber daya alam lainnya."

Halaman 15-16 : "Aspek yang harus disembunyikan dari semua proyek tersebut ialah membuat laba sangat besar buat para kontraktor, dan membuat bahagia beberapa gelintir keluarga dari negara-negara penerima utang yang sudah kaya dan berpengaruh di negaranya masing-masing. Dengan demikian ketergantungan keuangan negara penerima utang menjadi permanen sebagai instrumen untuk memperoleh kesetiaan dari pemerintah-pemerintah penerima utang. Maka semakin besar jumlah utang semakin baik. Kenyataan bahwa beban utang yang sangat besar menyengsarakan bagian termiskin dari bangsanya dalam bidang kesehatan, pendidikan dan jasa-jasa sosial lainnya selama berpuluh-puluh tahun tidak perlu masuk dalam pertimbangan."

Halaman 15 : "Faktor yang paling menentukan adalah Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Proyek yang memberi kontribusi terbesar terhadap pertumbuhan PDB harus dimenangkan. Walaupun hanya satu proyek yang harus dimenangkan, saya harus menunjukkan bahwa membangun proyek yang bersangkutan akan membawa manfaat yang unggul pada pertumbuhan PDB."

Halaman 16 : "Claudia dan saya mendiskusikan karakteristik dari PDB yang menyesatkan. Misalnya pertumbuhan PDB bisa terjadi walaupun hanya menguntungkan satu orang saja, yaitu yang memiliki perusahaan jasa publik, dengan membebani utang yang sangat berat buat rakyatnya. Yang kaya menjadi semakin kaya dan yang miskin menjadi semakin miskin. Statistik akan mencatatnya sebagai kemajuan ekonomi."

Halaman 19 : "Sangat menguntungkan buat para penyusun strategi karena di tahun-tahun enam puluhan terjadi revolusi lainnya, yaitu pemberdayaan perusahaan-perusahaan internasional dan organisasi-organisasi multinasional seperti Bank Dunia dan IMF."

Bab tiga khusus tentang Indonesia dengan judul : "Indonesia, pelajaran buat Penghancur Ekonomi."

Halaman 21 : "Prioritas dari kebijakan luar negeri Amerika Serikat ialah supaya Suharto melayani Washington seperti yang dilakukan oleh Shah Iran. AS juga mengharapkan bahwa Indonesia akan menjadi model buat negara-negara di sekitarnya. Washington mendasarkan sebagian dari strateginya pada asumsi bahwa manfaat yang diperoleh dari Indonesia akan mempunyai dampak positif pada seluruh dunia Islam, terutama di Timur Tengah yang eksplosif. Dan kalau itu tidak cukup, Indonesia mempunyai minyak. Tidak seorangpun yang mengetahui dengan pasti tentang besarnya dan kualitas dari cadangan minyaknya, tetapi para ahli seismologi sangat antusias tentang kemungkinan-kemungkinannya."

Halaman 28 : "Akhirnya kepada kami diberikan keanggotaan dari Bandung Golf & Racket Club yang ekslusif, dan kami bekerja dalam kantor cabang Bandung dari Perusahaan Umum Listrik Negara (PLN), perusahaan listrik yang dimiliki oleh pemerintah."

Dari sanalah John Perkins dengan Tim-nya beroperasi, yang didukung sepenuhnya oleh para anak bangsa yang menjadi pengkhianat terhadap rakyat dan bangsanya sendiri.

Oleh Kwik Kian Gie

Versi Online : http://www.koraninternet.com/?pilih=lihat&id=6341

Sunday, August 10, 2008

Krisis Pangan dan Inflasi


GETTY IMAGES/ERIC THAYER
Rakyat mengantre makanan di depan Gereja Saint Clare s Haiti, 30 April 2008.

Kompas, Jumat, 8 Agustus 2008 | 03:00 WIB

Dunia saat ini tengah mengalami demam akibat gelombang pasang inflasi. Lonjakan harga minyak mentah, komoditas pangan, dan komoditas lain, membuat inflasi di 50 dari 110 negara, menurut data Goldman Sachs yang dikutip Newsweek, sudah di atas dua digit. di Beberapa negara bahkan sudah terjadi hiperinflasi.

Di Vietnam inflasi tahun ini diprediksikan 26 persen. Di Zimbabwe inflasi sudah mencapai 164.900 persen, Venezuela 30 persen, Kenya 27 persen, Pakistan 19,3 persen, dan India 11 persen. Di Indonesia inflasi yang tahun lalu hanya 6,59 persen, tahun ini diperkirakan 11,5-12,5 persen, bahkan bisa lebih tinggi.

Sepertiga negara berkembang sekarang ini, menurut Bank Dunia, mencatat inflasi di atas 10 persen dan di 21 negara inflasi meningkat sudah lebih dari 5 persen. Dari catatan Bank Dunia, ini adalah yang pertama kalinya sejak tahun 1973, lonjakan harga minyak dan komoditas pangan terjadi secara berbarengan.

