Sunday, February 24, 2008

Private property

"Private property" atau hak milik pribadi sudah menjadi bahan pembicaraan lama di kalangan filsuf dan politisi, terutama ekonom. Dalam rangka diskusi tentang pasar bebas, pokok tentang hak milik pribadi menjadi bahasan yang utama. Tidak mungkin membicarakan transaksi jual-beli dengan sistem pasar tanpa pengakuan tentang hak milik pribadi. Ketika saya membeli sebidang tanah, misalnya, saya harus mendapat kepastian bahwa tanah yang saya beli itu tidak bisa diambil oleh orang lain. Jaminan ini harus ada.

Hak milik pribadi berarti hak untuk (1) menguasai (control) pemakaian harta milik itu, artinya saya berhak memakai harta itu sesuai dengan kehendak saya. Saya boleh mempercantik gedung itu, tetapi saya juga bisa merusak, bahkan menghancurkannya. Lalu, hak itu juga berarti bahwa (2) saya berhak memperoleh keuntungan dari milik itu. Misalnya, saya boleh menarik uang sewa atas rumah yang saya sewakan kepada orang lain. Dengan hak atas milik itu, saya juga (3) berhak untuk mengalihkan atau menjualnya. Gedung yang saya miliki boleh saya jual kepada pihak lain, dan tidak boleh dihalang-halangi. Terakhir, hak milik itu (4) melarang orang lain ikut memilikinya. Semua yang saya miliki sungguh milik saya, tidak bisa dimiliki juga oleh orang lain.

Ada beberapa macam hak milik: real property (tanah), personal property (barang fisik lainnya), intellectual property (hak atas karya seni, penemuan, dsb.). Negara, seperti telah dikemukakan dalam bahasan tentang "pasar bebas," mempunyai peran penting untuk menjamin hak milik pribadi ini. Dengan kata lain negara membuat hukum yang menjamin hak milik pribadi. Setiap pelanggaran terhadap hukum tersebut, dapat ditindak oleh negara. Di negara-negara yang menganut sistem pasar pasti ada hukum yang mengatur hak milik.

Misalnya, UUD Amerika Serikat dalam amandemen kelima dan amandemen keempat belas memberi jaminan atas hak milik ini. Amandemen kelima menyatakan: "Nor be deprived of life, liberty, or property, without due process of law; nor shall private property be taken for public use, without just compensation." Sementara Amanden Keempatbelas menegaskan: "State shall make or enforce any law which shall abridge the privileges or immunities of citizens of the United States; nor shall any State deprive any person of life, liberty, or property, without due process of law."

Dari mana asal hak milik pribadi? Bagaimana bisa individu memiliki hak milik? Secara garis besar dapat dibedakan dua teori hak milik pribadi, masing-masing dengan implikasinya sendiri. Teori yang pernah populer adalah teori yang didasarkan atas hukum kodrat, yang mengatakan bahwa menurut kodratnya manusia memiliki hak atas barang ciptaan Allah. Tetapi manusia, karena usaha dan kerjanya, mempunyai hak atas hasil kerjanya itu, yang tidak bisa dimiliki oleh orang lain. “The labour that was mine, removing them out of that common state they were in, hath fixed my property in them,” kata John Locke. Pandangan ini juga dianut oleh Paus Leo XIII dalam Rerum Novarum: "It is surely undeniable that, when a man engages in remunerative labor, the impelling reason and motive of his work is to obtain property, and thereafter to hold it as his very own."

Teori yang kedua mengatakan bahwa hak milik pribadi itu bersifat sosial. Hak milik itu bukan hubungan antara manusia dan benda, tetapi hubungan manusia dan manusia dalam kerangka kepemilikan benda-benda itu. Dengan kata lain, hak milik pribadi itu adalah konvensi sosial. Ini berarti bahwa hak milik pribadi bisa digugat jika hak milik pribadi itu menghalangi orang lain. Pandangan ini tercermin dalam undang-undang yang mengatakan bahwa hak milik pribadi tidak boleh melanggar public property rights, di antaranya tidak boleh menimbulkan ancaman penyakit kepada orang banyak, menimbulkan ancaman bagi keamanan, perdamaian, atau juga kenyamanan (convenience). Bahkan hak milik seseorang yang menimbulkan ketidaknyamanan (nuissance) dapat dipermasalahkan karena melanggar hak milik orang lain.

Penentang hak milik pribadi yang paling jelas datang dari kaum sosialis dan komunis. Bagi mereka hak milik pribadi itu secara inheren tidak sah karena hak milik pribadi memberi keuntungan pada satu kelas saja dan merugikan kelas yang lain. Pada akhirnya, hal ini akan menimbulkan dominasi dari kelas yang memiliki hak milik itu (kaum borjuasi). Maka bagi kaum komunis khususnya hak atas milik pribadi itu harus dihapus.

