Friday, April 18, 2008

Penolakan terhadap revisi UU No. 13 Tahun 2003

Yohanes Maryono
Mahasiswa FTW

Bahan bacaan berisi ajakan untuk menolak UU No.13 Th. 2003 tentang ketenagakerjaan dan revisinya di Indonesia. Penolakan itu berdasarkan pemahaman bahwa UU tersebut tidak adil karena lebih memihak para pemilik perusahaan dan sangat merugikan kaum buruh
. Lahirnya UU tersebut merupakan kebijakan pemerintah dalam memenuhi permintaan modal asing yang dipaksakan oleh WTO dan IMF demi liberalisasi pasar. Undang-undang No. 13 th 2003 tentang ketenagakerjaan, bersama UU No.21 th 2000 tentang Serikat Pekerja dan UU No.2 th 2004 tentang PPHI, mengganti UU No.22 th 1957 dan UU No.12 th 1964 sebelumnya yang lebih memberikan perlindungan bagi buruh oleh pemerintah berupa kepastian kerja dan perlindungan sosial. Keberatan utama terhadap UU No. 13 th 2003 tersebut adalah bahwa pemerintah lepas tangan (tidak memberikan perlindungan kepada kaum buruh) dan menyerahkan sepenuhnya masalah perburuhan pada mekanisme pasar. Hal ini ditunjukkan dengan isi UU tersebut yang menghilangkan jaminan hak atas pekerjaan, melegalisasikan praktik-praktik sistem kerja kontrak ilegal dan outsourcing, melepaskan tanggung jawab dan kewajiban negara untuk melindungi buruh dalam mempertahankan hak atas pekerjaannya, mengekang serikat buruh dan melegitimasi kebijakan upah murah.

Pasal-pasal yang direvisi dalam UU No.13 th 2003 dan berdampak buruk bagi buruh, antara lain pasal mengenai buruh kontrak dan outsourcing, upah, cuti, jaminan sosial, PHK dan uang pesangon, kesalahan berat dan skorsing, kebebasan berserikat, mogok kerja, dan tenaga kerja asing. Penjelasan bahwa pasal-pasal tersebut merugikan kaum buruh adalah demikian. Penerapan sistem kontrak dan outsourcing secara jelas memperlemah posisi buruh karena tidak ada kepastian kerja, kepastian upah, jaminan sosial, THR dan tunjangan kesejahteraan lainnya. Legalisasi sistem ini, dengan waktu masa kontrak dijadikan 5 tahun, akan mengakibatkan PHK amat banyak dan pengalihan status buruh tetap menjadi (seluruhnya) buruh kontrak atau outsourcing. Upah pensiun dengan demikian tidak ada dan jaminan sosial bagi buruh menjadi hilang. Buruh tidak memiliki posisi tawar kuat dan terjerat dalam persaingan pencarian kerja yang ketat. Dampaknya, buruh terpaksa menerima upah berapapun daripada perusahaan mencari pekerja lainnya yang tersedia banyak. Penetapan upah minimum (UMK/UMP) berdasarkan kemampuan sektor usaha yang paling lemah/marginal dan hanya sebagai jaring pengaman saja, akan cenderung dijadikan dasar bagi perusahaan menengah dan besar untuk serendah mungkin membayar upah buruhnya meski sebenarnya perusahaan memiliki kemampuan yang lebih dari itu. Penghilangan pasal hak cuti secara jelas mengurangi kesejahteraan buruh. Peraturan PHK yang lebih mudah, uang pesangon maksimal 7 bulan upah, dan uang penghargaan bagi masa kerja diatas 5 tahun dengan besar maksimal 6 bulan upah, jauh lebih merugikan buruh dibanding peraturan-peraturan sebelumnya. Perusahaan terbebas dari kewajiban membayar pesangon dan memberi hak buruh lainnya bila perusahaan menutup produksi karena alasan forced majeur. Perusahaan juga akan diperbolehkan untuk melakukan skorsing kepada buruh yang melakukan kesalahan berat. Kebebasan berserikat yang tampaknya dipermudah sebenarnya justru membatasi karena tidak ada jaminan perlindungan bagi buruh yang mengikuti kegiatan serikat buruh. Sistem kontrak dan outsourcing akan membuat buruh untuk takut berserikat karena lebih mengutamakan jaminan atas kelanjutan masa kontraknya. Hak mogok kerja yang terbatas hanya bila perundingan gagal dan di tempat kerja saja akan mengekang kekuatan buruh. Keterbukaan pemerintah dengan mempermudah kehadiran tenaga kerja asing akan mengalahkan buruh dari dalam negeri karena pada umumnya tenaga kerja asing memiliki ketrampilan dan pendidikan yang lebih tinggi. Padahal, jumlah rakyat Indonesia yang menganggur telah mencapai angka 42 juta orang.