Kombinasi kenaikan harga dua komoditas ini sangat memukul, terutama untuk negara-negara miskin, dengan dampak ke perekonomian nasional di lebih dari 15 negara sedang berkembang mencapai 10 persen lebih dari produk domestik bruto. Sementara itu, ruang manuver secara makroekonomi untuk bisa merespons kondisi tersebut juga sangat terbatas.

Dampak paling riil dari lonjakan harga tersebut adalah meningkatnya tekanan inflasi, membengkaknya defisit anggaran pendapatan dan belanja pemerintah yang mengakibatkan menyusutnya pula anggaran untuk subsidi kelompok miskin. Hal itu selanjutnya kian membahayakan kelompok miskin, kelompok yang paling rentan terhadap lonjakan harga.

Bagi perekonomian global, itu juga mengancam pertumbuhan dan membuat berbagai kemajuan yang telah dicapai, terutama dalam pemberantasan kemiskinan di banyak negara miskin, juga terancam lenyap dalam sesaat. Jumlah penduduk miskin diperkirakan meningkat dari 73 juta jiwa menjadi 105 juta jiwa.

Sejak Januari 2006 harga terigu tercatat sudah melonjak lebih dari dua kali lipat, dengan 60 persen lebih kenaikannya terjadi sejak Januari 2008. Untuk beras, bahkan harga sudah naik tiga kali lipat lebih hanya dalam kurun Januari-Mei 2008. Untuk jagung, kenaikan 125 persen dan kedelai 107 persen.

Sementara itu, harga minyak mentah naik dari hanya 20 dollar AS per barrel pada tahun 2001 menjadi di atas 140 dollar AS per barrel sekarang ini. Sejak Januari 2008 saja harga minyak sudah naik lebih dari dua kali lipat. Lonjakan harga komoditas pangan ini terjadi karena kombinasi berbagai faktor, baik itu struktural maupun nonstruktural.

Faktor-faktor itu, yakni naiknya harga energi dan pupuk, depresiasi nilai tukar dollar AS, konversi dalam skala masif komoditas pangan ke bahan bakar nabati (biofuel), serta menyusutnya stok pangan (biji-bijian) global sebagai akibat dari perubahan kebijakan menyangkut buffer stock di AS dan Uni Eropa. Ini masih ditambah dengan kekeringan di Australia dan meningkatnya permintaan dari berbagai negara.

Di luar semua faktor tersebut, masih ada peranan spekulan, yakni para hedge funds dan investor komoditas yang juga ikut memicu kenaikan harga.

Semua faktor tadi masih ditambah dengan kebijakan beberapa negara eksportir dan importir utama pangan yang sifatnya kontraproduktif. Termasuk larangan ekspor beras oleh India dan China atau larangan impor gandum oleh Argentina, Kazakhstan, dan Rusia. Larangan ekspor dalam rangka mengamankan pasar dalam negeri ini segera diikuti oleh negara-negara produsen lain, seperti Vietnam dan Mesir, untuk beras sehingga membuat pasokan di pasar dunia menipis dan harga kian melonjak.

Begitu juga aksi importir beras besar, seperti Filipina yang mengadakan tender besar-besaran pengadaan beras impor di tengah kepanikan dunia, juga menjadi pemicu.

Bertanggung jawab

Menurut Bank Dunia dan PBB, AS dan Uni Eropa adalah pihak yang paling pantas disalahkan atas lonjakan harga pangan yang menempatkan lebih dari 100 juta penduduk dunia dalam ancaman kelaparan sekarang ini.

Laporan Bank Dunia yang sempat bocor menyebutkan, 75 persen kenaikan harga komoditas pangan akhir-akhir ini adalah akibat konversi komoditas pangan ke bahan bakar nabati. Sementara itu, meningkatnya permintaan negara-negara berkembang, seperti India dan China yang sering dituding AS sebagai pemicu kenaikan harga pangan, justru tidak banyak berpengaruh pada harga.

Kebijakan Pemerintahan AS dan Uni Eropa yang merangsang produksi biofuel, termasuk lewat pemberian subsidi, membatasi impor, dan mewajibkan penggunaan biofuel di dalam negeri, memicu konversi secara besar-besaran penggunaan komoditas pangan untuk bahan bakar nabati. Di AS sendiri, 40 persen produksi jagung untuk etanol.

Bank Dunia, USDA, Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), serta Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) memprediksikan kecenderungan naiknya harga pangan masih akan berlangsung hingga 2009 sebelum akhirnya mulai menurun, kendati tak akan pernah bisa kembali ke level sebelum 2007.