Saturday, February 23, 2008

Pasar Bebas



Diskusi tentang perdagangan bebas sebenarnya didasarkan atas asumsi "pasar bebas" (free market). Karena dianut prinsip pasar bebas, maka dianut pula perdagangan bebas. Yang satu di tingkat individual, yang kedua di tingkat negara. Adam Smith, walaupun tujuan terakhirnya adalah bicara tentang perdagangan bebas, dia menyediakan cukup alinea untuk pasar bebas.

Smith memahami individu mengadakan tukar-menukar barang (exchange) dalam sebuah arena yang tidak dicampuri oleh negara. Artinya, negara tidak mengatur apa yang harus dijual dan apa yang harus dibeli. Atas dasar kebutuhan seorang individu akan menentukan apa yang dijual dan apa yang dibeli. Individu itu rasional, tahu betul apa "kepentingan pribadinya" (self-interest). Seorang konsumen tidak akan membeli terlalu banyak, demikian pula seorang produsen tidak akan menjual terlalu banyak. Dengan demikian masyarakat tidak akan mengalami kekurangan atau kelebihan. Ada sebuah "tangan tak kelihatan" (invisible hand), katanya, yang membimbing semua ini. Pasti tangan tak kelihatan bukan negara (negara diibaratkan sebagai tangan yang kelihatan!).

Bagaimana ini mungkin? Kalau individu hanya memikirkan kepentingan pribadinya, dan tangan tak kelihatan menjadi pembimbingnya, bukankah masyarakat akan hancur? Smith mengatakan justru karena individu memikirkan kepentingan pribadinya maka masyarakat akan sejahtera! Hal yang kelihatannya kontradiktif diterangkan oleh Smith sebagai berikut. Bayangkan ada seorang penjual roti. Kegiatan ini dilakukan karena dia ingin mendapatkan nafkah dan karena dia tidak bisa menjual yang lain. Kegiatan yang kelihatannya egois ini ternyata membawa manfaat bagi orang banyak karena dengan demikian orang dapat menikmati roti. Si penjual roti tentu tidak berpikir bahwa dia sedang "membantu" orang lain, dia hanya berpikir untuk mendapatkan nafkah! Kalau situasi ini dilakukan oleh semua orang, seluruh masyarakat akan menikmati aneka macam produk. Beginilah Smith merumuskan pendapatnya itu dalam kutipan yang terkenal:

"He … neither intends to promote the public interest, nor knows how much he is promoting it … he intends only his own gain, and he is in this, as in many other cases, led by an invisible hand to promote an end which was no part of his intention.”

Dalam perkembangannya apa yang dikemukakan oleh Adam Smith ini terkenal dengan yang disebut "mekanisme pasar" yang didasarkan atas "hukum permintaan dan penawaran" (the law of supply and demand). Seperti kita pelajari di bangku SMU, hukum ini dikatakan selalu mengarah kepada titik keseimbangan (equilibrium), ada keseimbangan antara permintaan dan penawaran. Ketika terjadi kenaikan permintaan, harga akan naik, dan ini mendorong produsen untuk menambah persediaan barang. Ketika terjadi persediaan yang terlalu besar, harga akan turun, produsen akan mengurangi produksi barang tersebut. Segera nampak bahwa orang hanya harus memperhatikan naik turunnya harga (price) untuk mengetahui titik keseimbangan antara permintaan dan penawaran.

Mekanisme pasar ini memang bak mesin, yang bisa berjalan sendiri, karena "tangan tak kelihatan." Negara, kata Smith, tidak perlu mengutik-utik mesin yang sudah bisa jalan sendiri ini. Lalu apa peran negara? Peran negara cukup di tiga bidang saja: (1) menyediakan kepastian hukum, terutama dalam hal hak milik pribadi (private property), (2) menyediakan keamanan (3) menyediakan infrastruktur. Demi berlangsungnya sistem pasar, hak milik pribadi harus benar-benar terjaga, dan hal ini hanya dapat dilakukan oleh negara. Keamanan (security) tidak bisa disedikan oleh individu, terutama keamanan nasional. Negara harus mampu menghimpun kekuatan untuk melawan serangan militer dari luar. Individu juga tidak bisa menyediakan infrastruktur (jalan, pelabuhan, listrik, air, dsb.) karena hal ini termasuk public utility, yang bertentangan dengan self-interest. Tiga hal ini yang mutlak diperlukan ekonomi.