Fenomena UU No.13 th 2003 tentang ketenagakerjaan ini menjadi bukti dari dampak buruk globalisasi ekonomi zaman ini yang sering disebut dengan race to the bottom. Persaingan diantara negara-negara berkembang memaksa pemerintah Indonesia untuk membatalkan berbagai peraturan yang bersifat protektif demi memperebutkan investasi asing. Pemerintah Indonesia secara jelas ingin mengupayakan penciptaan iklim investasi yang kondusif bagi pasar bebas tanpa mempedulikan peningkatan eksploitasi terhadap buruh yang menjadi efek negatifnya. Pertanyaan mengenai siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan atas kebijakan ini selalu pantas untuk dipikirkan. Hakikat bahwa hukum (aturan perburuhan) semestinya hadir untuk melindungi kepentingan buruh ternyata diingkari. Perekonomian negara dijadikan dalih untuk mengedepankan kepentingan pemilik modal dengan menjadikan kaum buruh sebagai tumbal. Pemerintah yang seharusnya hadir untuk melindungi justru takluk dan menjadi alat bagi kepentingan kapital. Dengan demikian, labour market flexibility sebenarnya hanyalah agenda para pendukung neoliberal untuk mengikis proteksi (job security) negara atas kaum buruh. Segala hal telah tereduksi menjadi hanya sebatas persoalan untung-rugi dengan menelantarkan persoalan kemanusiaan yang semestinya menjadi pertimbangan utama untuk itu.

Wednesday, April 16, 2008

Pertanyaan penuntun

1. Mengapa "negara" terlibat dalam urusan perdagangan? Bukankah yang berdagang adalah individu-individu (pedagang), bukan negara? Apa artinya "free trade"? Di mana letak titik pertentangannya? Apa yang dilakukan untuk mengatasi kendala itu?

2. Kalau pasar keuangan sudah ada sejak jaman dulu, apa yang khas dari pasar keuangan sekarang? Kapan titik balik itu terjadi? Terlepas dari aktor-aktor yang bermain di sini, juga instrumen yang tersedia, "krisis keuangan" sebenarnya disebabkan oleh apa?

3. Dalam arti apa MNC/TNC dapat menaklukkan negara? Bukankah negara adalah organisasi politik yang memiliki kedaulatan teritorial? Apa akibat dari "kemenangan" MNC bagi kebijakan nasional? Apakah pernah ada dalam sejarah sebuah negara di abad ke-21 ini yang berhasil melawan dan mengalahkan MNC?

Tuesday, April 1, 2008

RACE TO THE BOTTOM

Benny Juliawan, SJ

Kandidat doktor, Oxford University


Tulisan ini hendak mengulas hanya salah satu sisi saja dari dampak globalisasi yaitu gejala yang sering disebut sebagai race to the bottom. Gejala ini menunjuk pada perlombaan di antara negara-negara berkembang untuk membatalkan berbagai peraturan yang bersifat protektif demi memperebutkan investasi asing. Mereka mengambil keputusan ini setelah berhasil diyakinkan mengenai keunggulan-keunggulan ekonomi pasar yang terbuka. Dalam jargon pembangunan di Indonesia, gejala ini kerap diwakili oleh istilah ‘penciptaan iklim investasi yang kondusif’.

Negara-negara berkembang berlomba-lomba berpartisipasi dalam pusaran pasar dunia. Caranya mereka menggenjot industri dalam negeri untuk ekspor sambil berusaha menarik investasi asing supaya menanamkan modalnya, membawa teknologi dan dana yang sangat dibutuhkan negara berkembang. Berbagai paket kebijakan ekonomi diciptakan demi ‘menciptakan iklim investasi yang kondusif’. Bentuknya biasanya berupa pengurangan atau penghapusan pajak ekspor, pembebasan bea impor untuk barang modal yang nanti dipakai untuk produksi ekspor, keringanan pajak bumi dan bangunan, kemudahan perijinan, penurunan atau penghapusan standar pengolahan limbah, dan kemudahan merekrut dan memecat buruh.

Masalahnya, industri di negara-negara berkembang didominasi oleh sektor manufaktur yang berteknologi rendah seperti tekstil, garmen, dan sepatu. Karena kemudahan teknologi dan modal pasar dunia untuk sektor ini telah disesaki oleh pemain-pemain besar yang memproduksi barang-barang yang nyaris seragam. Tengoklah toko-toko pakaian dan sepatu, maka akan kita dapati barang-barang buatan Cina, Vietnam, Kamboja, India, Mesir selain Indonesia. Di mana-mana di dunia hampir pasti label barang yang kita beli dibuat di negara-negara tersebut. Negara-negara lain yang baru saja mengakhiri perang biasanya juga tertarik untuk masuk ke pasar yang sudah sesak ini.

Maka, modal asing tinggal memilih negara mana yang menawarkan paket paling kompetitif. Terjadi persaingan di antara negara-negara berkembang dan mereka dengan sendirinya terjerumus dalam perlombaan menurunkan dan mengurangi segala macam hambatan terhadap investor asing seperti yang disebutkan di atas. Makin lama makin tidak ada hambatan. Pada akhirnya situasi perusahaan di negara berkembang itu akan terjerembab pada lantai yang paling dasar (bottom). Segala sesuatu menjadi "sangat murah" sedemikian murah sehingga merugikan negara dan masyarakat, terutama buruh.