Jean Ziegler, Pelapor Khusus PBB untuk hak atas pangan, menyebut, konversi ke biofuel dengan mengorbankan akses pangan bagi jutaan penduduk miskin sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity). (sri hartati samhadi)


sri hartati samhadi

Dapatkan artikel ini di URL:
http://entertainment.kompas.com/read/xml/2008/08/08/01291587/krisis.pangan.dan.inflasi

Dunia Dikendalikan Penguasa Modal

Kompas, Jumat, 8 Agustus 2008 | 03:00 WIB

Lonjakan harga komoditas di pasar global yang menyengsarakan jutaan penduduk miskin dunia dan banyak negara berkembang ternyata justru membuat banyak pihak berpesta pora. Di antara mereka, siapa lagi kalau bukan para spekulan, mulai dari hedge funds, fund management, dana pensiun, bank-bank investasi dan lembaga keuangan lain, hingga investor individu.

Sorotan tajam terhadap peran spekulan dalam memicu krisis energi dan krisis pangan global serta krisis finansial di AS sekarang ini ibaratnya hanya mengungkap sebagian sisi gelap rezim kapitalisme, globalisasi, dan liberalisasi perekonomian global.

Ada sekelompok kecil penguasa kapital atau kaum berpunya yang mengendalikan dunia lewat pasar modal, pasar uang, pasar obligasi, pasar komoditas, dan juga lewat pengaruh mereka terhadap otoritas pemerintahan dan pasar finansial.

Para spekulan ini diyakini berperan penting dalam memicu lonjakan harga komoditas, mulai dari minyak mentah, logam dan mineral, pangan, hingga komoditas bahan mentah lainnya. Krisis energi dan komoditas pangan membuat mereka semakin gemuk. Dan dengan dana triliunan dollar AS yang ada dalam genggaman mereka, mereka memiliki potensi destabilisasi yang luar biasa.

Keuntungan besar yang mereka tangguk dari transaksi itu menjadi semacam sinyalemen pembenaran bahwa globalisasi dan liberalisasi ekonomi dunia adalah zero sum game, medan permainan yang hanya melahirkan segelintir pemenang di atas penderitaan banyak pihak lainnya.

Sejak Januari 2008, Bursa Saham Chicago (Chicago Stock Exchange/CHX) mencatat kenaikan aktivitas investasi di sektor komoditas pertanian sebesar 25 persen, dengan keterlibatan hedge funds meningkat tiga kali lipat dalam dua tahun terakhir menjadi 55 miliar dollar AS.

Pelarian dana miliaran dollar AS (beberapa menyebut triliunan dollar AS) yang dikelola lembaga-lembaga tersebut ke sektor perdagangan komoditas terutama dipicu oleh krisis kredit macet sektor perumahan AS (sub-prime mortgage) dan depresiasi nilai tukar dollar AS.

Mereka beralih dari investasi berisiko tinggi di surat berharga ke instrumen yang lebih aman, termasuk emas dan minyak serta komoditas lunak seperti pangan.

Menurut penulis buku The Seeds of Destruction, William Engdahl, sedikitnya 60 persen dari harga minyak mentah sekarang ini berasal dari spekulasi perdagangan berjangka (futures) yang selama ini tak diregulasi oleh para hedge funds, bank, dan lembaga keuangan lain.

Itu dilakukan dengan menggunakan instrumen transaksi berjangka ICE Futures (London) dan NYMEX (New York) dan transaksi Over-The-Counter atau antarbank yang memang tak terkontrol guna menghindari kecurigaan.

Di antara pemain utama pasar spekulasi untuk minyak mentah ini, menurut Engdahl, adalah Goldman Sachs; Morgan Stanley; British Petroleum; bank Perancis, Societe Generale (SG); bank terbesar AS, Bank of America; dan bank Swiss, Mercuria.

Selama ini, BP mengendalikan International Petroleum Exchange (IPE) yang berbasis di London, yang merupakan salah satu bursa transaksi futures dan options untuk energi terbesar di dunia. Di antara pemegang saham utama IPE adalah Goldman Sachs dan Morgan Stanley.

Menurut surat kabar Jerman, Der Spiegel, Morgan Stanley adalah salah satu aktor kelembagaan utama di IPE. Sementara surat kabar Perancis, Le Monde, menyebutkan, SG bersama dengan Bank of America dan Deutsche Bank terlibat dalam menyebarkan rumor-rumor yang dimaksudkan untuk mendorong melonjaknya harga minyak.

Untuk pasar biji-bijian, aktor utama adalah Cargill dan Archer Daniels Midland (ADM). Keduanya menguasai pangsa pasar biji-bijian yang sangat besar. Mereka juga terlibat dalam transaksi spekulatif, baik futures maupun options, di NYMEX dan Chicago Board of Trade (CBOT).

Di AS, Cargill, ADM, dan pesaing mereka, Zen Noh, menguasai 81 persen ekspor maize dan 65 persen ekspor kedelai (Greg Muttitt, Control Freaks, Cargill and ADM, The Ecologist, Maret 2001).