Ajaran Adam Smith ini benar-benar memukau orang pada jaman itu, juga pada jaman sekarang. Tetapi seperti sudah dikatakan dalam uraian sebelum ini (Perdagangan Bebas), Adam Smith juga pernah dicerca dan dihujat pada masa antara 1914-1945, ketika prinsip pasar bebas dituduh sebagai biang kerok dari dua perang dunia yang dahsyat itu. Pada tahun 1930 muncullah seorang ekonom, John Maynard Keynes, juga seorang dari Inggris. Berlawanan dengan Adam Smith, Keynes malah menganjurkan agar negara ikut masuk dalam pasar, ikut mempengaruhi pasar. Konteks jaman itu adalah Depresi Besar, ketika perusahaan di seluruh dunia bangkrut dan terjadi pengangguran besar. Keynes berpendapat situasi ini tidak bisa diserahkan kepada "invisible hand," harus ada tindakan dari negara. Atas anjuran Keynes ini Presiden Roosevelet di Amerika Serikat mengadakan "New Deal" yang pada dasarnya memasukkan negara dalam mekanisme pasar. Dan benar! Ekonomi Amerika perlahan-lahan ke luar dari depresi.

"Keynesianism" ini kemudian menguasai fakultas ekonomi di seluruh dunia. Mahasiswa ekonomi tidak lagi berpikir tentang tangan tak kelihatan, tetapi tangan yang kelihatan! Hal ini semakin populer ketika sesudah Perang Dunia II, negara-negara di Eropa Barat membenahi puing-puing akibat perang, dan menyelenggarakan negara kesejahteraan (welfare state). Negara sangat berperanan agar rakyatnya mampu menikmati pelayanan yang murah dan bagus di bidang kesehatan, pendidikan, dan pensiun hari tua. Banyak negara negara di Eropa Barat malahan juga menyediakan listrik murah, air murah, perumahan murah, transportasi murah, dsb. Hal ini dapat terjadi karena negara memainkan peran redistribusi, yaitu menerapkan sistem pajak progresif. Semakin kaya orang, semakin dia harus membayar pajak yang tinggi (bisa setinggi 40%). Dari hasil pajak ini, negara menyediakan semua fasilitas yang disebut diatas.

Namun, memasuki tahun 1980-an, Keynesianisme ini mengalami krisis. Sistem ini dianggap membuat orang tidak produktif, dan tidak efisien, dan tentu saja membuat negara bangkrut. Margaret Thatcher di Inggris dan Ronald Reagan di Amerika Serikat, merupakan dua orang yang berani mendobrak dan ke luar dari Keynesianisme. Di Inggris sang "Iron Lady" (demikian julukannya) membatalkan banyak hal dari welfare state sehingga terjadilah demonstrasi besar-besaran di seluruh Inggris. Di Amerika Serikat proses yang sama terjadi, walaupun sedikit lebih tenang. Pada prinsipnya kedua orang ini ingin mengembalikan lagi sistem pasar bebas dengan sedikit sekali peran negara. Dengan kata lain negara menarik diri (retreating) dari ekonomi, membiarkan semua kegiatan ekonomi dijalankan oleh perusahaan swasta (private enterprise). Apa yang dilakukan oleh negara lewat perusahaan milik negara (istilah kita: BUMN), diserahkan kepada swasta.

Adam Smith bangkit dari mati! Benar, dan tokoh yang membangkitkannya adalah seorang ekonom dari Universitas Chicago, yaitu Milton Friedman. Ekonom yang satu ini membuktikan bahwa memasukkan negara dalam ekonomi seperti diusulkan oleh Keynes itu salah. Apalagi yang dilakukan di negara-negara komunis, tempat segala kegiatan ekonomi (produksi, distribusi, konsumsi) dijalankan oleh negara. Friedman bergandengan tangan dengan Frederick von Hayek, menyerang habis-habisnya semua sendi-sendi ajaran Keynes mengenai negara, dan membangkitkan ajaran invisible hand dari Adam Smith. Ajaran Friedman dan Hayek inilah yang kini dikenal dengan nama "neo-liberalisme" karena mereka membangkitkan paham liberalisme dari abad ke-18.

Bangkitnya neo-liberalisme ini dapat dikatakan sebuah happy coincidence oleh para pendukung globalisasi. Dalam suasana gemuruh perdagangan bebas, menguatnya paham pasar bebas benar-benar merupakan sebuah berkah melimpah. Globalisasi ekonomi saat ini bersyukur mendapatkan legitimasi teoretis, baik di tingkat internasional maupun di tingkat nasional. Free market and free trade. John Williamson pada pertengahan tahun 1990-an merumuskan apa yang terjadi ini dengan istilah "Washington Consensus" karena memang ada konsensus di seluruh dunia bahwa ekonomi harus dijalankan dengan tiga jurus: swastanisasi, deregulasi, perdagangan bebas. "Deregulasi" berarti membuang regulasi oleh negara, tidak ada lagi campur tangan negara, terutama di bidang subsidi.