Race to the bottom menjadi gambaran bagaimana kebijakan pembangunan negara-negara berkembang didikte oleh modal asing yang melanglang buana mencari peluang investasi paling menguntungkan. Negara secara langsung maupun tidak langsung ditekan supaya melonggarkan pembatasan terhadap lalu lintas barang, jasa dan modal yang melintasi wilayah kedaulatannya.

Apakah tidak ada alternatif? Race to the bottom memang bukan satu-satunya cerita. Beberapa negara berkembang sukses menerapkan strategi yang sering disebut high road. Demi menarik investasi asing, negara menaikkan daya kompetisinya dengan cara meningkatkan keterampilan tenaga kerja, berinvestasi besar-besaran di bidang infrastruktur, menyisihkan anggaran untuk riset dan pengembangan serta membangun relasi industri yang stabil.

Selain itu, masih ada peluang-peluang lain yang bisa dimanfaatkan oleh negara berkembang untuk keluar dari jerat race to the bottom itu. Kebijakan menarik investasi asing itu pada umumnya hanya mempengaruhi kebijakan di tingkat makro. Sekalipun sudah semakin sempit, namun sebenarnya masih ada ruang untuk bermanuver di tingkat makro ini seperti yang ditunjukkan Cina lewat kebijakan menetapkan atau pegging kurs mata uangnya terhadap dollar Amerika. Negara juga masih bisa menggunakan kebijakan ekonomi mikro untuk menyiasati kuatnya tekanan modal asing. Kebijakan sektoral perindustrian, teknologi dan kebijakan perburuhan sangat mungkin untuk digunakan.

Soalnya, seringkali bagi negara berkembang hal ini bukan lagi masalah pilihan, mau race to the bottom atau menempuh high road. Negara-negara ini telanjur terjerat utang yang mengandung syarat supaya menempuh liberalisasi, deregulasi dan privatisasi. Investasi di bidang tenaga kerja dan infrastruktur membutuhkan biaya yang sangat banyak sementara tangan negara telanjur terikat untuk membayar utang dan dilarang turun langsung di bidang ekonomi. Lagipula, penentu kebijakan publik sudah ditawan oleh koalisi para pemodal atau mobile capitalists (Andrew Rosser, 2002) yang bisnisnya sangat tergantung pada kelancaran arus modal asing. Merumuskan kebijakan publik yang memihak ekonomi nasional bukan hanya masalah teknis. Terlalu banyak kepentingan yang ikut menentukan prosesnya dan kebijakan negara telah kehilangan ciri publiknya.

Baiklah diingatkan di sini bahwa negara-negara berkembang sekarang juga tidak berkutik karena alasan lain. Pemerintah-pemerintah negara maju sudah lama mengkampanyekan keunggulan ekonomi pasar yang liberal. Kampanye ideologis ini menuntun arah dan membentuk bangunan ekonomi global seperti yang kita lihat sekarang ini.

Kampanye mereka pada dasarnya berisi ajakan dan dorongan bahkan paksaan untuk mengubah kebijakan ekonomi nasional ke tiga arah utama ini: 1) mengurangi intervensi langsung negara di bidang ekonomi; 2) mengubah orientasi industri dari ISI (import substitution industrialisation) yang berciri swasembada ke EOI (export-oriented industrialisation) yang ditentukan oleh pasar dunia; 3) membuat deregulasi, liberalisasi dan privatisasi. Intinya ketiga resep ini dituntun oleh gagasan ekonomi neoklasik yang mendewakan peran pasar baik sebagai mekanisme distribusi sumberdaya maupun sebagai pengatur masyarakat. Ekonomi pasar yang liberal seluas dunia akan memungkinkan lalu lintas barang, jasa dan modal yang bebas lintas batas negara. Hal ini pada gilirannya akan meningkatkan efisiensi distribusi barang dan jasa secara global. Gencarnya kampanye negara-negara maju selama beberapa dekade terakhir ini berhasil menyeragamkan kebijakan ekonomi banyak negara dan telah menciptakan kesan bahwa inilah model ekonomi (dan politik) satu-satunya yang masuk akal.

Jadi, negara lemah, investor berjaya, masyarakat pun tak berdaya!

Rafael V. Mariano, chairperson of the Peasant Movement of the Philippines, 2000

Food has long been a political tool in US foreign policy. Twenty-five years ago USDA Secretary Earl Butz told the 1974 World Food Conference in Rome that food was a weapon, calling it 'one of the principal tools in our negotiating kit.' As far back as 1957 US Vice-President Hubert Humphrey told a US audience, "If you are looking for a way to get people to lean on you and to be dependent on you in terms of their cooperation with you, it seems to me that food dependence would be terrific."