Aktor utama

Aktivitas spekulasi komoditas ini melahirkan banyak orang kaya baru. Tetapi, yang paling gemuk tentu saja kelompok elite keuangan Wall Street dan korporasi besar yang selama ini menguasai pasar komoditas, mengendalikan input atau yang memiliki pengetahuan luas soal kondisi perdagangan.

Etika dan moral tidak lagi menjadi pertimbangan mereka, aktivitas mereka semata digerakkan oleh kerakusan dan keinginan untuk meraup untung sebesar-besarnya. Di antara mereka adalah jaringan ritel besar seperti Wal Mart dan Carrefour yang meraup laba masing-masing 4,1 miliar dollar AS dan 1,87 miliar euro dari penjualan produk pangan.

Perusahaan agribisnis seperti Monsanto juga mencatat lonjakan keuntungan dari 255 juta dollar AS tahun 2005 menjadi 993 juta dollar AS tahun 2007. Laba meningkat dari 1,44 miliar dollar menjadi 2,22 miliar dollar AS. Sementara pendapatan bersih tiga bulan hingga akhir Februari 2008 melonjak menjadi 1,125 miliar dollar AS dibandingkan periode sama tahun sebelumnya (543 juta dollar AS).

Hal sama dialami raksasa agribisnis lain, yakni Cargill, yang pendapatan bersihnya meningkat 86 persen dari 553 juta dollar AS menjadi 1,030 miliar dollar AS pada periode tiga bulan yang sama.

Demikian juga Archer Daniels Midland (ADM). Salah satu perusahaan pengolah kedelai, jagung, dan gandum terbesar dunia ini mencatat kenaikan pendapatan bersih 42 persen dan membukukan laba 517 juta dollar AS hanya dalam tiga bulan pertama 2008, dengan laba operasi dari perdagangan biji-bijian meningkat 16 kali lipat dari 21 juta dollar AS menjadi 341 juta dollar AS.

Mosaic Company, salah satu produsen pupuk terbesar, mencatat peningkatan pendapatan lebih dari 12 kali dari 42,2 juta dollar AS menjadi 520,8 juta dollar AS dalam tiga bulan (hingga akhir bulan Februari 2008) di tengah kelangkaan pupuk dunia. Mosaic Company diuntungkan oleh harga beberapa jenis pupuk yang melonjak tiga kali lipat lebih dalam satu tahun terakhir.

Untuk mencegah spekulasi dalam skala masif yang bisa memicu harga, Komisi Perdagangan Berjangka Komoditas AS (Commodity Futures Trading Commission/CFTC) sebenarnya sudah menetapkan batasan nilai kontrak berjangka untuk setiap spekulan individu.

Namun, dari testimoni Direktur Pengawasan Pasar CFTC Don Heitman di depan Kongres, CFTC sudah membuat pengecualian terhadap para bank investasi di Wall Street, setidaknya sejak awal 1990-an, sehingga hedge funds, dana pensiun, dan investor besar lainnya tetap bisa dengan leluasa masuk dengan cara membuat kontrak swap dengan bank-bank Wall Street untuk menghindari aturan tersebut.

Laporan New York Times, 6 Juni, menyebutkan, investor besar juga mengguyurkan dana miliaran dollar AS untuk mengakuisisi properti fisik, mulai dari lahan pertanian, pupuk, mesin pengangkut biji-bijian, hingga armada pengapalan.(sri hartati samhadi)


sri hartati samhadi

Dapatkan artikel ini di URL:
http://entertainment.kompas.com/read/xml/2008/08/08/01281083/dunia.dikendalikan.penguasa.modal

Dihancurkan oleh Rezim Perdagangan Global



Kompas, Jumat, 8 Agustus 2008 | 03:00 WIB

Banyak pengamat internasional berpandangan, krisis pangan global dewasa ini adalah malapetaka buatan manusia. Krisis terjadi karena sektor pertanian di negara-negara berkembang dihancurkan lewat rezim perdagangan global demi kepentingan segelintir pemain besar dari negara maju. Tujuannya, untuk menciptakan ketergantungan pada impor pangan dari negara maju.

Bank Dunia dalam laporan World Development Report berjudul Agriculture for Development mengungkapkan, sektor pertanian dan pedesaan menderita karena selama 20 tahun terakhir terabaikan dan nyaris tak ada dana mengalir untuk inovasi budidaya dan teknologi (underinvestment).

Alokasi anggaran pemerintah untuk sektor pertanian (termasuk untuk subsidi serta riset dan pengembangan) terus menyusut. Akibatnya, produksi terus stagnan.

Di negara-negara sub-Sahara Afrika, yang pertumbuhan ekonominya nyaris sepenuhnya mengandalkan pada sektor pertanian, rata-rata alokasi anggaran pemerintah untuk sektor pertanian hanya 4 persen dari total anggaran belanja pemerintah. Itu pun, sektor pertanian masih dipajaki tinggi.