Neo-liberalisme yang menjelma menjadi Washington Consensus merambat ke seluruh dunia dengan kecepatan yang mengagumkan. Yang membuat "Washington Consensus" ini diterapkan di banyak negara adalah peran International Monetary Fund (IMF), World Bank dan World Trade Organization (WTO). Setiap negara yang berurusan dengan tiga lembaga internasional ini harus menerapkan Washington Consensus. Indonesia tentu saja harus melaksanakannya karena Indonesia, ketika diterpa krisis keuangan 1997, meminta bantuan dari IMF. Ini sebabnya di Indonesia sekarang terjadi pengurangan subsidi pertanian, subsidi bahan bakar, dan subsidi pendidikan. Juga terjadi privatisasi atas BUMN. Indonesia juga dipaksa untuk mengimpor beras dengan bea masuk 0.

Perlawanan terhadap neo-liberalisme atau Washington Consensus semakin menguat setelah melihat akibat buruk yang ditimbulkan. Para aktivis seluruh dunia, baik dari negara miskin maupun negara kaya, berkumpul dalam sebuah forum yang disebut World Social Forum setiap awal tahun. Di antaranya adalah seorang pemenang hadiah Nobel di bidang ekonomi 2001, Joseph Stiglitz, yang menulis Globalization and Its Discontents (2001) dan The Roaring Nineties (2003).

Keterangan gambar: di kiri atas adalah Milton Friedman, dan di kanan atas adalah John Maynard Keynes.

BOX

Istilah kunci:
(1) free market; (2) invisible hand; (3) self interest, (4) titik equilibrium; (5) Keynesianism; (6) neo-liberalisme; (7) Washington Consensus. Tongak sejarah: (1) Depresi Besar 1929; (2) New Deal di Amerika Serikat sejak tahun 1930; (3) Welfare state di Eropa Barat sejak 1945; (4) Munculnya Margaret Thatcher di Inggris dan Ronald Reagan di Amerika Serikat pada 1980; (5) peran tambahan IMF dan World Bank sejak tahun 1990-an untuk mengimplementasikan neo-liberalisme. Pemikir: (1) Adam Smith; (2) John Maynard Keynes; (3) Milton Friedman; (4) Frederick von Hayek; (5) Joseph Stiglitz.

Friday, February 22, 2008

Perdagangan Bebas


Mengapa perdagangan harus bebas? Bukankah perdagangan itu selalu bebas? Bukankah orang berjual-beli secara bebas? Sebelum gagasan "perdagangan bebas" dilemparkan oleh Adam Smith (dalam bukunya yang termasyhur, The Wealth of Nations, 1776) negara-negara tidak mendukung perdagangangan bebas. Para saudagar dari sebuah negara tidak bebas untuk mengadakan ekspor dan impor. Kecenderungan besar di Eropa pada waktu itu adalah "proteksionisme", negara melindungi diri terhadap negara lain, dalam arti hanya mengijinkan ekspor, tetapi tidak impor. Argumen yang diajukan untuk melakukan tindakan ini adalah untuk menjaga jumlah emas/perak (dalam bahasa sekarang "devisa") yang dimiliki sebuah negara. Pada saat ekspor negara mendapatkan devisa, tetapi pada waktu impor negara melepaskan devisa. Keinginan negara-negara pada waktu itu adalah bagaimana menumpuk emas/perak sebesar-besarnya karena mereka percaya bahwa dengan cara ini saja negara mereka akan menjadi kaya! Paham ini sering juga dinamakan "merkantilisme."

Adam Smith menjungkir-balikkan pandangan ini. Dia mengatakan, justru kalau sebuah negara mengijinkan warganya untuk bebas mengadakan ekspor-impor, maka negara itu akan makmur, dan demikian pula negara lain, dan banyak negara lain. Perdagangan bebas, katanya, akan mendatangkan "wealth of nations." Smith berpendapat bahwa kemampuan individu tidaklah sama, ada yang pandai untuk hal tertentu, tidak untuk yang lain. Begitu pula sebuah negara, mengingat kemampuan individu-individu yang ada di dalamnya maupun kekayaan alam yang dimilikinya. Inggris mampu memproduksi kain wool yang bagus, tetapi tidak untuk anggur. Sementara Portugal dapat menghasilkan anggur yang sangat enak, tetapi tidak untuk kain wool. Kalau kedua negara ini mengadakan tukar-menukar barang, maka rakyat kedua negara itu akan memakai kain wool yang bagus dan minum anggur yang enak. Kalau dua negara mengadakan proteksionisme, Inggris hanya pakai kain wool yang bagus, tetapi tidak minum anggur yang enak. Demikian sebaliknya dengan Portugal, minum anggur yang enak, tetapi pakai kain wool yang jelek. Adam Smith menganjurkan agar negara-negara mengadakan spesialisasi, dan atas dasar spesialisasi ini mengadakan tukar-menukar atau perdagangan. Dengan cara ini negara-negara di seluruh dunia akan menikmati kesejahteraan karena menikmati produk-produk yang terbaik.

Perdagangan bebas berarti bebas dari campur tangan negara, terutama keinginan negara untuk mengenakan bea masuk (tariff). Gagasan "free trade" ini mendapat sambutan baik di Inggris, dan pada 1846 Inggris mengumukan pembatalan "Corn Law" dan mengijinkan perdagangan bebas produk-produk pertanian. Inggris pada waktu memang sedang memasuki Revolusi Industri, mampu menghasilkan produk-produk yang bermutu tinggi. Masa antara 1864-1914 dipandang sebagai masa keemasan perdagangan bebas. Namun masa ini ditutup dengan Perang Dunia I (1914-1919), yang melibatkan negara-negara di Eropa Barat dan juga jajahan-jajahannya. Perang ini dipandang sebagai akibat dari kegagalalan perdagangan bebas, dan sejak Perang Dunia I negara-negara di seluruh dunia menutup pasarnya dengan menaikkan tarif impor. Proteksionisme berkuasa di seluruh dunia, perdagangan bebas praktis berhenti, hingga akhir Perang Dunia II (1945).

Tetapi gagasan perdagangan bebas tidak mati. Setelah Perang Dunia II berakhir, negara-negara di dunia sepakat untuk menghidupkan gagasan ini dan menjaganya. Maka pada tahun 1947 negara-negara mengadakan persetujuan bagaimana mengelola perdagangan bebas yang adil. Didirikanlah GATT (General Agreement on Tariff and Trade), yang kemudian diubah menjadi WTO (World Trade Organization) pada 1995. Sejak 1947 hingga hari ini perdagangan bebas memang dijadikan prinsip utama dalam dunia, dan ini menjadi jantung dari proses globalisasi saat ini. Pada jaman sekarang orang dapat menikmati produk-produk negara lain dengan mutu yang tinggi dan harga yang murah. Tidak hanya barang, tetapi juga jasa dapat berputar dan beredar di seluruh dunia.

Apakah perdagangan bebas benar menghasilkan "wealth of nations" seperti dikatakan oleh Adam Smith? Inilah yang menjadi perdebatan sengit antara pendukung dan pelawan globalisasi. Negara kaya dituduh pandai memanipulasi azas perdagangan bebas ini dan menjadi semakin kaya. Negara miskin mengalami hambatan memanfaatkan azas itu dan tidak beranjak dari kemiskinan. Salah satu pokok adalah nilai tukar mata uang atau exchange rate. Negara miskin/berkembang akan selalu kalah dalam berdagang karena nilai tukar mata uang mereka yang rendah dibandingkan dengan mata uang negara kaya (dollar Amerika, Euro, Yen). Belum lagi kecenderungan negara-negara kaya mempraktikkan "non-tariff barrier" (misalnya, quota, quality control, dsb. ) terhadap produk dari negara-negara berkembang. Oleh sebab itu pada saat ini sangat banyak kelompok LSM di seluruh dunia yang menentang perdagangan bebas, juga menentang WTO. Protes terbesar dan termasyhur terhadap WTO terjadi di kota Seattle, Amerika Serikat, pada Desember 1999, sehingga disebut "the Battle of Seattle."

Keterangan gambar: Adam Smith (1723-1790)

BOX

Free trade: the flow of trade based on supply and demand, free from governmental regulations, controls, and promotional activities.
Istilah kunci: (1) tariff; (2) proteksionisme; (3) merkantilisme; (4) non-tariff barrier. Tonggak sejarah: 1776, terbitnya buku Wealth of Nations karya Adam Smith; 1864, dibatalkannya Corn Law di Inggris; 1914, berakhirnya perdagangan bebas di dunia; 1947, dihidupkan kembali perdagangan bebas lewat GATT (General Agreement on Tariff and Trade); 1995, berdiri WTO (World Trade Organization) yang mengatur perdagangan bebas di dunia. Pemikir: Adam Smith (teori "absolute advantage"), David Ricardo (teori "comparative advantage").