Pada saat bersamaan, alokasi bantuan luar negeri untuk pertanian juga terus menyusut, hanya 4 persen dari total Bantuan Pembangunan Resmi (ODA) pada tahun 2004. Padahal, 75 persen penduduk miskin negara berkembang hidup dari sektor ini.

Karena itu, menggenjot investasi secara besar-besaran di sektor pertanian menjadi kata kunci untuk mencegah terulangnya tragedi serupa di negara-negara miskin, sekaligus untuk mencapai target pengurangan angka kelaparan dan kemiskinan hingga separuhnya pada tahun 2015 sebagaimana ditetapkan dalam target Sasaran Pembangunan Milenium (MDG).

Di tengah absennya kepemimpinan global dalam mengatasi krisis pangan sekarang ini, solusi kembali ke pertanian mungkin adalah solusi yang paling riil untuk dilakukan. Ironisnya, ini disampaikan oleh lembaga yang selama ini dituding ikut menyemai krisis pangan global yang kita hadapi sekarang ini.

Apa yang terjadi di Afrika dan sejumlah negara Asia pada kurun 1970-an hingga 1990-an menjadi bukti bahwa lembaga multilateral, seperti Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), dan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang selama ini dituding lebih banyak mewakili kepentingan negara-negara maju, telah menjadi bagian kekuatan globalisasi yang justru menghancurkan sistem ketahanan pangan negara-negara berkembang.

Ketika itu, atas nama Program Penyesuaian Struktural (SAP), IMF dan juga Bank Dunia memaksa negara-negara berkembang (termasuk Indonesia) memangkas drastis anggaran pemerintah untuk berbagai sektor, khususnya untuk program pertanian, sebagai prasyarat untuk bisa terus mendapatkan kucuran utang dari lembaga tersebut.

Termasuk di sini, dengan menghapuskan atau memangkas berbagai program subsidi bagi petani dan memaksakan pemrioritasan budidaya tanaman komersial yang bisa diekspor agar bisa mendatangkan devisa (yang kemudian dipakai untuk membayar kembali cicilan dan pokok utang pada kreditor, termasuk Bank Dunia).

Haiti adalah contoh nyata. Di negara ini beras sudah merupakan tanaman pangan tradisional sejak berabad-abad lalu. Hingga 20 tahun lalu, petani negara ini masih mampu memproduksi sekitar 170.000 ton beras per tahun, cukup untuk menutup 95 persen konsumsi domestik.

Kendati tak mendapat subsidi dari pemerintah, akses mereka ke pasar domestik terproteksi oleh adanya tarif impor yang menghambat masuknya beras impor.

Kondisi berubah tahun 1995 ketika kesulitan ekonomi memaksa pemerintah masuk dalam perangkap IMF. Untuk mendapatkan kucuran utang dari IMF, IMF mensyaratkan Haiti memangkas tarif impor beras dari 35 persen menjadi 3 persen. Hasilnya bisa diterka, beras dari Amerika Serikat segera membanjiri pasar lokal pada harga separuh dari tingkat harga beras produksi lokal.

Ribuan petani setempat jadi kehilangan lahan dan mata pencarian karena tak bisa bersaing dengan beras AS. Dewasa ini, 75 persen beras yang dikonsumsi Haiti adalah beras impor dari AS. Beras AS mampu menggusur beras lokal bukan karena rasanya lebih enak atau karena petani AS mampu memproduksi beras lebih efisien, melainkan karena petani AS disubsidi habis-habisan oleh pemerintahnya.

Tahun 2003, subsidi yang dikucurkan Pemerintah AS kepada petaninya mencapai 1,7 miliar dollar AS atau rata-rata 232 dollar AS per hektar padi yang ditanam. Subsidi ini masuk ke kantong segelintir tuan tanah yang menguasai lahan sangat luas atau perusahaan agrobisnis, dan memungkinkan mereka menjual beras pada harga 30-50 persen di bawah biaya produksi riil.

Di 30 negara terkaya di dunia, subsidi menyumbang 30 persen pendapatan petani, dengan total nilai subsidi yang disalurkan mencapai 280 miliar dollar AS tahun lalu.

Di balik kebijakan ini, ada tujuan lain negara-negara maju, yakni mengurangi kompetisi dan mencegah gejolak pasar, seperti anjloknya harga dunia yang bisa mengganggu kepentingan pemain-pemain besar untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dari pasar (Alex Lantier: The World Food Crisis and The Capitalist Market).

Politik imperialisme itu mengakibatkan banyak negara miskin di Afrika dan Asia tak lagi swasembada pangan dan menjadi rentan terhadap gejolak harga pangan dunia.

Paksakan GMO

Modus lainnya yang dipakai adalah melalui kedok ”bantuan pangan”. Politik bantuan pangan yang diterapkan AS selama ini, misalnya, ternyata lebih dimaksudkan untuk melayani kepentingan raksasa agrobisnis dan juga perusahaan-perusahaan perkapalan AS, yakni dalam rangka memperluas pasar mereka.

Berbeda dengan negara-negara lain, bantuan pangan AS mensyaratkan bantuan yang diberikan diproduksi, diproses, dan dikapalkan sendiri oleh perusahaan-perusahaan AS. Tentu saja ini sangat mahal, membebani negara penerima dan hanya menguntungkan perusahaan-perusahaan AS sendiri.

Demi kepentingan bisnis segelintir konglomerat bioteknologi, benih hasil rekayasa genetik (genetically modified organism/GMO) juga dipaksakan ke petani negara-negara berkembang dalam konteks ”program bantuan pangan”.

Dalam kasus di Etiopia, benih GMO disalurkan sebagai bantuan bagi petani miskin yang mengalami kekeringan parah. Setelah ditanam dan panen, baru petani menyadari bahwa benih hasil panenannya ternyata tidak boleh ditanam lagi, tanpa membayar royalti kepada produsen benih.

Bukan itu saja, benih tersebut ternyata juga hanya bisa tumbuh jika memakai pupuk, insektisida, dan herbisida yang juga diproduksi oleh produsen yang sama. Di sini, perekonomian petani dijebak masuk dalam perangkap ketergantungan di tangan konglomerat agrobisnis negara maju, seperti Monsanto, Syngenta, Aventis, DuPont, Dow Chemical, Cargill, dan ADM.

Siklus pertanian tradisional yang memungkinkan petani melakukan reproduksi benih di tingkat petani sendiri—yakni dengan menyisihkan benih organik dari hasil panenannya untuk ditanam pada musim tanam berikutnya— menjadi terputus. Akibatnya, tragedi kelaparan terus berulang.

Gagalnya kapitalisme

Kalangan pengamat mencatat semakin terglobalisasi dan terkonsentarsinya produksi pangan global sejak 1970-an. Dewasa ini, perdagangan komoditas pangan pokok didominasi hanya oleh segelintir pemain besar.

Sekitar 80 persen pasar ekspor gandum dikuasai hanya oleh enam pemain. Hal serupa terjadi pada 85 persen pasar ekspor beras. Untuk jagung, 70 persen pasar ekspor bahkan hanya dikendalikan oleh tiga pemain. Ini membuat nasib negara-negara termiskin yang harus mengimpor pangan untuk bisa bertahan hidup menjadi sepenuhnya ada di tangan segelintir korporasi.

Food & Water Watch mencatat, lahan pertanian tanaman pangan di Afrika sejak WTO efektif terbentuk terus menyusut. Sebaliknya, luasan lahan untuk tanaman komersial, seperti kopi, kakao, tebu, kapas, tembakau, dan teh, terus meningkat pesat.

Presiden Venezuela menggambarkan krisis pangan dewasa ini sebagai bukti nyata kegagalan model kapitalisme global. Mantan Presiden Kuba Fidel Castro Ruiz bahkan menyebut program biofuel yang diprakarsai AS dan Uni Eropa sebagai genosida.

Mantan analis pemerintahan federal AS, Richard Cook, dalam tulisan Crisis in Food Prices Threatens Worldwide Starvation: Is It Genocide sependapat dengan Bank Dunia, kini saatnya kembali ke sawah. Dalam kaitan ini, ia menekankan pentingnya dukungan kebijakan penuh dari pemerintah, mulai dari kredit lunak, jaminan harga, pelayanan yang terjangkau, kebijakan pajak yang mendukung dan hingga yang ekstrem: gerakan nasional untuk mengonsumsi produksi dalam negeri.

”Produksi pangan tidak boleh lagi diserahkan ke tangan perusahaan agrobisnis dan kapitalisme finansial internasional,” ujarnya. (sri hartati samhadi)


sri hartati samhadi

Dapatkan artikel ini di URL:
http://entertainment.kompas.com/read/xml/2008/08/08/01295845/dihancurkan.oleh.rezim.perdagangan.global

Thursday, August 7, 2008

Dunia Bisa Dibuat Lebih Baik

Kompas, Kamis, 7 Agustus 2008

New York, Selasa - Kenaikan harga pangan dan energi, perubahan iklim, serta meningkatnya migrasi dan kejahatan internasional akan memicu ketidakadilan dan kekerasan di dunia pada dekade mendatang. Demikian isi laporan berjudul ”2008 State of Future Report” yang dibuat para analis di lembaga Millennium Project.

Laporan itu dimotori World Federation of UN Associations, badan-badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang memiliki perwakilan di lebih dari 100 negara. Laporan itu dipublikasikan di Markas PBB di New York, Amerika Serikat, Selasa (5/8).

Laporan itu mengingatkan para pemimpin dunia bahwa masih ada instrumen yang bisa membuat ancaman itu tak terwujud. Instrumen yang dimaksud adalah kemajuan sains dan teknologi, perbaikan pendidikan, ekonomi, manajemen, dan sistem, serta perbaikan etika atau perilaku di berbagai bidang. ”Hal ini, jika terwujud, akan membuat dunia lebih baik dibandingkan dengan keadaan sekarang ini,” demikian isi laporan tersebut.