Friday, February 15, 2008

Negara

"Negara" atau state merupakan aktor penting dalam proses globalisasi. Bagaimana negara bisa menjadi aktor penting? Pada saat ini memang tidak ada manusia yang lahir tanpa negara. Tapi sebenarnya negara baru muncul di Eropa Barat kira-kira pada abad ke-17. Sebelum masa itu Eropa tenggelam dalam sebuah masa yang disebut "Abad Gelap" (Dark Ages), sejak runtuhnya kekaisaran Romawi pada abad keempat. Dalam Abad Gelap ini Eropa terpecah-pecah menjadi unit-unit politik yang kecil, yang saling bertempur satu sama lain. Inilah zaman yang disebut "Zaman Feodal." Tidak ada sentralisasi kekuasaan dan tidak ada batas wilayah yang jelas, apalagi penduduk. Di beberapa bagian di Eropa (Inggris, Prancis, Jerman), perlahan-lahan muncul unit politik yang makin besar yang menundukkan unit-unit yang lebih kecil. Muncul yang disebut "kekaisaran" yang diperintah oleh kaisar atau raja absolut. Mereka ini berhasil menciptakan sebuah administrasi, terutama administrasi untuk menarik pajak. Mereka juga berhasil membangun sistem ketentaraan yang lebih dapat diandalkan. Kaisar-kaisar itu memang hebat, yang berhasil membuat penduduk dalam wilayah yang besar takut dan tunduk. Meski demikian, kaisar-kaisar ini gagal dalam satu hal, yaitu melindungi tapal batasnya (border). Belum ada sistem paspor pada waktu itu, sehingga orang bebas keluar-masuk sebuah wilayah, termasuk juga orang-orang yang bermaksud merongrong kekuasaan kaisar. Tapal batas adalah persoalan terbesar dari semua kekaisaran manapun.

Masalah ini baru diselesaikan ketika kekaisaran berubah menjadi "negara" atau nation-state. Organisasi politik yang baru ini lebih mampu menjaga tapal batasnya, karena sistem penjagaan yang efisien yang memberi keamanan bagi penduduk di dalamnya. Kecuali itu, negara mampu memberi jaminan bagi hak milik pribadi kepada rakyatnya, termasuk kaum pengusaha. Hal ini merupakan langkah penting perkembangan ekonomi atas dasar sistem pasar. Keamanan dan hak milik pribadi dijamin oleh negara, dan hal ini pada gilirannya menimbulkan konsolidasi dan legitimasi bagi negara. Tindakan negara juga semakin mantap, baik untuk menghadapi ancaman di dalam negeri maupun ancaman dari luar negeri.

Bagaimana dengan kedaulatan nation-state? Jauh sebelum nation-state berdiri ada sebuah konferensi penting pada abad ke-17, yang menjadi landasan kedaulatan negara, yaitu Konferensi Westphalia (1648) . Untuk pertama kalinya disetujui apa yang disebut "sovereignty" atau kedaulatan. Negara absolut mempunyai kedaulatan atas wilayah dan penduduknya, yang tidak boleh dilanggar oleh negara lain. Konsep "sovereignty" ini mencegah sebuah negara menginvasi negara lain, atau dengan kata lain, mengesahkan sebuah tapal batas. Konferensi Westphalia ini tetap mempunyai kedudukan penting hingga saat ini, abad ke-21. Ketika sekarang sebuah negara berbicara tentang kedaultan, dia sebenarnya mengacu kepada konferensi ini.

Konferensi Westphalia ini juga mempunyai arti penting lain. Dalam konferensi ini pemimpin-pemimpin negara/kekaisaran mau duduk bersama dan membuat sebuah persetujuan yang disepakati bersama, untuk mencegah terjadinya perang. Hal ini merupakan suatu hal yang sama sekali baru, tak terbayangkan pada masa feodal. Konferensi ini disusul oleh konferensi-konferensi lain di Eropa pada masa-masa sesudahnya. Dari konferensi-konferensi inilah muncul persetujuan, perjanjian, dan pada akhirnya muncul organisasi internasional. Pada jaman sekarang ada ratusan organisasi internasional, dan ini mempunyai peran vital dalam proses globalisasi.

Negara muncul sebagai keniscayaan sejarah, begitu pula organisasi internasional. Pada masa sekarang peran negara sering digugat, terutama oleh kaum pengusaha. Begitu pula organisasi internasional yang dianggap menggerus kedaulatan negara. Terjadi krisis perihal status negara, dan organisasi yang ditimbulkan. Meski demikian nampak bahwa negara akan tetap berperang penting, dan secara sadar atau tidak sadar Konferensi Westphalia masih menjadi acuan.