Laporan itu mengemukakan ada 15 tantangan global yang mengancam dunia pada masa datang. Beberapa di antaranya adalah kelangkaan persediaan air, krisis energi, hingga peningkatan kejahatan terorganisasi dan etika global makin kacau. Hal itu memerlukan perhatian penuh untuk diatasi secara dini.

Laporan tersebut juga menyatakan, separuh dunia ini sangat rentan ketidakstabilan sosial dan kekerasan. Hal ini antara lain adalah dampak negatif dari kenaikan harga pangan dan energi, jatuhnya sejumlah pemerintahan akibat gagalnya negara-negara, serta kelangkaan air dan faktor lainnya.

Laporan itu mengutip Pusat Analisis Angkatan Laut AS yang mengidentifikasi 46 negara berpenduduk 2,7 miliar jiwa rawan akan konflik bersenjata. Sebanyak 56 negara berpenduduk 1,2 miliar jiwa menghadapi risiko ketidakstabilan politik.

Hingga pertengahan tahun 2008, demikian laporan tersebut, sudah terjadi 14 peperangan yang mengakibatkan lebih dari 1.000 orang tewas. Peperangan itu terjadi di Afrika (5), Asia (4), Amerika (2), Timur Tengah (1), dan satu lagi didefinisikan sebagai gerakan antiekstremis global.

Krisis pangan

Laporan itu juga mengingatkan kembali perkiraan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), ada 37 negara yang menghadapi krisis pangan. Krisis pangan tersebut disebabkan oleh berbagai faktor, seperti permintaan yang terus meningkat pesat dari negara-negara berkembang, harga minyak yang semakin tinggi, hingga mahalnya pupuk dan spekulasi di pasar komoditas.

”Harga bahan pangan pokok akan naik 50 persen dari sekarang pada 2013 dan menjadi dua kali lipat di seantero dunia dalam 30 tahun mendatang. Harga biji-bijian sebagai contoh, termasuk gandum dan beras, telah naik 129 persen sejak 2006,” demikian peringatan laporan itu.

Ditambahkan, ada potensi untuk terjadinya sekitar tiga miliar jiwa warga dunia yang berpendapatan 2 dollar AS atau kurang dari itu per hari. Jika ini terjadi, konflik sosial global dalam jangka panjang tampaknya tidak dapat dihindari.

Namun, berita positifnya adalah, hal ini dapat dihindari jika ada kebijakan pangan yang serius dan berguna. ”Penemuan ilmiah tentang pangan akan membawa kecerahan baru,” demikian tertulis dalam laporan itu.

Permintaan pangan yang lebih banyak juga memerlukan pasokan air, tanah, dan pupuk. Para penulis laporan merekomendasikan cara pertanian baru, seperti sistem pengairan yang lebih baik, manajemen irigasi, dan rekayasa genetika untuk menghasilkan bulir yang lebih banyak.

Senada dengan peringatan itu, dalam sebuah seminar di Bandung, Rabu (6/8), Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda mengatakan RI akan mendesak PBB untuk menjadikan isu ketahanan pangan dalam agenda Sidang Umum PBB pada September 2008.

Rencana itu didukung Mesir dan Cile. Isu pangan, kata Hassan, dalam lima bulan terakhir menjadi kekhawatiran sejumlah negara berkembang dan miskin di dunia. Naiknya harga bahan bakar diiringi naiknya harga pangan membuat sejumlah negara mengalami krisis pangan dan politik. ”Isu pangan memicu demonstrasi di Manila, Banglades, dan bahkan menjatuhkan pemimpin di Haiti,” tutur Hassan.

Laporan PBB itu juga menyebutkan salah satu tantangan utama yang dihadapi umat manusia ke depan adalah ketersediaan air. Laporan itu mengatakan sekarang saja sudah ada 700 juta jiwa yang kekurangan air, atau hanya mendapatkan air kurang dari 1.000 kubik meter per orang per tahun. Angka ini dapat bertambah menjadi tiga miliar orang pada tahun 2020 karena perubahan iklim.

Perubahan iklim

Laporan itu juga memperingatkan Afrika akan mengalami pukulan paling berat walaupun benua itu juga berkontribusi pada masalah iklim. Bagian selatan Afrika diperkirakan akan mengalami penurunan produksi jagung hingga 30 persen pada 2030.

Lembaga itu menyerukan agar dibentuk strategi global AS-China untuk membahas masalah perubahan iklim secara serius. Strategi itu akan mampu mendorong berbagai penemuan dan tindakan yang mengatasi dampak buruk perubahan iklim.

Hal ini, misalnya, bisa diwujudkan dengan menciptakan kendaraan elektrik, pertanian dengan air asin, pengurangan emisi karbon, satelit tenaga surya, protein hewani dari bahan nonhewan, dan lainnya.

Persoalan energi akan memusingkan kepala. Masalahnya, permintaan global terhadap energi akan bertambah menjadi dua kali lipat dalam jangka 20 tahun. Di sisi lain sumber-sumber energi utama semakin sedikit. Laporan itu merekomendasikan investasi besar-besaran untuk menghasilkan energi tenaga angin, panas bumi, matahari, biofuel berbasis air asin. (AFP/JOE)


joe

Dapatkan artikel ini di URL:
http://entertainment.kompas.com/read/xml/2008/08/07/02032225/dunia.bisa.dibuat.lebih.baik

Saturday, August 2, 2008

Press Release Serikat Petani Indonesia

Jakarta, 30 Juli 2008--PERUNDINGAN Agenda Doha WTO kolaps kemarin (29/7), di
Jenewa, Swiss. Perundingan yang dimulai dari tahun 2001 ini sudah sejak lama
jatuh-bangun: Mulai tahun 2003, 2005, hingga tahun 2006. Penyebabnya satu:
bahwa perdagangan bebas di tiga sektor (pertanian, industri dan jasa) adalah
masalah, bukan solusi dari problem rakyat.

Di dalam sektor pertanian, hampir tidak ada kesamaan persepsi di antara
negara-negara miskin dan berkembang dengan negara maju. Di tingkatan riil,
hasil perundingan WTO sejak tahun 1995 telah banyak merugikan petani kecil
di kedua belah pihak. Agenda Doha juga secara umum hanya memaksa
negara-negara untuk membuka pasarnya, sementara proteksi diminimalisasi. Di
sisi lain, masih terjadi perdebatan besar mengenai proteksi luar biasa yang
dipraktekkan di Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE). Hal demikian juga
berlaku pada sektor industri dan jasa.

Sementara kita melihat, liberalisasi sektor pertanian tidak akan memecahkan
krisis pangan saat ini. Yang diinginkan petani adalah proteksi, sehingga ada
kepastian dan insentif dari pasar domestik. Petani bukan anti-perdagangan,
namun perdagangan haruslah adil. Tidak seperti perdagangan bebas ala WTO,
yang hanya menguntungkan segelintir tengkulak, pedagang dan perusahaan
transnasional.

Dalam proposal yang lebih kompromistis di dalam WTO, Indonesia mengusulkan
Special Product dan Special Safeguard Mechanism (SP/SSM) yang diharapkan
melindungi petani. Petani menilai hal tersebut harus dilakukan semaksimal
mungkin, karena perlindungan petani bukanlah diatur oleh pasar. Perlindungan
petani adalah kewajiban negara (*state obligation*), lagipula pangan dan
petani bukanlah sekadar dinilai komoditas dan tenaga kerja belaka.

Jika melihat proyeksi keuntungan dari Agenda Doha, negara miskin dan
berkembang hanya akan memperoleh 'potongan kue' sebanyak US$ 16 milyar. Jika
dibagi ke seluruh rakyat di negara berkembang, tak sampai satu sen
keuntungan mampir ke tangan rakyat per harinya. Di lain pihak, kerugian
pendapatan negara dari pemotongan tarif, dan berjuta orang dalam sektor
pertanian dan industri yang kehilangan pekerjaan sangatlah mengerikan.

Agenda Doha sangatlah buruk, dan sudah pula gagal berulang kali. Prosesnya
pun tak demokratis, dengan membiarkan hanya segelintir negara G-7 yang
mengambil keputusan. Sudah saatnya Indonesia menguatkan dirinya dalam forum
regional dan multilateral, dan adalah mutlak menolak Agenda Doha, serta WTO
pada umumnya. Dalam 7 tahun, Agenda Doha sudah kolaps dan dalam 13 tahun,
penderitaan rakyat atas liberalisasi WTO sudah sangat mengerikan. Sudah
saatnya Indonesia dan negara-negara lain melupakan WTO. Sudah saatnya pula
melihat ke depan, menuju sebuah sistem perdagangan multilateral yang adil.
Sistem yang bisa melindungi petani, serta rakyat pada umumnya; dan yang bisa
beraksi nyata mengatasi krisis pangan, energi, iklim dan finansial.*****

*Kontak: Henry Saragih, Ketua umum SPI (0816 31 4444 1, email:
hsaragih@spi.or.id)*

Rafael V. Mariano, chairperson of the Peasant Movement of the Philippines, 2000

Food has long been a political tool in US foreign policy. Twenty-five years ago USDA Secretary Earl Butz told the 1974 World Food Conference in Rome that food was a weapon, calling it 'one of the principal tools in our negotiating kit.' As far back as 1957 US Vice-President Hubert Humphrey told a US audience, "If you are looking for a way to get people to lean on you and to be dependent on you in terms of their cooperation with you, it seems to me that food dependence would be terrific."