BOX

Tahap-tahap pembentukan negara di Eropa Barat: (1) kehancuran Kekaisaran Romawi pada abad ke-4, (2) Zaman Feodal, abad ke-4 sampai abad ke-16, (3) masa negara absolut, abad ke16 sampai abad ke-18, (5) masa nation-state, abad ke 17 sampai sekarang. Konferensi Westphalia menjadi landasan bagi kedaulatan negara, dan sekaligus munculnya konferensi internasional. Sejak berakhirnya Perang Dunia II 1945, konsep nation-state tersebar ke luar dari Eropa Barat ke seluruh dunia dan adopsi oleh masyarakat di seluruh dunia.

Aktor-aktor global

Memang ada "aktor" dalam globalisasi (tidak hanya dalam film!). Mereka inilah yang bertanggungjawab atas terjadinya globalisasi. Dalam tulisan sebelum ini telah diungkapkan ada kaum pedagang yang menjelajahi berbagai pelosok dunia untuk menjual barang dagangannya. Kaum pengusaha adalah aktor penting dalam globalisasi, juga pada saat ini. Ada pedagang kecil, ada pedagang besar. Yang paling hebat pada saat ini disebut "multinational corporation" (MNC) atau "transnational corporation" (TNC). Tapi pedagang hanyalah satu dari tiga aktor lain yang berperan dalam globalisasi. Mereka itu adalah: negara, organisasi internasional (IGO), organisasi internasional non-pemerintah (INGO). Negara (state) mengadakan hubungan dengan negara lain lewat diplomasi. Negara pula yang menciptakan organisasi internasional sehingga tercipta kerja sama antar negara, seperti Perserikatan Bangsa-bangsa, International Monetary Fund, World Bank, World Trade Organization, dsb. Negara dan organisasi internasional tetap merupakan aktor penting dalam globalisasi. Organisasi internasional non-pemerintah (LSM internasional) yang bergerak di berbagai bidang - hak-hak asasi, lingkungan, pengungsi, dsb - juga menjadi aktor penting karena kegiatan advokasinya yang menjangkau seluruh dunia. Mereka bahkan tidak ragu-ragu mengkritik MNC, negara ataupun IGO yang dinilai bertentangan dengan nilai-nilai luhur umat manusia. Aktor terakhir yang sulit diakui di sini adalah "organized crime." Apa yang mereka lakukan semuanya "di bawah tanah" dan menerjang semua yang diatur oleh aktor-aktor lain yang telah disebutkan di atas. Perdagangan obat bius, perdagangan senjata, perdagangan manusia, dsb. saat ini tidak hanya terbatas pada satu negara tetapi meluas ke seluruh dunia, hampir tidak ada bagian dunia yang tidak dimasuki oleh "organized crime" ini. Terakhir, globalisasi memang tidak mungkin dilepaskan dari aksi individu-individu. Mereka ini bergerak seorang diri namun dengan aksinya, seluruh dunia dapat terkena imbasnya. Sebutlah beberapa nama seperti George Soros dan Osama Bin Laden. Globalisasi ternyata melibatkan banyak aktor! Dan ternyata negara hanya salah satu dari banyak aktor global.

BOX

Aktor-aktor global: (1) state, (2) multinational corporation, (3) international governmental organization - IGO, (4) international non-governmental organization - INGO, (5) global organized crime, (6) individuals.

Kapan globalisasi mulai?

Globalisasi: kapan mulai? Ada yang mengatakan bahwa globalisasi mulai ketika Berlin Wall runtuh, yaitu pada tahun 1989. Menurut Thomas Friedman, sebelum Berlin Wall runtuh dunia itu terpecah dua, antara Kubu Kapitalis dan Kubu Komunis. Runtuhnya pembagian dunia semacam ini melahirkan "dunia global." Tapi ada yang mengatakan bahwa 1945 merupakan tanggal lahir globalisasi yang penting karena pada tahun itu berakhirlah Perang Dunia II dan "United Nations" didirikan, sebuah organisasi internasional yang mengungkapkan kesatuan bangsa-bangsa di seluruh dunia. Semua negara masuk dan duduk dalam organisasi itu, besar maupun kecil, masing-masing mempunyai satu suara (one vote). Namun, kalau diusut lebih jauh, terutama dari sudut perdagangan internasional, tanggal lahir globalisasi adalah 1864, ketika Kerajaan Inggris menghapuskan "Corn Law," undang-undang yang membatasi impor bahan makanan. Inggris memang menjadi pelopor terjadinya "perdagangan bebas" (free trade). Dari sudut ekonomi, sebenarnya globalisasi bisa juga dikatakan bermula dari abad ke-15, ketika armada Spanyol dan Portugis mengarungi samudera, untuk mendirikan koloni-koloni, serta memborong rempah-rempah untuk diperdagangkan di Eropa. Kapal-kapal Portugis pada waktu itu telah menjangkau Kepulauan Maluku dan Kepulauan Flores untuk tujuan yang sama. Rempah-rempah menjadi pemicu munculnya globalisasi! Bagaimana dengan sutra? Barang ini ditemukan di Cina dan diperdagangkan ke tempat-tempat jauh, termasuk Roma. Pada abad kedua Masehi sudah terjadi perdagangan kain sutra lewat "Jalan Sutra." Jadi, globalisasi sudah mulai pada abad kedua? Mana yang benar. David Held cs dalam bukunya "Global Transformation" mengatakan bahwa globalisasi pada dasarnya adalah "interconnectivity," dan hal ini terjadi secara berbeda-beda menurut tingkat-tingkat dari empat faktor: velocity, extensity, intensity, impact. Dengan membuat sebuah matriks, akan dengan mudah ditemukan bahwa globalisasi pada abad kedua memang berbeda dari globalisasi pada abad ke-21. Perdagangan kain sutra memang menghubungkan Cina dan Eropa, tapi kecepatannya rendah, jangkauannya cuma dua wilayah saja, barang yang diperdagangkan terbatas, dampaknya pun hanya pada sejumlah kecil elit. Pada saat inilah globalisasi benar-benar mencapai tingkat tertinggi dalam hal "velocity, extensity, intensity, impact." Dengan demikian sulit untuk menentukan secara tepat kapan globalisasi mulai, karena masing-masing faktor mempunyai tanggalnya sendiri mencapai tingkat yang tertinggi.

BOX

Definisi globalisasi

"A process (or a set of processes) which embodies a transformation in the spatial organization of social relations and transactions - assessed in terms of their extensity, intensity, velocity and impact - generating transcontinental or interregional flows and networks of activity, interaction, and the exercise of power. In this context, flows refer to the movements of physical artefacts, people, symbols, tokens and information across space and time, while networks refer to regularized or patterned interactions between independent agents, nodes of activity, or sites of power." (David Held et al, Global Transformation, p. 16)

Monday, February 11, 2008

Globalisasi!

"Globalisasi" adalah sebuah fenomen yang baru disadari di awal tahun 1990-an. Banyak orang telah menulis tentang globalisasi, entah dia sosiolog, ekonomi, ahli politik, antropolog, juga politisi dan pelaku bisnis. Pada awal tahun 2000 terjadilah "boom" buku-buku yang membahas globalisasi, baik buku-buku yang memuja-muja globalisasi maupun yang mengritik globalisasi. Buku Thomas Friedman, The Lexus and the Olive Tree, misalnya, menjadi buku paling laris dan paling populer di seluruh dunia. Setiap politisi dan pelaku bisnis bahkan memperlakukannya bak sebuah "kitab suci." Lalu muncul buku Globalization and Its Discontents oleh Joseph Stiglitz, pemenang hadiah Nobel untuk ekonomi tahun 2001. Buku ini bertentangan secara frontal dengan buku Friedman karena di situ diungkap betapa globalisasi yang dikendalikan oleh IMF dan World Bank telah menghancurkan jutaan kehidupan.

Demikianlah globalisasi menjadi pergunjingan setiap orang pada saat ini, tanpa kecuali. Tapi apa itu "globalisasi"? David Held mendefinisikannya dengan sederhana: interconnectivity. Kehidupan manusia di dunia pada saat ini tersambung satu sama lain, sehingga saling mempengaruhi satu sama lain. Apa yang terjadi di belahan dunia sana membawa pengaruh pada belahan dunia sini. Perdagangan merupakan contoh yang paling jelas. Produk di bagian jauh di sebelah utara dunia, bisa dinikmati oleh konsumen di bagian dunia dekat di sini. Contoh lain adalah transportasi. Sampai 50 tahun yang lalu orang butuh 1 bulan untuk pergi ke Eropa dari Indonesia, dengan melewati lautan, yang sering berbahaya. Kini jarak ribuan mil itu hanya ditempuh dalam 12 jam, hanya semalam. Contoh yang lain lagi, yaitu berita. Peristiwa yang terjadi di seberang lautan, lewat tayangan TV dan berita koran, dapat langsung diketahui oleh manusia di seluruh dunia, nyaris pada waktu yang bersamaan. Anda ingat bagaimana anda menyaksikan runtuhnya Menara Kembar "World Trade Center" di New York pada 11 September 2001?

Rafael V. Mariano, chairperson of the Peasant Movement of the Philippines, 2000

Food has long been a political tool in US foreign policy. Twenty-five years ago USDA Secretary Earl Butz told the 1974 World Food Conference in Rome that food was a weapon, calling it 'one of the principal tools in our negotiating kit.' As far back as 1957 US Vice-President Hubert Humphrey told a US audience, "If you are looking for a way to get people to lean on you and to be dependent on you in terms of their cooperation with you, it seems to me that food dependence would be terrific."